BerandaPelindung Suara Anak dari Tanah Banten

Pelindung Suara Anak dari Tanah Banten

Author

Date

Category

Ruang kelas itu masih menyimpan sisa tawa sore tadi. Di papan tulis, kapur putih menahan kalimat yang belum sempat terhapus, “aku berani bilang tidak”. Di atas meja, boneka tangan kuning tergeletak dengan benang yang terurai, seolah menunggu sentuhan kecil yang memperbaikinya.

Dari pemandangan sunyi seperti inilah gerakan itu bertumbuh. Gaungnya sampai ke panggung nasional ketika Astra menganugerahkan Apresiasi SATU Indonesia Awards kepada pendirinya, Hana Maulida, pelindung suara anak dari Banten. Namun jauh sebelum sorotan itu datang, semuanya berawal dari kesadaran sederhana. Banyak anak ingin bercerita, tetapi takut. Keresahan itulah yang menuntun langkah Hana setiap hari, diiringi satu pertanyaan yang terus kembali, “Cukupkah ini menjaga mereka?”

Keresahan yang Menjadi Panggilan

Bagi Hana, yang paling berat bukan daftar kasus di atas kertas, melainkan saat seorang anak tidak tahu harus bercerita kepada siapa. Sejak saat itu, arti hadir menjadi jelas. Hana tidak menyebut diri penyelamat, melainkan Hana memilih mendampingi agar tidak ada anak yang merasa sendirian ketika takut datang.

Hana menangkap kegelisahan anak-anak di Serang. Dok. Tangkapan layar materi presentasi Hana Maulida

Pengalaman di Dinas Perlindungan Anak Kabupaten Serang mengajarkan bahwa rasa takut pada anak sering datang pelan, dan kerap berakar dari orang terdekat. Kenangan masa sekolah, teman sebaya yang menangis tanpa berani menjelaskan alasan membekas lama dan menuntun langkah Hana belajar Kesejahteraan Sosial di Universitas Indonesia. Dari sana ia paham, melindungi sering bermula dari keberanian untuk mendengar.

Data menguatkan kegelisahan itu. Sepanjang 2023, SIMFONI PPA mencatat lebih dari 18.000 kasus kekerasan terhadap anak, dan hampir 11.000 di antaranya kekerasan seksual. Di Kabupaten Serang, tercatat 131 kasus pada tahun yang sama. UNICEF Indonesia menyebut satu dari lima siswa usia 13 sampai 15 tahun mengalami perundungan di sekolah. Angka-angka ini bukan sekadar deret laporan, mereka adalah anak-anak yang menahan cerita, yang sebenarnya ingin bicara, tetapi belum merasa aman untuk melakukannya.

Jumlah persebaran kekerasan anak di Indonesa. Dok. kekerasan.kemenpppa.go.id
Korban berdasarkan usia. Dok. kekerasan.kemenpppa.go.id

“Hari ini keluarga sudah hilang fungsinya, karena orang yang melakukan kekerasan pada anak terutama kekerasan seksual adalah orang terdekat. Dan tempat terjadinya terjadinya kekerasan pada anak adalah di rumah.” ujar Hana dalam sesi wawancara.

Hana tahu perubahan jarang lahir dari ruang rapat atau poster besar. Ia memilih kembali ke kelas, ruang kecil tempat suara pelan punya kesempatan tumbuh. Di sanalah kata pertama dilatih, dan keberanian dirawat.

Menemani Anak Belajar Aman

Kakak Aman melakukan sosialisasi di sekolah. Dok. instagram.com/kakakaman.id

“Kami datang untuk belajar rasa aman bersama.” Kalimat sederhana itu membuka setiap pertemuan di sekolah.

Suasana awal kelas biasanya masih kaku. Beberapa anak menunduk, ada yang berbisik pelan ke temannya. Hana lalu mengeluarkan boneka tangan kuning dari tas kain. Boneka itu memperkenalkan diri dengan suara lembut, lalu mengajak anak menebak gambar pada kartu warna. Tawa mulai terdengar. Guru ikut menepuk tangan mengikuti lagu pendek yang bercerita tentang tubuh yang perlu dijaga dengan sayang.

Setelah suasana cukup nyaman, anak-anak diajak berlatih tiga kalimat aman.

“Aku tidak nyaman”
“Boleh aku cerita”
“Aku butuh bantuan”

Mereka menirukan perlahan. Beberapa masih salah sebut lalu tertawa bersama. Yang penting bukan sempurna mengucapkan, tetapi berani mencoba. Kemudian giliran orang dewasa di ruangan itu. Guru melatih tiga tanggapan yang menenangkan.

