BerandaIndonesiaAcehAceh, Seteguk Asa Cinta Penantian

Aceh, Seteguk Asa Cinta Penantian

Author

Date

Category

Dua tahun lalu, saya pernah membaca sebuah artikel di majalah tentang Kota Serambi Mekkah, sebutan untuk Aceh. Artikel yang membuat otak senyap merekam hal-hal mengenai Aceh yaitu kota yang memegang syariat Islam dan tsunami. Dua hal yang seperti menjadi pisau bermata dua, sebab menjadi pemberitaan yang sensitif.

Namun, saya tidak ingin menyerap informasi yang hanya sepihak. Saya masih yakin kalau Aceh, khususnya kota Banda Aceh masih ramah dan menyimpan sejuta makna cerita sejarah yang dapat menambah khazanah pembelajaran hidup saya. Dan seperti yang kalian tahu, saya akan senang sekali berbagi cerita perjalanan saya lewat tulisan di blog ini.

Berbekal rasa kuat ingin berjumpa dengan Aceh tersebut, saya mencari cara agar bagaimana bisa mendapat kesempatan menginjakkan kaki ke Aceh. Hasrat makin bertambah manakala tahun saat saya ke Raja Ampat, ujung timur di Indonesia. Dari atas puncak Wayag saya melihat indahnya pesona Indonesia, terbesit juga ingin pergi traveling ke Aceh, ujung barat Indonesia.

Dua kali saya mencoba peruntungan mengikuti lomba menulis yang berhadiah ke Aceh. Namun keduanya pun gagal. Hingga tulisan saya mengenai geospasial beberapa waktu lalu. Ternyata tulisan itu menjadi tiket pesawat bagi saya traveling ke Aceh dan Sabang.

Bagai sayur tanpa garam, datang ke Aceh tidak ke Sabang maka tidak lengkap perjalanan kita. Benar begitu kan?

Critical Eleven

bandara aceh
Bandara Sultan Iskandar Muda Aceh; bandaranya seperti kubah masjid.

Penerbangan saya dimulai dari Palembang menuju Jakarta kemudian transit ke Medan dan Aceh. Lama-kelamaan saya jadi menikmati tiap penerbangan transit di bandara. Saya terbang bersama Rifky, mahasiswa jurusan geospasial di Yogyakarta. Ini adalah perjumpaan kedua kali setelah kami diundang ke kantor Badan Informasi Geospasial (BIG) di Cibinong, Bogor untuk penyerahan hadiah.

Syukurlah, pesawat Boeing 737 berhenti sebentar menurunkan penumpang di Bandara Kualanamu dan hanya setengah jam pesawat terbang kembali menuju Bandara Sultan Iskandar Muda Aceh. Total perjalanan lebih kurang lima jam kami di atas pesawat. Belum ditambah perjalanan saya dari Palembang.

visit aceh
Akhirnya menginjak kaki di Bumi Aceh

Saat tiba di Bandara Kualanamu, kakak saya memberitahu kalau mama badannya sedang drop. Seketika saya langsung panik. Memang beberapa hari yang lalu mama sempat demam. But the show must go on kan? Kadang di situasi seperti kemarin saya harus memilih apa tetap lanjutkan traveling atau saya berhenti. Beberapa waktu lalu pun saya sempat menolak undangan Festival Krakatau dan Festival Musi Triboatton karena hal yang sama. Begitulah, kadang manusia boleh berencana tapi Tuhan juga yang menentukan.

Saya mencoba mengontrol perasaan antara menikmati perjalanan atau berwajah murung.

Aceh, Kota yang Tenang

Simpang Lima Kota Banda Aceh

Pukul 5 sore kami telah sampai di Aceh. Saya tidak memiliki planning khusus sebab waktu di Aceh hanya numpang bermalam. Namun, tiap saya berangkat ke kota lain saya pasti usahakan untuk berjumpa dengan teman blogger lainnya. Saya masih memegang prinsip kopdar sebab penting bagi saya bisa berjumpa dengan teman-teman blogger di kota lain. Dari mereka saya bisa tahu planning perjalanan saya berikutnya.

