BerandaTravelingIndonesiaSepiring Bubur Suro, Mengecap Kehangatan Ramadan di Palembang

Sepiring Bubur Suro, Mengecap Kehangatan Ramadan di Palembang

Author

Date

Category

Ramadan di Palembang seperti apa sih?

Manusia secara sosial sulit menafirkan kalau mereka harus bergaul bukan hanya dengan kelompoknya sendiri saja, tetapi juga dengan kelompok lain sekalipun berbeda agama.

Kesukaan saya pada traveling memberi cakrawala kalau Indonesia merupakan negara yang terkenal dengan keberagaman ras, suku, budaya, dan agama. Kalau melihat lebih dalam, keberagaman ini terlihat begitu spesial.

Orang-orang yang berbeda budaya, suku dan ras bisa hidup berdampingan satu sama lain.

***

Mencari Perspektif Baru

Lahir dan hidup di Kota Palembang, saya banyak melihat sudut pandang baru. Keberagaman bagi saya merupakan sebuah pengalaman vertikal, apalagi sebagai non muslim di tengah mayoritas. Saya cukup punya pengalaman merasakan dan melihat ramadan di Palembang.

Suara azan bukan hal asing di telinga saya. Hampir tiap lima waktu telinga saya sering mendengar lantunan indah nan merdu azan berkumandang.

Saya bisa melihat dari dekat orang-orang sedang mengambil air wudhu untuk menyucikan diri sebelum sholat. Serta melihat saat mereka bangkit dari sujud setelah mencium sajadah. Ada desir mengalir melihat pemandangan tersebut. 

Secara tidak langsung, saya pun ikut melihat perspektif baru dalam keberagaman.

Ramadan di Palembang

masjid-suro-palembang

Suatu petang di saat puasa dua tahun lalu. Saya diberitahu oleh Arlan dan Sandi, kedua teman saya ini ingin menuntaskan Asar di Masjid Suro, salah satu masjid tertua di kota Palembang yang masih berdiri kokoh bangunannya.

Selain bisa lebih khusyuk beribadah bagi mereka berdua di bulan Ramadan. Saya bisa ikut menikmati momen ramadan di Palembang. Tanpa berpikir lama, saya segera mengiyakan ajakan mereka.

Kedua teman ini berniat berbuka puasa sambil membantu marbot menyiapkan hidangan berbuka puasa yakni bubur suro yang khas dari masjid ini.

Mendengar nama bubur suro, telinga saya bagai ditiup angin segar ikut penasaran ingin mencicipi rasa bubur khas yang cuma ada di saat bulan puasa.

Saya inisiatif membeli pempek untuk nanti diberikan ke masjid sebagai menu bersama saat berbuka puasa. Pempek menjadi hidangan istimewa saat berbuka puasa, menghirup pedasnya cuko dengan gurihnya ikan di setiap gigitan.

Sekilas Masjid Suro Palembang

Tentunya kota Palembang tak hanya dikenal oleh kuliner pempek, atau ikon Jembatan Ampera saja. Di Bumi Sriwijaya ini, kota Palembang kental dengan nuansa akulturasi budaya dan sejarah.

Kalau kamu lagi di Palembang, cobalah buat merasakan ramadan di Palembang. Salah satunya kamu bisa  mengunjungi masjid Al-Mahmudiyah atau dikenal Masjid Suro. Bangunan masjid ini sangat mudah dijangkau jika melewati Jalan Sekanak. Tapi persisnya berada di Jalan Ki Gede Ing Suro, Kelurahan 30 ilir. Letaknya di pinggir jalan memudahkan kita untuk menemukan bangunan masjid.

Apalagi usia masjid ini telah berusia lebih dari 1 abad. Tentunya banyak tersembunyi cerita masa lampau saat dari para ulama saat menyebarkan ajaran agama Islam di tengah penjajah Belanda.

Adalah KH Abdurrahman Delamat yang mendirikan masjid ini pertama kali. Jasanya membuat masjid ini akhirnya melekat hingga sekarang.

Cerita yang saya dapat, dulunya masjid ini dimanfaatkan sebagai tempat mendalami agama dan Kiai Delamat menjadi ulama yang dihormati. Hingga beliau dan dimakamkan, masih bisa dikunjungi makamnya yang ada di sekitar area Masjid Suro.

Menikmati Sudut Dalam Masjid Suro

Kami pun tiba di masjid Suro, setelah memarkirkan motor di bahu jalan.

Tak seperti masjid-masjid masa kini yang dibangun semegah dan semewah mungkin, kita masih bisa merasakan Masjid Suro masih tetap tampak klasik dan tradisional dengan atap layaknya bangunan rumah-rumah penduduk.

Ciri khas melayu tampak klasik dan tradisional dengan atap berundak-undak. Persis di sebelah ada sebuah menara yang kokoh berbentuk lancip pada ujungnya.

Menara masjid Suro ini saya perkirakan sekitar 10 meter dan menjadi salah satu ciri bangunan cagar budaya.

