BerandaDigital MarketingSuka Duka Foodies : Benarkah Selalu Minta Makanan Gratis

Suka Duka Foodies : Benarkah Selalu Minta Makanan Gratis

Author

Date

Category

Satu ketika ada yang menyampaikan ke saya, kalau mengundang saya itu cukup dengan kasih makanan gratis. Di situ saya langsung mendelik mata. Bertanya siapa orang yang bisa bicara seperti itu. Di saat ada pemilik restoran yang justru bertanya ke saya tentang bagaimana cara mengundang foodies dan food blogger?

Sebagai penulis traveling dan kuliner, saya menulis apa yang saya makan dan deskripsikan di blog dan media sosial. Tujuannya agar konten itu tidak sia-sia selain itu juga bentuk bantuan kecil untuk para pemburu kuliner agar mendapat informasi tentang tempat makan yang akan mereka kunjungi.

Saya bukan seorang chef, juga bukan orang yang bisa masak. Sebagai penikmat makanan, saya pun juga membatasi jenis makanan yang masuk ke dalam perut saya untuk saya cicip dan makan. Tidak semua jenis makanan yang saya makan karena saya belum tahu aman tidaknya bahan makanan. Selain itu agar saya tahu rasa makanan dan gastronomi.

Rasa Makanan

Keseharian tukang masak atau chef. Hari ini dipuji besok dicaci. Rasa makanan dibilang enak besok menjadi tidak enak. Ada konsumen terlihat OK dan besok dia pulang dengan wajah tidak enak. Kadang masakannya keasinan, hambar, kemanisan, dan berasa biasa saja. Semua itu sudah bagian dari tukang masak. Mereka hanya masa sebaik-baik mungkin. Soal rasa sangat mustahil bisa membuat seluruh orang merasakan kepuasan dari apa yang disajikan.

Perkataan itu saya dapatkan dari beberapa pelaku bisnis dan tukang masak kelas kaki lima sampai bintang lima.

Kekhawatiran mereka adalah apakah masakan mereka sesuai dengan lidah konsumen. Mereka butuh masukan dan juga suka duka. Termasuk suka duka foodies.

Foodies sebagai orang yang gemar makan dan memberi masukan. Salah satu orang yang disenangi namun juga tidak disukai oleh tukang masak dan pemilik restoran. Sebab, masukan dari foodies dapat menjadi sarana perbaikan bersama untuk menjaga kualitas atau sebaliknya.

Jenis-jenis Foodies

Di sini, kekuatan media menjadi penentu kelayakan restoran dan kinerja chef di dalamnya. Tulisan dari media bisa menentukan tingkatan bintang restoran seperti Michelin Star, mendapat kunjungan dari chef ternama seperti (alm) Pak Bondan atau om William Wongso. Google Map juga bisa memberikan review bagi para pemburu kuliner. Inilah menjadi alasan mengapa media cukup disegani oleh pemilik restoran.

akun kuliner palembang
Follow ya akun kuliner yang saya kelola : @KokoCariMakan

Setiap orang yang berkecimpung di dalamnya ada tingkat keahliannya sendiri. Ada beberapa jenis yang bisa kita kelompokkan :

Foodies level biasa

Biasanya foodies ini adalah para penggemar makanan yang mereka cuma motret apa yang mereka makan lalu dibagikan ke media sosial.

Foodies level food grammer

Foodgrammer berasal dari instagrammer yang artinya orang yang bermain di media Instagram dan berfokus di makanan saja. Ketika dia promosikan selain makanan maka dia sedang mempertaruhkan kredibilitas dirinya sendiri.

Biasanya foodies kelompok ini punya kemampuan foto di atas foodies level biasa. Sudah memperhatikan komposisi, sudut pengambilan dan ulasan lebih detil. Bercerita tentang rasa makanan, bahan yang dipakai dan secara persuasif bisa mengajak orang lain untuk mencoba.

Wartawan biasa

Saat saya sedang diundang pemilik restoran, juga sering berjumpa dengan wartawan media cetak dan online. Datang sebagai wartawan dengan kartu pers, foto dan cicip lalu menulis apa yang mereka dapatkan karena tujuannya lebih ke mengiklankan restorannya saja. Biasanya saya juga memberikan waktu untuk wartawan untuk lebih dulu memotret.

Wartawan khusus

Kelompok wartawan khusus selain mereka memiliki kartu pers, mereka juga dikhususkan untuk membahas tempat makan yang dikunjungi. Hasil artikelnya akan dibaca oleh para kritikus dan penikmat kuliner. Selain menjual nama restoran tersebut mereka juga memberikan persepsi dari artikel yang ditulis.

Lalu, saya di kelompok mana? Saya belum menjadi wartawan namun saya menikmati makanan yang saya makan, memotret dulu sebelum dimakan kemudian saya tulis di blog atau media sosial saya sebagai referensi bagi follower. Kalau saya senang pasti saya akan kembali lagi dengan senang, kalau saya merasa kurang maka saya tidak kembali. Dan, saya datang sebagai tamu. Duduk, pesan, makan dan bayar.