Dalam perjalanan menuju hotel tempat kami bermalam, saya melihat Aceh tanpa macet. Ruas jalan lega dan tenang. Entah mengapa atmosfer di Aceh sore itu sehabis hujan lebih tenang. Namun, dibalik tenangnya jalanan saya melihat warga setempat masih kurang disiplin dalam berkendara. Bayangkan saja, bawa “kereta” tapi ngegas terus ibu-ibu bawa motor masih bisa ngobrol di tengah jalan dengan santainya. Padahal mobil kita mau jalan, diklakson pun tidak bergeming.

Saya jarang menemukan orang keturunan Tionghoa. Lebih banyak berjumpa tipikal wajah Aceh yang bercampur India. Bulu mata lentik. Dijamin kalian bakal iri karena mereka tidak perlu lagi menyulam alis atau bulu mata. Cantik dan rupawan sekali.

Berbicara mengenai logat bicara atau aksen, saya jadi teringat waktu baru sampai du pintu kedatangan, saya sempat mendengar obrolan dua avsec bandara. Logat yang cepat seperti orang sedang berkelahi. Akhirnya saya beranikan diri bertanya apakah mereka sedang berbicara dengan bahasa Aceh? Sebab tampak aksennya cepat seperti mengajak ribut. Ternyata aksen Aceh memang seperti yang saya dengar.

Setelah meletakkan ransel di kamar hotel, saya pun segera memesan taksi online. Sebagai informasi, transportasi kota di Aceh sudah dihijaukan oleh taksol seperti GoJek dan Grab.

Mencari Mie Aceh

Mie Razali di daerah Peunayong

Tak berapa lama taksol datang menjemput kami menuju kawasan kota yang katanya ramai. Kami diturunkan di sebuah kedai mie aceh bernama Mie Razali.

Kami berdiskusi ringan saja, ke Aceh tidak mencicipi mie Aceh sama seperti kalian datang ke Palembang tidak hirup cuko pempek. Ternyata banyak juga penjual mie Aceh yang mudah dijumpai.

Berada di kota yang kuat syariat Islam membuat kita juga perlu ikut aturan setempat. Traveling memang membuat saya bak peribahasa di mana bumi di pijak di situ langit dijunjung kan. Menghargai budaya masyarakat Aceh yang masih cukup kental dengan budaya ketimurannya.

Termasuk rumah makan yang kami singgah. Para pegawai rumah makan akan berhenti operasional saat sholat siang dan magrib. Sehingga pada saat kami datang jam 6 sore, kami pun harus menunggu hingga jam 7 hingga semua pegawai selesai istirahat.

Suasana rumah makan cukup berantakan dengan piring-piring yang berserakan di meja tanpa ditumpuk. Saya pun keluar melihat sekeliling jalanan, sepi tak banyak aktivitas warga. Percuma tidak ada pilihan selain menunggu.

Ternyata benar seperti yang diucapkan oleh supir taksi kalau orang-orang akan mulai ramai setelah pukul 7 malam. Tiba-tiba saja tempat makan mie Aceh ini langsung membludak ramai. Saya tercengang melihat pemandangan di saat itu.

kuliner mie aceh
Mie Aceh Rebus
kuliner mie aceh
Mie Aceh Kuah

Kami pun segera memesan, saya memesan mie goreng basah dan Rifky memesan mie kuah. Terus terang pelayanan di rumah makan ini memang cukup lambat dan lama. Saya sampai harus beberapa kali bertanya. Kemudian, selama masa kami menunggu makanan hingga 30 menit selama itu pula mulai dari gelandangan dan pengamen datang silih berganti tiap menitnya. Cukup menganggu kenyamanan.

Ekspektasi saya terhadap mie Aceh adalah mie yang gurih dan pedas. Ternyata lidah saya sebagai orang Palembang yang terbiasa dengan pedas belum merasa mie Aceh di warung makan ini sesuai ekspektasi saya. Rasa mie Acehnya lebih hambar dan kurang gurih.

