Potensi Wisata Alam Besemah
Masih menyimpan rasa penasaran saya untuk Jelajah Alam Besemah yang pernah dimasuki oleh Belanda saat di Sumatera Selatan. Tentunya budaya Besemah memiliki keindahan serta sejarah tanah Besemah masa lalu yang menjadi kebanggaan di Bumi Sriwijaya. Adat Besemah ini biasanya tersimpan rapat yang disajikan berupa objek wisata yang bisa kita kunjungi. Info yang saya dapat dari teman yang berasal dari Besemah, bahwa nama Besemah adalah merujuk ke suku yang ada di daerah Lahat dan Pagaralam. Cakupan asal muasal suku Besemah luas sekali dan tampak seperti tidak memiliki batas wilayah geografis yang tegas. Walaupun terpisah secara geografis dan administratif, mereka tetap merasa dan mengakui jati diri sebagai orang Besemah atau keturunan Besemah.
Beberapa kali jelajah alam Besemah seperti Lahat dan Pagaralam sering kali berdecak kagum dengan potensi wisata yang masih alami di dua kota tersebut dan belum banyak diketahui orang. Memang saya mengakui kalau ingin berkunjung ke wilayah Besemah kita harus menggunakan kendaraan pribadi serta ditemani oleh orang setempat yang mengenal wilayah tersebut agar bersedia mengantarkan kita ke potensi wisata tersebut.


Dimulai dari wilayah Besemah Pagaralam bersama rombongan Pagaralam Move On dan Pagar Alam Guide. Kami pun diajak ke suatu tempat dengan “iming-iming” tempat ini merupakan kawasan unik di tanah Besemah yang menyerupai taman batu. Lewat foto dari ponsel Pak Eko, dia meyakinkan kami untuk berkunjung saat malam hari kami berkumpul menikmati Kopi Pagaralam yang nikmat. Ditunjukannya sekilas foto-foto yang ada di taman batu organik milik Mang Damsi. Lokasi taman milik Mang Damsi ini berada di Desa Bandu Agung, Kecamatan Muara Payang. Perlu waktu sekitar tigapuluh menit jam perjalanan dari Pagaralam menuju lokasi. Setelah sampai di Desa Bandu Agung, kita harus berjalan kaki sekitar 10-15 menit melewati perkebunan kopi yang rindang, sampailah kita di taman indah ini.
Di tengah perjalanan, saya berjumpa dengan seorang anak kecil yang baru selesai pulang sekolah. Sifatnya yang polos seketika mengulurkan tangannya ke arah saya yang kebetulan saat itu sedang menikmati snack ringan. Hati saya luluh dan segera memberikan snack yang baru saya buka untuk si adik kecil. Kami tertawa bersama, baru saja dibuka sudah “dipajakin” sama anak kecil 😀


Belajar Arti Sabar Lewat Filosofi Taman Batu Organik
Kami segera melangkah masuk lebih dalam di sebuah jalan setapak yang penuh dengan lumpur di antara kebun kopi. Jalanan setapak ini merupakan akses masuk ke dalam Taman Batu Organik milik Mang Damsi. Tapi tidak apa-apa, karena kita juga bisa sambil menikmati pemandangan kebun kopi jenis Arabica dan Robusta yang sudah terkenal di Sumatera Selatan. Untunglah kami tidak mengajak para manja traveler atau aleman traveler yang pasti akan kerepotan untuk melalui jalanan becek dan licin.
Perjalanan tidak terlalu lama, dari arah jauh kami sudah melihat tatanan jalan tanah padat dengan rumput hijau. Sisanya merupakan batu-batu alami yang disusun sedemikian rupa seperti berada di dalam sebuah labirin. Hampir 80 persen luas tanah di taman ini disusun oleh batu-batu tanpa perekat. Saya langsung teringat dengan filosofi Yin dan Yang yang mengajarkan kita tentang keseimbangan dan cara menyusun batu. Layaknya kita bertamu ke rumah orang, ada aturan bagi kita untuk melepaskan alas kaki sewaktu menginjak kaki di taman batu ini.


Tanganku iseng mencoba mengangkat sebuah batu yang sudah disusun. Ternyata setiap sisi batu memang menyatu dengan batu lainnya tanpa perekat. Saya jadi berpikir, sudah berapa lama beliau melakukannya?
Terdapat sebuah pondokan kayu bertingkat dua di samping pintu masuk menyambut kami. Lantainya berupa tanah empuk yang bersih. Saya menduga pondokan ini merupakan tempat Mang Damsi beristirahat sembali menghidangkan kopi hangat dari tungku api dengan teko logam di atasnya. Saya mendekati tungku api tersebut lalu melihat sebatang bambu yang bolong di tengahnya.

