Kita hidup seperti menunggu di halte bus. Saat bus tujuan kita, maka kita akan naik. Tapi kalau bus itu belum datang ya kita harus belajar bersabar untuk menunggu. Take or Leave?
Siang tadi saya berencana untuk beli makan siang di samping Bimbel Matriks, biasanya saya beli di warung Tambi (pemiliknya keturunan Arab). Ternyata dari dalam warung itu Mbak Sophie sudah senyum sama saya. Akhirnya saya putuskan untuk makan bareng Mbak Sophie.
Ceritapun dimulai, Mbak Sophie tanya apa bisa ambil cuti 3 bulan? Saya bilang harusnya bisa dan surat cutinya harus dimasukin ke HRD. Saya tidak bertanya alasan dia cuti, mungkin, beberapa hari yang lalu dia bercerita ingin punya anak.
Ya beginilah kalau sudah masuk dunia kerja, biaya buat sosialisasi itu mahal. Apalagi profesi kita sebagai tenaga pengajar dan punya jadwal yang padat dari hari ke hari. Semoga tidak terlintas di pikiran Anda kalau fee yang kita terima itu gede. Huah… dun judge book by its cover 🙂 Kemudian Mbak Sophie bilang bahwa apa kamu merasa “aneh” di sini (kantor)? Saya balik tanya yang lebih spesifik, maksudnya apa karena lingkungannya? kurang kekeluargaan?
Ya.
Saya tarik nafas sejenak dan mulai menyusun kata-kata. Saya mengatakan bahwa ini hanya fase, fase di mana ada saat kita berkumpul dan fase saat kita harus bertugas. Kalau saya pribadi, waktu saya yang kosong dan saya bisa luangkan sama para pengajar lain ya setelah saya selesai mengajar jam 5 sore. Terkadang waktu jam 5 sore saja mereka punya jadwal yang lain, pernah hanya saya sendirian di ruangan instruktur.
Apa hikmah di balik ini? Saya tetap belajar bersyukur. Atas apa? pertama, bisa ngobrol bareng sama Mbak Sophie karena kita jarang ketemu. Kedua, saya belajar mencintai profesi saya.
Gambar boleh diunduh dari google.
[…] habis kita keluar dari kantor, nanti mau kerja di mana? Namun, seperti postingan saya mengenai take or leave?, pasti sulit untuk melupakan kenangan sewaktu masih […]