Kerja bareng atau liputan bareng wartawan itu asyik lho. Kadang bisa ikut tandem di samping mereka untuk mencari konten bersama.

Sebenarnya ada lagi yang membedakan antara foodies, food blogger dan food critic. Cakupan bagi foodies lebih ke arah rasa masakan, suasana tempat makan, harga, lokasi. Tidak sedetil seperti food critic atau master chef yang memang punya sertifikasi. Bagi foodies dan food blogger, adalah pengalaman pribadi yang dia rasakan ketika datang ke tempat makan. Selebihnya bukan bagiannya lagi. Ya, bersyukur kalau mendapat pengetahuan baru mengenai hal-hal detil lain.

Suka Duka Foodies

Bisa makan enak gratis menjadi sebuah privilege bagi foodies karena bisa mencicipi menu makanan terbaru di restoran atau cafe.

Saya kalau bukan karena fam trip ke Kuala Lumpur, mungkin saya akan berpikir dua kali untuk datang sendiri lalu memesan lobster besar yang nikmat sekali di Burger & Lobster yang ada di dalam Sky Avenue mall Genting Highway Land.

Selain makan enak, foodies ini kerap dikenal oleh banyak orang entah itu karena berita positifnya atau negatifnya.

Cuma kalau mau dijabarkan, lebih banyak duka foodies ketimbang suka. Menurut saya, foodies bahkan di Palembang masih kurang mendapat apresiasi. Seorang teman foodies pernah bercerita kalau ada orang yang tiba-tiba kirim pesan yang bunyinya: kamu promosiin jualan aku, nanti aku kasih makanan gratis, gimana?

Tidak semudah itu marpuah! Kalau hanya makan gratis, saya rasa dompet saya masih sanggup untuk membayar. Kenapa pemilik bisnis tidak berpikir jangka panjang bahwa berteman dengan foodies seperti kita saling membutuhkan.

Foodies dan Karyanya Perlu Apresiasi

Diundang ke berbagai acara terkait dunia kuliner atau lainnya. Bertemu pakar makanan yang terkemuka juga menjadi keuntungan. Tak hanya itu, saya juga bisa bertemu teman baru di acara akan menambah serta memperkuat koneksi pertemanan. Foodies pun juga punya etika ketika mengambil foto.

Berbagai restoran dan produk makanan berlomba-lomba menggaet para foodies untuk mengulas makanannya.

Ada beberapa etika atau ketentuan yang tidak tertulis ketika ingin mengundang foodies yang masih belum diketahui oleh pemilik tempat makan, bahwa :

  • Ketika diundang untuk food tasting, tentu diterima dengan baik. Sebab ada yang undang berarti nama kita sudah dikenal. Nah, dalam sesi ini saya tidak wajib untuk menjadikannya menjadi artikel atau publikasi di media sosial. Sebab biasanya pemilik restoran hanya meminta masukan, saran untuk menu atau keberlangsungan bisnis mereka. Singkatnya, makanan itu hanya komplimen untuk melengkapi sesi ngobrol sama pemilik bisnis. Cuma kalau diminta untuk bayar makanan, saya siap untuk bayar.
  • Undangan biasanya berlaku untuk dua orang. Kadang saya diundang seorang diri cuma saya tanyakan apakah saya boleh ajak 1 teman? Sebab kadang teman yang saya ajak memang bukan pintar dalam foto dan terkenal di media sosial. Cuma dia punya sensor lidah yang bisa mengimbangi lidah saya.
  • Ketika kita diundang secara profesional, tentunya ada nominal entah itu kecil atau besar semuanya adalah untuk apresiasi apa yang sudah dikerjakan oleh foodies. Mulai dari waktu, tenaga, investasi kamera dan lensa yang harganya kejutan, pemikirannya dan pamornya. Sehingga memang sangat disayangkan ketika masih ada orang yang anggap kerjaan foodies dan food blogger terlihat sederhana, sampai kurang apresiasi usaha mereka.

Mending Jual Mahal Sekalian

Kalau sudah bicara permintaan, biasanya ada yang kirim pesan sudah menawarkan ke restorannya dengan tujuan endorse. Lalu, mereka meminta kewajiban seperti misalnya minta diulas, difoto, dibagikan di media sosial. Lantas saya tanya kembali, apa ada hak yang diberikan untuk saya? mereka langsung diam.

Sering juga foodies dibanding-bandingkan dengan foodies lain, terutama masalah harga.

Faktanya, tidak ada review kuliner yang objektif karena kita semua punya selera masing-masing. Setiap hari semakin banyak foodies yang muncul dengan peminatnya sendiri. Sesama foodies pun juga tidak luput dari drama-drama, mulai dari ada yang berkecil hati kenapa dia tidak diundang, kenapa tidak dapat endorsement dan lainnya.

Sekali lagi, inilah dua sisi dari suka duka foodies. Banyak dipuji dan dicari, namun nyatanya, masih banyak pula yang belum memberikan apresiasi bagi karya-karya mereka.