“Terima kasih sudah cerita”
“Kamu berhak merasa aman”
“Ayo kita cari jalan bersama”

Anak-anak dilatih kata-kata aman. Dok. Youtube Kakak Aman Indonesia.

Kalimat anak dan kalimat guru menjadi satu pelajaran yang utuh. Anak belajar mengenali batas diri, dan orang dewasa belajar hadir tanpa tergesa.

Pertemuan biasanya berlangsung sekitar satu jam pelajaran. Di akhir sesi, anak menggambar hal yang membuat mereka merasa aman pada hari itu. Ada yang menggambar rumah, ada yang menggambar teman, ada yang hanya menggambar lingkaran dengan warna cerah. Gambar-gambar itu ditempel di papan tulis agar bisa dilihat bersama. Dari sana, Hana dan tim belajar bahwa rasa aman memiliki bentuk yang berbeda bagi setiap anak.

Lagu dan gerakan menjadi media edukasi bagi anak-anak .Dok. Youtube Kakak Aman Indonesia

Yang membedakan Kakak Aman bukan pada alat peraga atau lagu, melainkan pada pengulangan yang konsisten. Setiap pekan, guru mengingatkan kembali tiga kalimat aman di awal pelajaran. Perubahan tidak datang sekaligus, namun kabar baiknya sama di setiap tempat, anak tidak lagi merasa sendirian saat takut datang, dan orang dewasa belajar mendengar lebih pelan.

Dari Ragu Menjadi Ruang Percaya

Kakak-kakak relawan dari Gerakan Kakak Aman mendatangi SDN Cikande 2. Dok. www.kakakaman.id

Saat pertama kali Kakak Aman hadir, sambutannya tidak selalu hangat. Ada guru yang mengernyit ketika mendengar kata tubuh disebut di kelas. Ada bisik-bisik yang mempertanyakan apakah perlu anak SD belajar hal seperti ini. Beberapa orang tua bahkan menolak hadir karena khawatir anak menjadi terlalu berani.

Hana tidak menjawab keraguan itu dengan penjelasan panjang. Ia memilih duduk bersama dan mendengarkan lebih dulu. Dalam pertemuan kecil di ruang guru, Hana membentangkan kartu gambar dan berkata pelan, bahwa mereka hadir untuk belajar rasa aman, bukan perlawanan. Keraguan perlahan surut ketika para guru melihat sendiri bagaimana anak-anak merespons di kelas. Anak-anak yang tadinya menunduk kini berani mengangkat tangan.

Jembatan ke Orang Tua dan Guru

Percakapan tentang rasa aman kemudian meluas ke pertemuan orang tua. Suasana dibuat akrab, kursi disusun melingkar agar semua merasa setara. Hana membuka dengan pertanyaan sederhana yang mengajak setiap orang memeriksa diri, “Kalimat apa yang biasanya muncul ketika anak berkata tidak?”

Ada yang menulis jangan keras kepala. Ada yang menulis ikuti saja dulu. Kertas-kertas itu ditempel di papan tulis dan dibaca bersama. Ruangan menjadi hening. Setiap orang seperti sedang menimbang ulang kebiasaan mereka berbicara pada anak.

Dari sana, mereka berlatih tiga tanggapan yang menenangkan. Bukan sebagai hafalan, melainkan diucapkan perlahan dengan nada yang lembut. Beberapa orang tua terdiam lama setelah mencobanya. Ada yang mengusap mata pelan. Banyak yang menyadari bahwa kalimat sesederhana “Terima kasih sudah cerita” jarang terdengar di rumah.

Ketika Keberanian Menular

Sosialisasi ke masyarakat lebih luas. Dok. instagram.com/kakakaman.id

Langkah pertama yang dimulai di satu sekolah kecil di Serang itu mulai menimbulkan riak. Kabar tentang sesi yang hangat menyebar dari mulut ke mulut. Energi baru datang saat mahasiswa dari kampus terdekat bergabung sebagai relawan. Mereka membuat boneka tangan, mencetak poster, dan membantu guru memandu lagu.

Dalam dua tahun, enam relawan bertambah menjadi lebih dari lima puluh orang. Keberanian tumbuh pada anak, lalu menular kepada orang dewasa di sekeliling mereka. Guru yang dulu takut salah bicara, kini berani menenangkan anak yang melapor. Orang tua yang dulu ragu, kini bertanya dengan nada lebih lembut.

Empat mahasiswa berkerjasama dengan komunitas Gerakan Kakak Aman Indonesia untuk memberikan edukasi pencegahan kekerasan seksual kepada anak-anak sekolah dasar di Kota Serang. Dok. instagram.com/kakakaman.id

Perubahan itu terlihat dalam isyarat-isyarat kecil. Di sebuah kelas, seorang anak mengangkat tangan setelah lagu usai dan berkata pelan, “Saya tidak nyaman.” Guru menatap sebentar, lalu menjawab, “Terima kasih sudah cerita.” Percakapan berhenti di situ, tanpa teguran dan tanpa rasa bersalah. Di rumah, seorang anak mulai bercerita saat makan malam, dan orang tua belajar untuk berhenti sejenak dan benar-benar mendengar.