“Itu namanya Tering,” seru mbak Linda yang sudah berdiri di belakangku kemudian memperagakan cara menggunakan Tering. Tering merupakan alat untuk meniup api agar volume api lebih besar. Metode memasak yang tradisional ini tentunya jarang kita jumpai di perkotaan, masih sangat alami. Konon, masak menggunakan kayu bakar cita rasanya lebih sedap.
Berada di Taman Batu Organik membuat kakiku ingin segera berkeliling melihat hasil karya dari Mang Damsi. Saya melihat teman-teman saya sudah berkeliling di sekitar taman, namun sosok lelaki usia lanjut dengan uban yang hampir memenuhi kepalanya ini memiliki kisah menarik untuk didengar. Dia menghisap dalam “Djarum” di tangannya sembari melanjutkan dirinya becerita.





Volume suara Mang Damsi tidak segagah dulu, namun kita masih dapat mendengarkannya. Berdasarkan cerita Mang Damsi, taman batu organik ini terbuka untuk umum agar bisa digunakan buat pengajaran. Mang Damsi dulunya mengerjakannya sendirian sejak tahun 1980 sampai sekarang di luas tanah yang sedang kami datangi. Bagaimana cara Mang Damsi melakukan semuanya itu? Mang Damsi menggali tanah kemudian memisahkan tanah dan berbatuan. Selanjutnya dengan kemampuannya yang merupakan alumnus ISI Jogja, Mang Damsi menyusun batu-batu tersebut hingga seperti yang kita lihat sekarang. Barangkali kita tidak akan percaya kalau semua dia lakukan tanpa menggunakan alat berat, bahkan semen atau batu bata. Mang Damsi mengerjakannya semua mulai mengeduk tanah hanya dengan kedua tangannya. Luar biasa!
Saat ini ada orang yang membantu dirinya, menurutnya orang tersebut adalah orang yang ingin belajar termasuk membantu Mang Damsi menggali tanah. Hanya orang-orang pilihan yang menurut Mang Damsi cocok untuk membantunya dan memiliki niat yang baik. Jujur saja sedikit mengenyitkan dahi dengan cara berpikir logika saat berbicara dengan Mang Damsi. Tiap tutur katanya seperti sebuah nasehat dan arahan. Barangkali kalau kalian yang memiliki ilmu kejawen dapat berhubungan langsung dengan apa saja yang ada di Taman Batu Organik ini.



