BerandaIndonesiaAcehMengejar Mimpi Jelajahi Tanah Rencong

Mengejar Mimpi Jelajahi Tanah Rencong

Author

Date

Category

Malam natal saat itu saya tidur lebih awal, selesai pelayanan dan mengikuti misa di gereja saya langsung pulang ke rumah. Natal identik dengan suka cita dan damai, saya ingin besok bangun paling pagi menikmati kicauan burung dari depan jendela kamar. Topi santa sudah saya letakkan di samping tempat tidur. Ya, saya berharap Tuan Santa hadir malam itu untuk memberikan saya kado natal.

Janji menikmati udara pagi dari balik jendela kamar sudah ditepati. Kicauan burung telah menanti dari atas kabel listrik. Seperti biasa rutinitas pagi sebelum beberapa hari lagi semester kedua sekolah akan dimulai lagi. Untunglah masa ujian sekolah saat itu sudah selesai, saya bisa menikmati liburan semester panjang. Saya meraih remote televisi dan membuka siaran berita.

“Gelombang raksasa tsunami menghancurkan Aceh. Sebelumnya telah terjadi gempa hebat di dasar laut dekat Pulau Simeuleu.” Telinga saya menangkap pesan suara yang tak biasa di televisi. Saya membesarkan volume kembali melanjutkan tayangan berita yang dikabarkan hampir di seluruh stasiun televisi.

“Pukul 7.59 waktu setempat, gempa berkekuatan 9,1 sampai 9,3 skala richter mengguncang dasar laut di barat daya Sumatra, sekitar 20 sampai 25 kilometer lepas pantai. Hanya dalam beberapa jam saja, gelombang tsunami dari gempa itu mencapai menimbulkan getaran kuat,” seru pembawa berita. Semua stasiun televisi menyiarkan tayangan berita yang sama. Aceh sedang menangis. Bukan, ini bukan Aceh tapi Ibu sedang berduka!

Tiket, Jembatan Mimpi Bertemu Ibu

Indonesia tak sebesar peta di buku pelajaran sekolah. Indonesia bukan hanya ruang kamar hangat di rumah kita. Masih banyak ruang kamar yang ada di nusantara ini milik Ibu. Kalian tinggal memilih dari 34 ruang kamar yang tersebar di Indonesia untuk didatangi dan diresapi.

13 tahun lalu, saat saya masih mengenakan seragam putih abu-abu. Belum mengenal kata “tsunami”. Namun setelah Aceh dicatat sejarah pernah mengalami bencana alam parah maka dari situ saya mengenal kata “tsunami”. Ini sebuah peristiwa dengan dimensi tanpa surat pemberitahuan, bahkan kalau dilihat dari jumlah korban dan aspek geologisnya rasanya tidak masuk diakal.

Lantas, bagaimana tidak saya punya mimpi untuk mengunjungi Aceh? Menggantungkan mimpi yang telah lama saya idamkan untuk menjelajahi nusantara di ujung utara pulau Sumatera. Entah bagaimana caranya mimpi tersebut didengar oleh suara-suara orang yang ingin membawaku bisa melihat Aceh. Ini yang saya namakan semesta mendukung. Tidak mudah menjangkau Aceh dari Palembang, sebab biaya tiket pesawat cukup tinggi.

 

Terbang Nyaman Menuju Aceh

tempat wisata di sabang
Bandara Sultan Iskandar Muda Aceh

Saya baru saja tiba di Terminal 3 Soekarno Hatta dari Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II. Suasana bandara Jakarta ini tak pernah sepi oleh para traveler. Atap langit bernuansa modern kontemporer, terminal bandara adalah penghubung mimpi orang untuk menjelajahi nusantara. Masih harus menunggu beberapa jam lagi sebelum pesawat terbang ke Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda. Saya tidak berangkat sendirian, ada Rifky yang menemani saya untuk perjalanan kali ini. Kami baru kenal dan sama-sama punya keinginan menjelajahi Aceh.