Hal lainnya yang saya kurang suka adalah mudahnya pengemis yang datang silih berganti tiap menitnya dan membuat kita akan kurang nyaman dengan kehadiran mereka. Usut punya usut setelah saya tanya, mengenai rasa mie Aceh di tempat ini sendiri mengalami penyesuaian lidah dengan tamu yang datang. Baiklah, saya memantakan diri kalau pencarian mie Aceh enak dan rasanya pas akan tetap berlanjut

Obrolan Malam Ditemani Kopi Sanger

Sehabis makan malam, saya ada janji berjumpa dengan salah satu blogger Aceh yaitu Bang Yudi Randa, pemilik hikayatbanda.com. Dari beberapa blogger Aceh yang saya kenal dan hubungi hanya bang Yudi yang memiliki waktu kosong.

Kedai Kupi Kuta Alam menjadi lokasi pertemuan kopdar pertama kami. Jaraknya tidak jauh dari tempat kami makan. Mengandalkan peta online sebagai bentuk informasi geospasial, kami pun bergerak ke lokasi.

kopi aceh
Kopi Sanger cuma ada di Aceh
blogger aceh
Meetup dengan Bang Yudi, Blogger Aceh

Aceh memang sudah dikenal sebagai penghasil kopi Gayo. Tak lengkap kalau tidak mencicipi kopi Sanger. Kami memesan Arabica Sanger yang tajam aromanya. Seloki kecil kopi memang bisa dihabiskan dengan satu tegukkan saja. Namun, bagi pencinta kopi tentunya dia tidak akan melakukannya.

Kami pun terlibat dalam obrolan seru bersama Bang Yudi, Rifky memang saya ajak untuk menemani saya daripada dia bengong di kamar hotel. Obrolan saya dan Bang Yudi sempat membuatnya roaming dengan dunia perbloggeran 😆

Obrolan kami pun masuk ke topik amankah Aceh untuk dikunjungi?

Apabila kalian traveling di Banda Aceh, sepenglihatan saya Banda Aceh kota yang nyaman dan ramah. Sudah ada kedai kopi kekinian yang menjadi tempat berkumpul anak muda Aceh. Bicara tentang keamanan, saya sendiri merasa tidak perlu ketakutan saat sedang menenteng kamera atau bermain ponsel di tengah jalan. Barangkali karena adanya hukum adat setempat membuat berpikir dua kali sebelum melakukannya.

Bagi kalian yang perempuan non muslim, saya melihat memang di sini rata-rata menggunakan hijab. Tapi, jangan sampai hal ini menjadi ketakutan bagi kalian untuk traveling ke Aceh. Pesan saya tetap gunakan pakaian sopan pantas, kalau biasanya kalian jalan menggunakan rok pendek bisa diganti dengan celana panjang. Selain itu, kalian juga boleh menggunakan syal kerudung menutupi kepala sebagai pengganti hijab.

Saya juga tidak ingin membuat kalian takut atau membatalkan tiket ke Aceh setelah membaca tulisan saya. Setelah saya diskusi dengan Bang Yudi, saya boleh katakan Aceh aman bagi kalian untuk traveling. Siapa tahu kalian ingin menikmati menjadi warga lokal dan mendapat jodoh orang Aceh nan cantik dan rupawan.

Selama saya di Aceh pun saya seperti tidak ada kerjaan lain selain mengamati wajah-wajah orang Aceh hahaha… sebab wajah mereka memang berkarakter seperti wajah orang Tidore. Sayangnya lagi, saya tidak bisa memperagakan menggunakan hijab :mrgreen:

Hujan makin kian bertambah deras, namun kalau tidak diakhiri bisa jadi kami terlibat dalam obrolan hingga tengah malam. Padahal nongkrong di warung kopi hingga malam adalah kebiasaan bagi warga lokal Aceh sambil bermain ludo online yang tengah digandrungi.

Sail Sabang 2017

Jadwal keberangkatan saya ke Aceh bersamaan dengan jadwal Sail Sabang 2017 yang telah dimulai dari 28 November – 5 Desember. Saya berangkat dari tanggal 2 Desember hingga 6 Desember. Tahun ini Pulau Weh atau orang lebih mengenal sebagai Sabang menjadi tuan rumah untuk menyelenggarakan Sail yang bertujuan agar para wisatawan mancanegara melabuhkan kapal-kapal yatch mereka di Terminal CT3.