Bebatuan di taman ini di susun seolah merekat satu sama lainnya, padahal tidak menggunakan perekat seperti semen sedikitpun. Menurut Mang Damsi, dia hanya menjodohkan bebatuan itu sehingga saling menyangga satu sama lainnya. Di sela-sela batu, Mang Damsi menanam beragam jenis bunga untuk mempercantik penampilan secara visual. Lumayan lama juga kami berada di taman batu organik ini untuk melihat sendiri karya seni imajinasi tinggi dari seorang Mang Damsi.
Disela obrolan bersama Mang Damsi mengenai filosofi taman batu, saya menangkap sebuah pesan bahwa apa yang ada di bumi ini sudah memiliki pasangannya masing-masing. Kalau belum mendapatkannya artinya perlu waktu lebih sabar untuk menunggu hingga waktu yang tepat dan berjodoh.
Jelajah alam Besemah khususnya wisata Lahat kali ini memang bukan hanya memberikan saya wawasan mengenai wilayah Besemah, melainkan filosofi yang dapat dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari. Saya masih harus lebih banyak bercerita tentang Pesona Sriwijaya.
nginak artikel tini.., Laju nak balek ke dusun…..
Bagusnyaaaaa…
Pengen ke sana ah suatu hari nanti. Dihitung-hitung memang baru beberapa kali aja ikut suami mudik ke Pagaralam. Dan kayanya doi juga ga tau ada tempat sekeren ini di sana. Maklum, dia orang Pagaralam karena cuma numpang lahir doang di sana.hahaha.
Thanks for sharing, Koh.
Malah jadi lebih tau tentang Pagaralam di sini.
Dpp Alma, kan agek kalo balik deket Lahat pacak ke sini.
[…] obrolan bersama Mang Damsi mengenai filosofi taman batu, saya menangkap sebuah pesan bahwa apa yang ada di bumi ini sudah memiliki pasangannya […]
Wiih,, beberapa kali ke Lahat…
Tapi ga mampir kesana..hoho,,
kayaknya yang keren fotografer dan modelnya ni..
Wah kapan itu mas ke Sumselnya?
Pagaralam ini memang menyimpan sejuta pesona ya. Alam, sejarah, budaya-nya.
sayangnya jauh 8 jam 🙁
inspiratif banget, jiwa pengabdian dan konsisten pada apa yang diyakini
tapi hasilnya cakep banget, serasa taman yang ditata oleh arsitek lansekap..
btw batu2nya bukan batu peninggalam sejarah?
batu-batunya ini bukan peninggalan sejarah mas, tapi memang sengaja dia gali. kalau dipikir ini bapak gak ada kerjaan banget ya, cuma balik-balik ke seni 😀
Buatan manusia masa kini,,,mengadopsi dari masa lampau ce candian. Luar biasa
Aku juga penasaran untuk lihat candi. Selama ini kan memang belum pernah lihat candi hehe.
keren tamannya … butuh passion dan dedikasi untuk mewujudkannya .. hebat deh mang damsi ini … sangat menginspirasi
Buat kita orang awam mungkin berpikir, apa yang dia lakukan ini sia-sia. Tapi bagi orang yang udah punya passion ini adalah kepuasan.
ya ampuuun tamannya… bisa jd inspirasiku nih utk bikin taman di rumah mirip2 ini ;p.. walo luasnya ga sampe sepertiganya 😀
Mau gali tanah juga mbak? 😀
cakep tempatnya koh, selalu suka dengan yang hijau-hijauuu, eh gak takut becek kan?
Bravo untuk Mang Damsi! Itu tamannya rapih bener!
Dia telaten dan sabar. Perlu ditiru caranya ya
Sesungguhnya alam itu sudah menyediakan semua yang kita butuhkan ya. Mungkin seperti ini pula yang dilakukan saat membangun candi-candi bersejarah kita, hehe.
Kirain kayak Stone Garden di Padalarang, koh. Ternyata unik juga, menarik 🙂
Aku juga penasaran Teguh ke stone garden. Lihat foto orang di IG kece dan instagramable.
Ditunggu di Bandung ya 🙂
Nah ini mirip-mirip taman megalitikum di Lampung. Sama keren, sama kece.
Kalo taman megalitikum aku belum tahu. Ntar cubo googling dulu bentuk tamannyo, Yan.
Menarik banget, aku pikir taman batu organik itu apa ,,, ternyata ini maksudnya. *menerjemahkan dari gambar saja*
Aku agak-agak gak percaya awalnya kalau taman batu ini disusun oleh seorang diri saja, karena terlihat rapi dan terawat. Serta tertata secara artistik, meskipun gak aneh juga karena mang Damsi lulusan ISI. Hmmm taman ini dibuka untuk umum? Ada retribusi masuknya atau nggak ko?
Memang aku sendiri juga agak susah buat tafsir apa yang dilakukan sama Mang Damsi ini, mas Bart. Obrolannya tidak jauh dari nasehat dan petuah yang kadang kita tanya apa dijawab dengan nasehat.
Selama disana aku gak menemukan alat berat, hanya kayak cangkul dan kayu saja. Selain itu memang tidak ada retribusi, bebas masuk asal melepaskan alas kaki dan sopan. Ini milik Mang Damsi pribadi lho.
Semoga meskipun gratis, perawatannya tetap terjaga yaa. Untungnya agak jauh dari kota, coba kalau dekat, bisa beda cerita 😀
Betul.. bakal tertulis aksi vandalisme di batu dan sampah wkwkwk
aku belom pernah ke sana koh, noted banget nih buat jadi tujuan nantinya 😀 seru banget ya koh, kalo solo travel apakah akan seru juga :v
Kalau ke sini harus sama orang yang tahu jalan ke sana dan menggunakan kendaraan mbak Annif.
Kalau melihat jalannya yang becek untuk menuju sana, kayaknya gak nyangka bakal ada tempat semenarik itu. Bagus tempatnya, ya
Betul, kita semua juga gak mengira kalau setelah melalui jalanan becek bakal menemukan pemandangan yang asri dan rapi.
Makasih ya mbak kunjungannya ke blogku 🙂
Ah kalau Om Deddy ngebahas Kota Lahat pasti gak ada habisnya deh Om. Berarti Lahat bukan terkenal dengan Gn.Dempo dan Hamparan Kebun Teh y Om..
Lahat kan masih ada daerah-daerah ke dalemnya lagi Om Fajrin. Nah itu tuh yang masih banyak objek wisata bagusnya. Mirip Lampung kali ya yang masih banyak tempat wisata kece.