Terdengar suara panggilan masuk untuk penumpang ke dalam pesawat. Saya segera menunjukkan tiket pesawat Garuda Indonesia ke petugas dan bergegas menuju kursi pesawat di dekat jendela. Dari balik jendela, saya dapat melihat pergerakan awan. Pemandangan yang hanya bisa saya nikmati saat sedang terbang dengan pesawat. Langit waktu siang ataupun malam tetaplah sama. Selalu mengagumkan sejauh mata memandang.

visit aceh
Akhirnya menginjak kaki di Bumi Aceh

Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda baru saja diguyur hujan, sambil menunggu bagasi saya mengamati sekeliling bandara ini. Sebagai provinsi paling barat di Indonesia, karakter orang Aceh memang rupawan bak campuran India dan Arab. Bagi saya yang tidak memiliki bulu mata panjang, tentu cemburu melihat mereka yang memiliki bulu mata panjang dan lentik. Indonesia memang luar biasa, bukan saja kaya akan budaya dan tradisi namun juga kaya akan orang lokal nan ramah.

Lezatnya Mie Aceh

Bagai rindu sudah tak terbendung, begitu pun ada seteguk asa cinta penantian saya untuk berkeliling kota Banda Aceh walau hanya beberapa jam saja sebelum kami bergerak ke Sabang. Kami tiba di kota Banda Aceh sudah sore, rasanya kurang ajar kalau tidak mencari warung mie Aceh untuk disinggahi. Memang tidak sulit menemukan mie dengan bumbu rempah khas Tanah Rencong ini.

Kota Banda Aceh telah menarik perhatian saya sejak pertama kalinya. Tanpa meninggalkan syariat agama, kota ini tetap junjung keramahan warga lokal. Lebih dari satu jam, saya dan Rifky menunggu di warung mie Aceh. Kedatangan kami tepat waktu saat adzan berkumandang. Ruas jalanan sepi tidak terlihat aktivitas warga, termasuk orang-orang yang bekerja di warung makan.

kuliner mie aceh
Mie Aceh Kuah
kuliner mie aceh
Mie Aceh Rebus

Rifky telah kembali duduk setelah melakukan sholat, kami pun melanjutkan kembali cerita mengenai apa yang dirasakan tentang Aceh. Dua porsi mie Aceh sudah tersaji di meja untuk segera disantap. Kepulan uap dan aroma wangi masuk dalam hidung saya. Olahan bumbu mie Aceh ini banyak menggunakan bahan rempah, selanjutnya mie ditumis seperti biasa. Satu suapan mendarat di dalam mulut saya, begitu suapan pertama sampai di lidah ada rasa gurih dan nikmat yang memang tak diragukan enaknya.

Sambil menikmati sepiring mie Aceh untuk makan malam kami, saya berkata kepada Rifky kalau besok pagi kami bisa mengunjungi Masjid Baiturahman dan Museum Tsunami Aceh. Dua tempat ini menjadi saksi bisu sejarah tsunami Aceh.

Saksi Bisu Sejarah Aceh, Masjid Raya Baiturrahman

Tiba-tiba saja tayangan berita tahun 2004 silam muncul, saya ikut membayangkan bagaimana paniknya warga Aceh berlarian menyelamatkan diri dari gulungan gelombang air. Mereka melarikan diri ke tempat yang tinggi untuk selamat bersama keluarganya. Bagaimana isak tangis mereka saat harus merelakan berpisah dengan anggota keluarga yang ikut terbawa arus air.

Jujur saya merinding saat harus mengingat kembali, saya putuskan berdiri diam memandang bangunan megah bercat putih lengkap dengan kubah hitam di jantung kota Banda Aceh. Tak dapat saya sembunyikan rasa haru saat kaki saya berhasil menginjakkan kaki di Masjid Raya Baiturrahman Aceh.

Rumah ibadah kebanggaan masyarakat Tanah Rencong ini menyimpan segudang cerita. Di sisi utara dan selatan, terdapat payung besar bergaya Masjid Nabawi di Madinah Arab Saudi. Halaman yang luas dengan kolam pancuran air serta lantai beralaskan marmer yang terawat. Sungguh tak ada kalimat lain yang dapat saya ungkapkan selain menikmati keberadaan saya pagi hari itu.