Acara ini juga mengajak kita untuk dapat menikmati wisata Sabang setelah menghadiri Sail Sabang 2017. Mendengar kata Sabang sudah pasti wisata bahari Sabang menjadi sasaran bagi para pelancong untuk snorkeling atau diving.

Sayang sekali ternyata dari jadwal yang telah dijadwalkan banyak sekali perubahan yang terjadi. Puncak Sail Sabang yang harusnya tanggal 5 Desember ternyata dimajukan menjadi tanggal 2 Desember. Sehingga saya melewatkan momen Sail Sabang tersebut. Belum lagi cuaca di bulan Desember sedang tidak mendukung. Selama di Aceh dan Sabang saya tidak begitu banyak melihat wisata Aceh dan Sabang oleh karena hujan.

Deddy Huang
Deddy Huanghttp://deddyhuang.com
Storyteller and Digital Marketing Specialist. A copy of my mind about traveling, culinary and review. I own this blog www.deddyhuang.com

37 KOMENTAR

  1. Yang bikin penasaran, kalau di Aceh kan nggak boleh boncengan naik motor berdua kalau belum menikah (atau masih mahramnya). Lha terus kalau suami-istri, gimana mereka tau ya bedanya suami istri atau bukan? Siapa tau kan mau bulan madu ke aceh (ngayalnya jauh banget padahal punya pasangan aja belom).

    Mie acehnya duh kepengen.

    Semoga ibu sehat-sehat aja, Koh. 🙂

  2. Aceh itu ngangenin.. Sayangnya 18 thn tinggal di aceh, aku blm sempet k sabang. Karena dulu blm suka traveling mas.

    Btw, mie aceh enak memang bukan di razali peunayong :p. Kalo yg di sana, akupun bilang rasanya ga enak :p. Langgananku biasanya justru warung biasa tanpa nama. Lbh otentik rasanya. Tp susah jelasin lokasinya.

    Aceh yg skr udh nyaman kok. Beda ama yg dulu. Apalagi aku sempet ngerasain tinggal di aceh saat suasana perang antara Gam dan TNI. Tembak2an di belakang rumah, sampe peluru ada yg nyasar k tembok rumahku, udh pernah ngerasain. Makanya sampe skr aku trauma liat senapan laras panjang. Tapi seneng aceh skr udh aman.. Agustus kmrn ksana, aku jg happy banget, aceh malah makin cantik setelah tsunami

  3. Setiap membahas aceh, maka selalu ada kerinduan untuk bisa datang ke sana lagi. Mungkin karena Aceh punya kontribusi besar bagi saya sebagai tukang mencari jejak, haha. Saya setuju, Aceh tidak sebagaimana berita di media atau omongan orang.
    Yang saya alami ketika datang ke Aceh, ia adalah daerah yang mahakaya. Semua kata orang atau kata media luruh lebur. Tentu saja di sana harus menghormati adat, bukankah di tempat lain juga kita seyogianya bertindak demikian? Adat di tiap daerah berbeda-beda, baik manifestasi dan latarnya, dan bukankah demikian halnya Indonesia? Dengan paham dua pertanyaan itu, menurut saya Aceh akan menunjukkan wajahnya yang paling cantik, secantik paras masyarakat di sana yang sudah dijelaskan dengan sangat baik dalam tulisan ini. Hehe…

  4. Apa di Aceh panas sampe2 warganya baru hangout setelah magrib? Mie Aceh juga ada di Bandung. Rasanya greng strong gimana gitu. Ternyata di sana agak hambar ya 😀 gimana lidah kali ya, klo saya ke sana mungkin terasanya kuat aja bumbunya, sebab masakan aceh & palembang buat saya bumbu rempah (dan pedasnya) kuat nian. Hehehe

  5. Mie aceh yg kumakan dulu bukan di warung itu, beda tempatnya 😀 .. Menurutku sih enak banget (ane orang sunda).

    Kopi sangernya belum pernah nyoba..