Suara azan berkumandang. Kami segera masuk, melepaskan alas kaki. Saya menunggu mereka mengambil wudhu di kolam belakang pada bagian selasar.

Dalam pengamatan saya, masjid ini memiliki tiang tinggi dari material kayu serta penopang yang berdiri tegak. Bagian utama masjid memang mayoritas mengandung unsur kayu.

Selain itu, mimbar Imam pun masih terlihat keasliannya dengan ciri khas ukiran motif bunga Palembang tanpa putus berwarna keemasan. Sebuah lambang megah pada masanya hingga sekarang.

Para Marbot Saling Membantu

masjid-suro-palembang

Tampak para marbot sedang menggelar karpet untuk menjadi alas duduk. Anak-anak remaja mengulur tangan memberikan peralatan makan.

Selepas memberikan bungkusan makanan, saya diajak untuk melihat ke belakang masjid. Melihat para pria sedang menyiapkan bahan memasak bubur dalam tungku api.

Nyatanya telah menjadi tradisi tahunan, Masjid Suro membagikan bubur untuk para tamu yang singgah memecahkan puasa.

Kuliner khas ini hanya bisa ditemui saat bulan Ramadan. Bubur nan lezat, terbuat dari beras dan suwiran daging sapi. Menggunakan bumbu rempah seperti kayu manis, lada, jahe, kecap manis, kecap asin, pala dan irisan daun seledri.

Semua bahan dicampur menjadi satu dan dimasak hingga matang dan mengeluarkan aroma wangi.

Pembuatan bubur bercita rasa rempah ini membutuhkan waktu sekitar 3 jam. Proses yang panjang, oleh karena ada satu marbot bertugas menjaga api sedang agar tidak gosong, satunya lagi mengaduk bubur hingga rata.

masjid-suro-palembang
Proses memasak bubur Suro. Pic : Sandi

Ada yang unik. Warga sekitar mengelilingi para marbot yang sedang menyiapkan bahan-bahan bubur. Mereka juga tidak ketinggalan membawa wadah untuk nantinya menampung bubur.

Seakan pemandangan memasak ini bagaikan pertunjukan acara masak-memasak di televisi, anak-anak kecil pun tak kalah antusias.

Bahan-bahan berasal dari sumbangan dari warga dan jamaah masjid. Saya diberitahu dari lima kilogram beras dan satu kilo daging sapi bisa untuk 100 porsi bubur.

Sambil menunggu bedug magrib, marbot yang tidak bertugas membuat bubur dibantu oleh anak-anak sekitar membantu menyiapkan alat makan untuk berbuka puasa.

Toleransi yang tergambar jelas bagaimana aktivitas ini dapat membuat antar sesama hidup rukun. Sesekali saja saya melihat mereka ada perbedaan dalam hal pendapat, namun segera selesai. Kembali saling tolong menolong dan bahu membahu antar sesama.

Menumbuhkan Sikap Toleransi

masjid-suro-palembang

Keseruan yang dirasa sayang untuk dilewatkan adalah ketika bubur telah matang, para warga tampak gembira ketika menerima bubur gratis yang masih hangat dan aroma menyusup masuk ke hidung.

Mereka terlihat berebut pada awal, namun menyadari kalau semuanya pasti akan dibagikan menjadi tertib kembali.

Melihat momen ini saya merasakan suatu keragaman yang belum pernah saya jumpai ketika bergabung untuk berbuka puasa bersama teman-teman muslim lainnya.

Saat bulan ramadan, bubur buatan para marbot Masjid Suro diserbu oleh warga. Tergambar sebuah kerinduan warga sekitar untuk menyantap bubur telah menjadi tradisi turun menurun.

Aroma rempah dari dapur belakang masjid mulai menyeruak masuk. Saya yang sedang tidak puasa saja bisa tergoda, apalagi mereka yang sedang menjalankan puasa. Satu marbot membawa panci ukuran sedang masuk ke dalam.

Satu per satu piring plastik mulai diisi dengan satu ayunan hingga semua piring terisi. Saya menelan liur melihat sajian bubur yang masih hangat.

Menyantap Bubur Suro

masjid-suro-palembang

Merdu bedug berkali-kali ditabuh. Suara yang paling dinantikan saat senja mulai menghilang, matahari turun dari peraduan.

Kami berbaur di tengah warga dan jemaah Masjid Suro. Mereka yang datang mengenakan peci bukan hanya jamaah tetap, tapi juga ada kaum dhuafa. Saya melempar senyum untuk mencairkan suasana.

Terus terang ada rasa tegang bercampur senang.

Di hadapan saya sudah ada sepiring bubur yang masih hangat dengan secangkir air putih dan kurma. Sambil mengamati sekeliling, para jamaah telah menikmati menu berbuka. Ada yang menyantap pempek terlebih dahulu, ada pula yang menikmati kurma manis.

Saya menyedok satu suapan bubur rempah ini. Mata saya berbinar senang.

Bubur suro punya rasa gurih dengan nuansa pedas yang tipis. Rasa yang sudah tidak perlu ditambah dengan berbagai bahan lainnya agar tidak mengaburkan rasa.