Kala tsunami menerjang seluruh bangunan Aceh, hanya bangunan Masjid Baiturrahman tidak mengalami kerusakan. Berita mengabarkan kalau sebagian warga selamat memilih berdiam diri di dalam masjid sekaligus menjadi tempat evakuasi jenazah korban tsunami yang bergelimpangan.

masjid baiturrahman aceh
Interior dalam Masjid Baiturrahman Aceh
masjid baiturrahman aceh
Seorang petugas sedang membersihkan tiang penyangga.

Saya menginjakkan kaki masuk ke dalam masjid, terpesona terhadap tiap detil arsitekturnya. Suasana dalam masjid sedang ramai sebab di waktu bersama sedang dilakukan akad nikah bagi warga setempat. Di bawah kubah masjid nan megah, saya ikut menyaksikan proses ijab kabul berjalan syahdu. Sang calon istri tampak sulit membendung air mata kemudian menyekatnya menggunakan tangan. Di sisi lain, seorang bapak tua dengan telaten duduk di samping tiang penyangga membersihkan sisi tembaga pada tiang agar berkilau kembali.

Menikmati keindahan arsitektur Masjid Raya Baiturrahman dapat dilakukan oleh siapa saja yang sedang berkunjung ke kota Banda Aceh. Masjid Baiturrahman bisa dibilang saksi bisu perjalanan sejarah Aceh. Dalam hati berkata, siapa yang berani menghancurkan rumah Allah? Tempat umat-Nya berlindung.

Merinding Berada di Museum Tsunami Aceh

museum tsunami aceh
Museum Tsunami Aceh

Matahari makin terik, saya mengajak Rifky untuk bergerak ke arah Museum Tsunami Aceh, melengkapi jelajah nusantara kami. Duka Ibu juga menjadi duka dunia, bagaimana Ibu kuat melihat ratusan orang terluka hingga lebih dari ribuan orang dinyatakan hilang tanpa jejak. Banyak negara-negara lain bersimpati dan memberikan bantuan untuk Aceh.

Jarak museum tidaklah jauh dari masjid raya, sekitar 500 meter kami berjalan kaki dari belakang masjid ke arah selatan. Museum Tsunami Aceh dibangun untuk mengenang kembali peristiwa yang pernah melanda bumi Aceh.

Museum Tsunami Aceh
Bangkai helikopter di depan pintu masuk Museum Tsunami Aceh
museum tsunami aceh
“Nisan” berisi foto-foto peristiwa tsunami kala itu.

Selesai membayar tiket masuk museum, dekat pelataran masuk sudah terpajang kerangka helikopter hancur, salah satu benda tersisa dari arus tsunami. Saya menjadi penasaran untuk masuk ke dalam museum. Menurut informasi, museum tsunami menyimpan semua foto dan video dokumentasi bencana tsunami. Bangunan museum terdiri dari empat lantai. Di lantai dasar, berfungsi untuk ruang terbuka dan digunakan untuk ruang publik.

Kami masuk ke sebuah lorong nuasa remang tanpa cahaya dengan suhu udara yang cukup dingin. Kiri dan kanan lorong dikelilingi oleh air mengalir ibarat gemuruh tsunami. Didukung dengan suara azan yang sekejap saya seperti ikut larut dalam suasana. Ini baru ruang pertama yang saya lewati yaitu ruang renungan.

Keluar dari ujung lorong air, kita akan melihat ruangan sangat luas berdinding cermin. Di tengahnya penuh dengan “nisan” yang menayangkan foto-foto peristiwa yang saya yakin akan membuat siapa saja melihat akan sulit melupakan trauma pada masa itu. Tidak hanya korban manusia, tapi rumah, gedung, masjid bahkan jalanan kota pun rusak dan hancur. Emosi saya mulai timbul melihat tiap gambar yang ada di gundukan “nisan” tersebut.