    Cewe Aceh emang cantik2 sih. Kalau gak berhijab mgkin akan lebih cantik (no hard feeling buat yg baca, aku emang lebih suka cewe gak berhijab :D)

    -Traveler Paruh Waktu

  6. Orang Aceh dengan bulu mata lentik —> iya banget, seperti aku, Koh?. Papaku juga berdarah Aceh, tapi karena udah mix dengan Mama yang berdarah campuran suku lain, ya aku ngga murni jadi orang Aceh. Memang iya banyak yang mirip orang India, karena Aceh sendiri sebetulnya punya singkatan : Arab-Cina-Eropa-Hindia. Jadi kalau berjalan ke beberapa wilayah di NAD, pasti Koh Deddy bakal ketemu wajah yang mirip 4 kebangsaan tadi. Betewe sayang juga pas musim hujan ya, jadi melewatkan tempat-tempat cantik di Banda Aceh maupun Sabang. Oya, kalau masih penasaran dengan Mie Aceh, kalau mampir ke Medan nanti aku ajak makan Mie Aceh Titi Bobrok yang terkenal banget?.

    • Temen satunya cobain di Mie Aceh Titi Bobrok.. pas aku kasih yang dari penjual mie aceh lain buat dia icip.. katanya rasanya sama ?

      Tapi aku akhirny ketemu satu penjual mie aceh yang pas.. di pelabuhan sabang. Ternyata dia pernah jualan di palembang dan sepertinya dia tahu seleraku.. gurih dan pedasnya dapat ?

      • Hehehe berarti urusan lidah memang bisa jadi beda-beda ya, Koh?. Yang jualan di Palembang barangkali juga ikut nyesuaikan dengan selera warga. Hihihi. Kalau yang titi bobrok itu udah terkenal banget. Aku yang orang Aceh malah sebetulnya kurang suka dengan mie Aceh?. Benyek gitu soalnya?.

            • Hahaha… itulah jadi selama di aceh itu aku ngidam indomie goreng.. cuaca hujan seharian setiap hari.. apa lagi kalau bukan indomie kan. Akhirnya pas mau balik lihat kedai mie ya aku lihat ada indomie, pikirku bikin indomie kuah aja.. eh dia tawarin pake bumbu mie aceh.. karena penasaran aku pesan dan rasanya bikin aku berkeringat 😀

              • Oooh gitu ceritanya?. Tapi memang bener siy, indomie goreng ngangenin! Kalau yang modifikasi gitu di Medan ada, Koh. Warkop di sepanjang RS Elisabeth jualannya ya, begitu. Mie indomie tapi pakai racikan bumbu mie Aceh. Rasanya memang beda siy dengan mie Aceh asli. Yang ini lebih gurih. Dan bisa request mau yang goreng kering, berkuah, atau goreng becek. Hahahaha?

    • Sekadar nama atau emang ada tempat yang bisa buat icip? *lha aku kepo haha

      Sebagai pecinta mie garis keras, aku langsung ngeces memandangi mie aceh ini. (Di hari Kamis, pukul 17:49 glekglek hehehe).

      Aku coba yang di Takengon tapi kata orang sana yang di Banda Aceh lebih enak. Kapan-kapanlah aku coba.

      • emang ada yg jual, gak ada di buku atau brosur, harus tanya CS lokal hahaha, tp aku ga berani cobain sih, biar katanya ga ada efek apa2 🙂

        mie aceh (di aceh dibilang mie rebus apa mie goreng) ada banyak gaya menurut daerahnya, beda daerah beda bumbunya, mie aceh di aceh sendiri aku kurang suka, neg banyakan bumbu, lebih suka yg di medan haha, kayak pindang lah, pindang patin beda sama pindang pegagan, musi rawas, kalo di jambi pindang bening kaya sop #lah, malah ngomongin pindang 🙂

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Deddy Huang

Lifestyle Blogger - Content Creator - Digital Marketing Enthusiast

With expertise in content creation and social media strategies, he shares his insights and experiences, inspiring others to explore the digital realm.

Collaboration at [email protected]

Artikel Populer

Komentar Terbaru