Saat Api Kecil Mulai Menyala Sendiri

Boneka tangan menjadi ‘teman’ pertama yang mengajak anak-anak tertawa dan belajar tentang rasa aman. Dok. www.kakakaman.id

Kakak Aman tumbuh dari kebiasaan kecil yang terus diulang. Setiap sesi dirancang sederhana, cukup satu jam pelajaran. Fasilitator membawa kit berisi panduan lagu, kartu gambar, dan enam kalimat aman. Guru sengaja didampingi sejak awal, agar sesi berikutnya bisa dijalankan secara mandiri. Satu pertemuan cukup untuk menyalakan langkah pertama; dari situ, sekolah mulai melanjutkan sendiri.

Perkembangannya berjalan alami tanpa seremoni besar. Kepala sekolah menceritakan pengalaman kepada rekan di sekolah tetangga. Guru melatih guru lain di sela rapat. Langkah-langkah kecil ini membentuk rantai yang tenang, tetapi terus bergerak.

Body Safety Kit sebagai alat untuk mengedukasi anak-anak. Dok. Tangkapan layar materi presentasi Hana Maulida

Menjelang akhir 2024, lebih dari belasan sekolah di Kabupaten Serang dan Cilegon menjalankan sesi mandiri. Beberapa guru bahkan membuat adaptasi sendiri menggunakan lagu daerah atau melibatkan siswa kelas atas untuk mendampingi adik kelasnya. Gerakan ini hidup bukan karena dana besar, tetapi karena rasa percaya yang menular dari satu tangan ke tangan lain.

Langkah Kecil, Gaung Besar

Gerakan yang bertumbuh dari bawah ini kemudian mendapat penguatan dari sistem. Dukungan dari dinas terkait memastikan pelatihan guru dapat berlanjut, sementara Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual memberi payung hukum yang kokoh.

Hana dalam projek mempresentasikan Kakak Aman selama YSEALI 2024. Dok. The Jakarta Post
Hana dalam projek mempresentasikan Kakak Aman selama YSEALI 2024. Dok. The Jakarta Post

Perjalanan Hana kemudian melewati batas daerah. Sejak 2021, ia terlibat dalam jejaring pencegahan kekerasan bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Pada 2024, YSEALI Seeds for the Future mengundangnya ke Bangkok untuk berbagi praktik baik di tingkat Asia Tenggara.

Hana menerima apresiasi penghargaan SATU Indonesia Awards 2024. Dok. instagram.com/kakakaman.id

Di tahun yang sama, Apresiasi SATU Indonesia Awards kategori Pendidikan menjadi penanda penting perjalanan ini. Namun, penghargaan ini bukan garis akhir, melainkan bahan bakar baru yang memperkuat semangat. Arah kerja Hana tetap sama, ia terus mengunjungi sekolah kecil, membawa boneka tangan, dan memilih mendengar lebih banyak daripada bicara.

Baginya, penghargaan hanyalah penanda bahwa suara kecil bisa bergema jauh ketika ada yang mengucapkannya dengan kasih.

Jejak yang Terus Menyala

Kekerasan terhadap anak belum benar-benar berhenti. Setiap angka di laporan selalu memiliki wajah, cerita, dan keberanian yang berjuang untuk tumbuh. Di ruang kelas, seorang anak menunduk saat mencoba bercerita. Di ruang guru, seseorang belajar mendengarkan tanpa memotong. Di rumah, orang tua mulai menahan nada tinggi dan memilih bertanya lebih lembut. Perubahan kecil ini menuntun langkah yang pelan tetapi konsisten menuju ruang belajar yang lebih aman.

Guru-guru memberikan pengalaman positif terhadap kegiatan Kakak Aman. Dok. Youtube Kakak Aman Indonesia

Dari Banten, nyala kecil bergerak ke banyak tempat. Dalam beberapa pertemuan, Hana menerima gambar sederhana dari anak-anak dengan tulisan terima kasih Kak. Huruf-hurufnya belum rapi, tetapi pesannya sampai dengan jelas. Ucapan itu bukan penghargaan, melainkan kepercayaan yang tumbuh dari kedekatan dan rasa aman.

Etika Visual dan Keselamatan Anak

Setiap dokumentasi dalam kegiatan Kakak Aman mengikuti etika yang ketat. Anak selalu menjadi subjek yang dihormati, bukan objek yang ditampilkan. Wajah tidak muncul tanpa persetujuan tertulis dari pendamping, dan identitas anak selalu disamarkan. Kamera mengambil sudut yang menjaga martabat, tujuannya bukan mengundang simpati, tetapi menghormati privasi.