Ada sebuah ruangan agak gelap berbentuk silinder memanjang ke atas seperti sumur. Sepintas tidak ada apa-apa dalam ruangan gelap ini, namun cobalah memandang sekeliling dinding ruangan terdapat tulisan nama-nama korban tsunami. Di atap ruangan, terdapat kaligrafi arab berlambang “Allah” dengan sinar remang-remang. Benar saja ruangan ini menjadi klimaks bagi saya. Dalam keadaan kita berada di titik paling bawah rasa takut dan sedih, tidak ada lagi yang akan kita ingat namanya selain Dia. Saya hanya dapat melepaskan doa semoga keluarga yang ditinggalkan kuat dan ikhlas.

Tanpa diketahui orang lain, saya menyekat air mata yang turun tanpa saya hendakin. Kami berjalan keluar mengikuti arah cahaya. Di sana saya melihat banyak bendera negara total berjumlah 52 dari berbagai negara yang memiliki peran pernah memberikan bantuan untuk Aceh. Perasaan saya sudah bisa dikontrol, tidak seperti saat berada di ruang renungan dan sumur doa.

museum tsunami aceh
Para pengunjung sedang menyimak infografis mengenai tsunami
museum tsunami aceh
Sisa barang penemuan setelah tsunami Aceh.
museum tsunami aceh
Luas wilayah Aceh yang habis disapu tsunami tahun 2004 lalu.
museum tsunami aceh
Ruang audio untuk menonton film dokumenter tentang tsunami.

Museum Tsunami Aceh meletakkan barang-barang sisa tsunami pada lantai dua. Semua barang ditemukan dalam kondisi yang tidak utuh dan rusak, sebagian masih ada sisa lumpur seperti al-quran, sandal bahkan motor. Kondisi barang-barang ini seperti mengajak kita untuk berimajinasi liar. Bahwa harta yang selama ini kita kumpul dan jaga saat tergulung musibah tak lagi ada harganya.

Pada lantai yang sama terdapat ruang audio. Kami menyempatkan untuk melihat pemutaran film dokumenter tsunami bersama pengunjung lain. Lolongan teriak minta tolong, isak tangis anak kecil, raut wajah cemas, dan beragam ekspresi dapat kita lihat selama durasi 15 menit. Tak selamanya yang kita lihat adalah duka, ada hikmah dan hal indah yang ada pada tayangan singkat tersebut. Ketika seluruh umat dunia ikut tergerak dan bertindak membantu Aceh. Saat itu pula saya ingat bahwa sejatinya manusia ialah makhluk sosial, naluri untuk menolong timbul dengan sendirinya.

Antara Kopi Sanger, Hujan dan Mimpi

Sesak di dada saya mulai mereda. Mungkin benar, tangisan bisa membuat kita lebih lega. Saya tak mampu membayangkan bagaimana saat itu Ibu menangis melihat rumahnya bersih hanya sekali sapuan gelombang air. Perjalanan saya ke Aceh memberikan pengalaman yang mengejutkan dalam menjelajahi nusantara.

“Ibu, aku senang akhirnya bisa mengunjungimu di Aceh. 13 tahun memang bukan waktu yang sebentar untuk engkau lupakan. Tapi aku yakin sekarang Ibu sudah bisa tersenyum melihat Aceh sudah lebih baik,” batinku berkata.

Teringat obrolan saya dengan Bang Yudi, sahabat blogger saya dari Aceh. Kami janji berjumpa di kedai kopi yang tak jauh dari Tugu Simpang Lima sehabis menikmati mie Aceh. Bagi warga setempat, kedai kopi adalah tempat menyenangkan untuk menghabiskan malam dengan secangkir kopi Sanger.

blogger aceh
Jumpa dengan Bang Yudi asal Aceh, orang yang selalu ingin naik pesawat Garuda. Moga mimpimu terwujud, Bang!

Ini kali pertama saya mencicipi kopi khas yang memiliki filosofi menarik bagi orang Aceh. Obrolan kami mengalir begitu saja, Bang Yudi bertanya pada saya tentang kesan saya terhadap Aceh.

“Bang, saya kira Aceh itu kota yang menyeramkan untuk dikunjungi. Ternyata pemikiran saya salah,” seru saya sambil menyeruput kopi.

