Diskusi kecil saya hari ini dengan Bp. Alfian, dosen Manajemen Operasional. Beliau buka topik tentang pentingnya belajar MO, karena agar para manajer (terlebih saya, calon manajer.. heuhueheuh) salah satunya agar dapat memutuskan mana produksi yang harus dipilih.
Kenapa nelpon interlokal dari Indonesia ke Australia jauh lebih mahal, ketimbang dari Australia ke Indonesia. Lima menit anda telepon dari I-A bisa Rp 15.000,- tapi kalau dari A-I bisa setengahnya, kira-kira Rp 6.000. Lalu, kenapa motor yang kalau di daerah aslinya paling sekitar 3,5 juta, tapi ketika bawa ke Indonesia bisa capai 10-14 juta? Dan, harga obat di Indonesia lebih mahal dan orang lebih suka berobat ke Singapura daripada di Indonesia?
Ya, saya hanya berpikir jawaban semuanya itu tidak jauh dari birokrasi yang panjang dan sulit. Misalnya saja, motor yang di daerah aslinya bisa lebih murah tapi begitu sudah lewatin birokrasi Indonesia, bakalan tambah lebih parah. Alasannya, tentu saja kalau bukan ulah-ulah oknum yang lihai. Dan, bicara tentang kenapa orang lebih suka berobat di Singapura daripada Indonesia, tidak jauh dari hal malpraktik. Jelas bukan?
Sewaktu saya outbound kemarin di Hutan Wisata Punti Kayu, Palembang. Saya sempat bincang-bincang dengan seorang kepala bagian VCT (Voluntery Counseling Test), khusus buat orang ODHA. Dia cerita kalau birokrasi orang Indonesia itu sulitnya minta ampun. Dimulai dari bantuan orang luar negeri kirimin obat-obatan melalui kapal, eh ternyata mereka diminta jasa angkut seharga 2jt. Wew… sampai orang bule sana bicara: “Orang Indonesia itu bodoh-bodoh!”
Lalu, saya acungkan jari.
Saya: Pak, dari tadi saya amati (cie…) kenapa kita lebih suka ke pertanyaan Kenapa, Kenapa, dan Kenapa? Bagaimana dari Kenapa itu kita ganti jadi Bagaimana? Bagaimana cara kita mengatasinnya?
Watak. Ya… mudah lakuin apa saja demi uang.
Untuk bahan renungan sih, saya merasa sulit sekali bangsa ini memutuskan rantai setan seperti korupsi, birokrasi yang panjang, dll. Dari kita untuk kita.
Ada yang ingin coba berontak?