Bahasa yang menyertai foto dan video dijaga dengan cermat. Teks tidak memberi label “korban” atau menyalahkan. Dengan cara ini, rasa aman tidak berhenti di kelas saja tapi juga ikut hadir dalam cara orang dewasa bercerita tentang anak.

Selama Masih Ada Satu Anak yang Diam

Satu per satu anak pulang, meninggalkan jejak tawa yang perlahan mereda. Hana merapikan boneka tangan di meja, lalu menatap tulisan kecil di dinding kelas: aku aman di sini. Kalimat itu tidak lahir dari rencana besar, tetapi dari kehadiran yang dijaga setiap hari.

“Gerakan ini bukan tentang saya. Yang saya inginkan hanya satu, ada orang dewasa yang sungguh mau mendengar di setiap sekolah,” ucap Hana pelan.

Hana tidak mengejar skala besar. Keberanian anak tumbuh dari ruang kecil yang aman, yang diulang pelan, tetapi konsisten. Jika satu ruang aman menyala, ruang lain akan menyusul. Begitu gerakan ini terus hidup.

Dunia belum sepenuhnya aman untuk anak. Namun selama masih ada satu orang dewasa yang mau duduk dekat tanpa menghakimi, keberanian tetap menemukan tempat untuk tumbuh.

Kisah ini mengingatkan satu hal sederhana. Di tengah ribuan data kasus yang menyisakan sesak di dada, kita sering mencari jawaban yang rumit dan jauh. Padahal kekuatan itu justru berada pada hal yang paling dasar, yang sering kita lewatkan. Kesediaan untuk benar-benar mendengar.

Tim Kakak Aman. Dok. instagram.com/kakakaman.id

Kisah Hana Maulida dan Kakak Aman adalah bukti bahwa perubahan terbesar tidak selalu membutuhkan modal triliunan. Namun, ketika ketulusan sebuah gerakan dari bawah bertemu dengan pengakuan dari puncak dunia korporasi melalui Astra SATU Indonesia Awards, gaungnya akan terdengar lebih nyaring, menyalakan lebih banyak harapan di ruang-ruang kelas lainnya di seluruh Indonesia.

Pada akhirnya, apa yang diajarkan Kakak Aman adalah bahwa perubahan terbesar tidak lahir dari teriakan revolusi, melainkan dari keberanian untuk mendengar sebuah bisikan. Mulailah dari tiga kalimat sederhana yang mengandung kehangatan yang utuh.

Terima kasih sudah bercerita.
Kamu berhak merasa aman.
Ayo kita cari jalan bersama.

Kadang perubahan dunia dimulai dari ruangan yang sangat kecil.

#kabarbaiksatuindonesia #SatukanGerakTerusBerdampak #KitaSATUIndonesia

***

Referensi :

  1. Webinar bersama Hana Maulida melalui Zoom Meeting
  2. KPAI. Laporan Tahunan Perlindungan Anak 2023. https://www.kpai.go.id/publikasi/laporan-tahunan
  3. KemenPPPA & SIMFONI PPA. Dashboard Kekerasan Pada Anak 2023. https://kekerasan.kemenpppa.go.id/ringkasan
  4. WHO. Violence Against Children Fact Sheet. https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/violence-against-children
  5. UNESCO. Behind the Numbers: Ending School Violence and Bullying. https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000366483
  6. Astra International. SATU Indonesia Awards. https://www.satu-indonesia.com/awards
  7. KemenPPPA. Panduan Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM). https://kemenpppa.go.id/
  8. UNICEF. Modul Pencegahan Eksploitasi dan Kekerasan Seksual Anak di Ranah Daring Bagi Orang Tua dan Pengasuh https://bakti.or.id/sites/default/files/publikasi/Buku%201_Fasilitator_Modul%20OCSEA%20Orang%20Tua_BakTI_Final%202024%20%282%29.pdf?
  9. Laporan PT Astra International Sustainability Report 2024 https://r2.astra.co.id/Astra%20Sustainability%20Report%202024.pdf
Deddy Huang
Deddy Huanghttps://deddyhuang.com
Storyteller and Digital Marketing Specialist. A copy of my mind about traveling, culinary and review. I own this blog www.deddyhuang.com

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Deddy Huang

Lifestyle Blogger - Content Creator - Digital Marketing Enthusiast

With expertise in content creation and social media strategies, he shares his insights and experiences, inspiring others to explore the digital realm.

Collaboration at deddy.huang@yahoo.com

Artikel Populer

Komentar Terbaru