Cuma kalau saya tentu punya ciri tersendiri. Mau gear bagus dan terkenalpun kita tetap butuh attitude. Jadi kamu mau hire saya sebagai apa? Saya juga menawarkan jasa foto makanan secara profesional. Agar kita sama-sama enak. Siapa tahu kalian berminat menghubungi saya.

***

Follow @deddyhuang for latest update:

INSTAGRAM | TWITTER | FACEBOOK | YOUTUBE

Do not forget to subscribe/follow my blog to get updates on your email about new post.

Disclosure: This is just my personal experience. Thanks as always for your support!

Deddy Huang
Deddy Huanghttp://deddyhuang.com
Storyteller and Digital Marketing Specialist. A copy of my mind about traveling, culinary and review. I own this blog www.deddyhuang.com

15 KOMENTAR

  1. Bicara makanan tentu saja hubungannya dengan rasa, dan bicara rasa tentu saja tiap2 orang memiliki selera yang tidak sama. Makanya terkadang ini menjadi pertimbangan ketika akan membuat tulisan review mengenai makanan. Sebenarnya memang lebih bebas jika beli dan cicip sendiri, komentar suka2 gue istilahnya (wong kita bayar kan). Tapiiii…

  2. meski saya suka ngeblog makanan, saya tidak pernah dibayar..(sedih ya wkkwwk)
    tapi beli sendiri..jadi reviewnya bisa suka suka…enak enak gak enak ya gak enak….
    terkecuali ada beberapa undangan (diusahakan datang klo ada waktu luang)…

    kadang pengen sih jadi foodies gitu, cuma blm bisa fokus…

  3. Marpuah ?????

    Rasanya pandangan-pandangan sebelah mata ini nggak hanya berlaku untuk foodies aja deh koh. Ada banyak profesi lain (mostly freelancer) yang kurang diperlakukan dengan hormat.

    Lah wong yang kuliah psikologi aja sering disuruh jadi dukun dadakan, membaca karakter orang dari bentuk alis. Belum jadi psikolog itu padahal.

    Ya wajar saja karena mereka hanya melihat dari permukaan. Nggampangke profesi yang ditekuni orang lain sampe ndromos-ndromos.

    Paling giliran mereka disuruh menjalani sendiri lak tar menggos-menggos di tahap foreplay.

    But that’s life. Bukan begitu koh ?

  4. Refleksinya keren, Mas. Kadang yang terbayang soal foodies ya cuma yang permukaan-permukaannya saja: bisa makan enak terus cuma “dibayar” dengan review. Tapi pasti lama-lama bakalan terseleksi juga. Yang kredibel akan terus berkarya, yang cuma ikut tren bakalan tergilas dengan tren lainnya.

    Saya selama ini keknya lebih sering jadi silent reader Mas Deddy. Tapi seingat saya Mas Deddy salah seorang blogger yang konsisten mengasyiki jalan yang sudah dipilih. Bravo!

  5. Saat pihak yang mengundang meminta kewajiban yang harus dikerjakan para foodies. Memang baiknya klien harus diedukasi lebih dulu supaya sama-sama enak.
    Dari pengalaman kokoh, setelah klien diedukasi dan mereka tetap diam saja atau tak memberi kompensasi lebih selain makan, tetapi mereka tetap minta kewajiban lebih. Biasanya apa yang kokoh lakukan?

  6. Sebenarnya banyak hal yang harus menjadi pertimbangan dan semuanya sudah Koko jelaskan secara gamblang pada tulisan diatas. Kalau saya sih suke makan jak, kalau ngereview detail bukan spesialis kuliner. 🙂

  7. Begitulah dunia per-foodies-an kita ini. Kadang hanya diundang dengan barter sekali makan doang. Ada yang masih berbaik hati ngasih tambahan voucher untuk bisa datang lagi lain waktu. Dan ada juga yang mengapresiasi nya dengan memberi sejumlah kompensasi nominal tertentu plus beberapa lembar voucher agar kita menjadi pelanggan setia mereka, sekaligus bisa jadi corong untuk promosi ke temen-temen dan followers di medsos. Walo aku ngga spesialisasi jadi food blogger, aku juga ngerasain apa yang dirimu tulis di artikel ini, Koh. Mungkin memang perlu dibuat semacam edukasi oleh kita-kita sendiri supaya antara content creator dan klien bisa saling menghargai dan enak kerjasamanya :).

    • Terima kasih buat inputnya mbak Molly.

      Termasuk hal ini kalau terjadi sebagai fulltime blogger juga perlu dapat apresiasi. Blog memang sudah tak seperti dulu lagi, namun bisa dikelola jadi saling menguntungkan kedua belah pihak.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Deddy Huang

Lifestyle Blogger - Content Creator - Digital Marketing Enthusiast

With expertise in content creation and social media strategies, he shares his insights and experiences, inspiring others to explore the digital realm.

Collaboration at [email protected]

Artikel Populer

Komentar Terbaru