Dia tertawa lepas, “Dari mana pula koh bisa simpulkan seperti itu?”

Sepanjang perjalanan melihat kota Banda Aceh, kota ini nyaman dengan warga lokal yang ramah. Walau kita berada di kota yang memegang kuat syariat Islam, tampaknya tak ada yang perlu dikhawatirkan selama kita memegang prinsip di mana bumi dipijak disitu langit dijunjung. Tsunami yang terjadi di Aceh tahun 2004 memang peristiwa yang memilukan. Berapa ribu orang kehilangan keluarga, termasuk kisah Bang Yudi.

kopi sanger
Kopi Sanger khas Aceh

“Koh, siapa bilang saya tidak sedih? Keluarga saya ada juga termasuk korban tsunami. Waktu itu saya juga ikut mencari keberadaan mereka. Masih mau bilang tsunami Aceh karena dosa orang Aceh?” satirnya sambil menarik nafas sejenak.

“Kami baru kenal istilah kata tsunami setelah peristiwa itu. Dan oleh karena tsunami justru orang-orang Aceh jadi lebih kompak. Ada hikmah bukan?” lanjutnya kembali. Saya menikmati obrolan singkat malam itu. Rintik hujan tak kunjung reda, entah mengapa kopi Sanger yang saya minum terasa pekat menempel di bibir.

“Lalu, next ada rencana trip mau ke mana bang?” tanya saya.

“Saya ke mana saja mau lah koh! Asal pakai Garuda!” serunya. Saya mendelik dan tertawa spontan. “Lho benar, koh! Dari dulu salah satu cita-cita yang belum tercapai itu bisa naik pesawat Garuda, lalu pamer tiket pesawat Garuda Indonesia. Tahu sendiri kan harga tiket pesawat dari Aceh harganya selangit,” lanjutnya kembali.

Kami tertawa dan saya yakin dia bakal lebih kesal kalau saya bilang sesuatu padanya. “Makanya Bang Yudi, pakai Skyscanner! Aku ke Aceh ini naik Garuda juga lho!” Tawa kami renyah menyisakan gelang kopi kosong. Menertawakan mimpi-mimpi kami agar dapat terwujud. Perjalanan kali ini menjamahku pada nusantara tercinta, bertemu dengan orang-orang dan peristiwa besar.

Deddy Huang
Deddy Huanghttp://deddyhuang.com
Storyteller and Digital Marketing Specialist. A copy of my mind about traveling, culinary and review. I own this blog www.deddyhuang.com

79 KOMENTAR

  1. Aceh, memang selalu menarik ya koh 🙂
    Makasih sudah berbagi cerita dan informasi.
    Saya terakhir ke sana juga sempat bertemu dengan Bang Yudi. Orang yang ramah dan saya baru tau kalau Bang Yud itu kemana-mana maunya naik Garuda 😀

    Btw ngopi di Kuta Alam ya Koh?
    Kaya kenal sanger dan gelas kopinya 🙂

  2. Ikut merinding lihat koleksi museum tsunami.
    Masih kebayang rekaman video amatir di televisi saat kejadian itu.

    Ikut kusupport semoga menang ikut lomba penulisannya,ko.

  3. Hah, baru tahu ketemuan sama Yudi, dia curhat blm bisa dan bercita2 mau naik Garuda ya?

    Yud…yud!

    Museum Tsunami nya ini kaya magnet bikin hati ketarik. Mau juga ah menyambangi Aceh. Kemarin saat ada acara RTIK saya ga bisa ikut. Semoga kapan2 masih ada acara dan kesempatan. Amin.

    Salam
    Okti Li

  4. Tahun kemarin aku pernah dapat project di Aceh. Tinggal di banda aceh selama seminggu. Suka sekali nongkrong di warkop yang tidak pernah sepi. Dan Aceh memang aman dan wajib buat dikunjungi 😀

  5. Paman angkatku di Jambi orang Aceh asli. Dia banyak cerita tentang Aceh, waktu itu aku masih SMA. Cuma dari sekian cerita, yang paling kuingat adalah kebencian orang asli Aceh pada suku Jawa terkait Soeharto dan kebijakan DOM. Pamanku itu menikah dengan wanita Jawa dan musti keluar Aceh. Agak ngeri-ngeri sedap juga bayanginnya, soalnya walau lahir dan gede di Sumatera aku tetap wajah Jawa banget hahahaha.