Bagi saya bukanlah pengalaman pertama mengunjungi sebuah masjid. Mayoritas teman-teman yang muslim pun mengajak saya untuk menunggu mereka ketika selesai sholat di masjid.

Namun, bisa menikmati langsung bubur yang sarat makna serta kebersamaan saya di tengah kelompok mayoritas membuat saya merasa diterima.

Makna Bubur Dalam Berbagi

masjid-suro-palembang

Saya menyadari kenapa pada waktu itu, para ulama membagikan bubur bukan nasi. Iseng saya bertanya pada salah satu marbot. 

Oleh dia, saya memperoleh jawaban yang masuk akal karena rasa kebersamaan dapat membuat 1 kg beras ketika dibuat bubur jauh lebih banyak jadi bisa diberikan lebih banyak orang. Dengan bersedekah yang bisa menjangkau orang banyak, tentu rasanya jauh lebih nikmat.

Terlepas dari masalah yang timbul mengenai keberagaman di Indonesia, ternyata saya masih menemukan secuil contoh indahnya saat kita bisa bertoleransi pada budaya atau kepercayaan orang lain.

Bahkan, tanpa harus kita menyakiti perasaan orang lain. Yang tadinya saling bertegur sapa, kini bisa saja pura-pura seolah tidak saling kenal.

Ada senyum mengembang saat saya seorang diri non muslim ikut menikmati menu berbuka puasa. Mereka pun tanpa ragu menawarkan saya untuk menambah apabila masih terasa lapar.

Awalnya saya mengira saya akan terlihat “berbeda”. Namun yang saya peroleh justru mengejutkan. Saya seolah diperlakukan layaknya saudara mereka tanpa melihat kulit saya yang putih dan mata yang sipit.

Berbagi tak pernah membuat kita sulit. Justru dicukupkan dari apa yang kita rasakan. Sayup kecil terdengar ucapan syukur dari bibir mereka karena telah menikmati hidangan sederhana khas Masjid Suro.

Sekejap saya merasakan adanya colekan pada bahu saat sedang meluruskan kaki. Sosok satu jamaah menggunakan sarung tersenyum ramah pada saya.

“Ayo magriban, dek!” serunya berlalu meninggalkan bayangan bergabung dengan jamaah lain.

Saya melirik ke Alan dan Sandi sambil tersenyum yang ditahan. Ramadan di Palembang memang memberikan kehangatan dalam keberagaman.

Ingin Merasakan Kehangatan Ramadan di Palembang?

masjid-suro-palembang

Pernah kah kalian merasa bangga sebagai rakyat Indonesia?

Dengan keberagaman ras, suku, dan budaya yang ada di negara kita. Hal ini membuktikan bahwa sebagai rakyat kita juga turut menjaga persatuan meskipun “berbeda” satu sama lain.

Alasan ini dapat menjadi penguat kalau lingkungan kita bukan hanya kamu dan teman-temanmu saja. Melainkan ada yang lainnya. 

Tuhan menciptakan alam semesta dengan berbagai isinya yang beragam, termasuk manusia, hewan dan tumbuhan. Keanekaragaman budaya, bahasa, suku bangsa, agama dan ras yang tersebar di Indonesia menunjukan sebuah kekayaan dan keindahan bangsa.

Dalam kondisi mudahnya perpecahan antar suku dan agama, saya menemukan sebuah tempat yang menjadi tempat aman dan nyaman untuk merasakan perbedaan dan indahnya keberagaman.

Mengunjungi Masjid Suro memberikan gambaran masyarakat majemuk. Kita bisa ikut merasakan keberagaman dalam kehangatan ramadan di Palembang Namun, sayangnya tahun lalu saya tidak bisa menikmati berbuka bersama saudara muslim di Masjid Suro karena pandemi.

Dalam hati saya juga bertanya, apakah Ramadan tahun ini saya masih bisa menikmati bubur suro kembali?

Deddy Huang
Deddy Huanghttps://deddyhuang.com
Storyteller and Digital Marketing Specialist. A copy of my mind about traveling, culinary and review. I own this blog www.deddyhuang.com

3 KOMENTAR

  1. Tak terasa bentar lagi juga mahu ramadhan meski dalam situasi Corona. Moga tahun depan bisa rasakan ramadhan dan lebaran dengan suasana yang seperti tahun lalu sebelum Corona . Amin ???

  2. Tidak terasa sebulan lagi sudah ramadan. Tahun 2020 rasanya sunyi, sepertinya tahun 2021 pun masih sunyi. Jadinya akan sedikit berbeda, atau mirip dengan tahun sebelumnya. Lekas berlalu pandemi, kami rindu suasana seperti dulu.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Deddy Huang

Lifestyle Blogger - Content Creator - Digital Marketing Enthusiast

With expertise in content creation and social media strategies, he shares his insights and experiences, inspiring others to explore the digital realm.

Collaboration at [email protected]

Artikel Populer

Komentar Terbaru