    Tapi kurasa sekarang nggak gitu lagilah ya. Aku paling penasaran nyicipin kopi itu, sama ngelihat bangkai kapal di tengah kota yang katanya dulu keseret ombak pas tsunami. Cuma Aceh jaraknya lumayan nih kalau dari Pemalang/Semarang sini, apalagi kalau naiknya Garuda. Hihihi. Semoga ada rejekinya nanti bisa bertandang ke Aceh. Amin.

    Anyway. good luck ya, Koh.

  6. Satu hal yang paling aku nyesel seumur hidup itu gak sempat ke Aceh waktu kakakku tugas di sana dua tahun pasca tsunami, padahal udah ditawarin.. Cuma mama aja yang berangkat ke Aceh jenguk kakak.. Hiks.. Sekarang aku pingin banget bisa ke Aceh, termasuk ke Museum Tsunami.. Pasti aku merinding kalo masuk sana.. Eh, jadi 2004 masih putih abu-abu Koh? Tuaan aku doong kalo gituuu.. wkwkwk 😀

  7. Iya.kalo inget peristiwa tsunami luar biasa rasanya ya. Dulu air mata ga berhenti nonton tv… haru sedih dan memetik hikmah yg banyak. Jadi pingin ke aceh…kata orang pantai aceh itu bagusss buat bulan madu kedua krn tenang dan sekarang banyak bakaunya

  8. Larut dan mata mendadak berkaca-kaca saat baca tulisan ini. Aku ingat persis saat kejadian tsunami ini. Menonton Najwa Shihab yang saat itu jadi reporter Metro, ia menangis senggukan saat memberitakan tsunami langsung dari lokasi kejadian. Di belakang dia mayat masih bergelimpangan.

  9. Tsunami korbannya tak cuma masyarakat Aceh. Orang Minang yang tinggal di sana juga banyak tak bertemu lagi. Salah satu diantaranya kerabatku. Bencana ini emang luar biasa bikin patah hati

  10. Hu…hu…belum pernah ke Aceh. satu-satunya propinsi di pulau Sumatera yang belum dikunjungi. Moga ada rezeki bisa sampai ke Aceh

  11. Dadaku sesak melihat sumur doa itu. Membayangkan ribuan nama yang tertulis disana, seperti apa keadaan mereka saat tersapu tsunami. Sungguh, menjadi pengingat diri, bahwa kita tak ada apa-apanya. Ah… jadi pengen ke Aceh

  12. ingin sekali rasanya melihat masjid Baiturahman secara langsung dan solat di dalamnya, btw itu mie acehnya mantab kayaknya hehehe

  13. Aceh, salah satu daerah yang terkenang banget di hati. Selalu pengen berkunjung ulang ke sana. Belajar tentang keikhlasan dan ketegaran lalu berusaha bangkit kembali.

    Selain itu, jelas makananannya bikin kangen juga yaampun, kalau ke warung nasi deket Pasar Sabang sama tempat ayam tangkap, itu beneran kalap nambah terus. ?

  14. Tsunami menyisakan luka, bukan hanya bagi Aceh namun bagi seluruh Indonesia. Aku tuh masih inget pagi hari liat berita ini terus nangis sesunggukan di depan tv. Harapannya sekarang, semoga Aceh dan masyarakatnya terus kuat dan terus berkembang ya 🙂

  15. Ahh jadi kangen kan pengen main ke Aceh lagi koh..

    Kopi sanger dan mie kepitingnya gak ada yg seenak di Banda Aceh euy..

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Deddy Huang

Lifestyle Blogger - Content Creator - Digital Marketing Enthusiast

With expertise in content creation and social media strategies, he shares his insights and experiences, inspiring others to explore the digital realm.

Collaboration at [email protected]

Artikel Populer

Komentar Terbaru