12.15 am WIT. Udara malam dekat laut makin terasa dingin. Beberapa kali saya menepuk lengan dari nyamuk di Raja Ampat, sepertinya belum mengenal orang datangan. Obrolan panjang dengan Bang Icad tentang Papua, akhirnya harus diselesaikan dan saya pun segera ke dalam kamar homestay yang terletak paling ujung. Bukanlah homestay yang mewah tapi cukuplah untuk menampung kami. Malam ini saya larut dalam dalam kesunyian di tengah pulau. Hanya ada bunyi kipas angin, genset dan hempasan air laut, sesekali sautan binatang malam. Saya melirik ke samping, om Nana sudah tertidur dengan pulas. Lalu saya?
Membayangkan petualangan baru apa yang akan dilakukan subuh nanti. Ya.. pukul 5 pagi kita sudah harus bergegas diri, begitu pesan dari Kapten Noak, bapak tua yang memegang sekoci kemudi kapal. Bukan hanya menjadi kapten, ternyata Kapten Noak juga memegang lisensi dive master. Dan sekarang, sekarang pun melirik ke jam di ponsel… “01.00 am” mau apa kamu jam segini belum tidur, tanya batinku. Apa kalian pernah merasakan rasa sulit terlelap di tempat baru, bercampur rasa senang dengan hal menyenangkan yang akan dilakukan besok. Sampai tidak sadar angin malam mulai menusuk kulitmu sampai ke tulang.
Terasa baru sejenak memejamkan mata, saya meraih ponsel yang berada di samping kasur. “04.30 am”. Cuma punya dua pilihan, melanjutkan tidur atau terjaga tidur daripada ditinggal pergi rombongan? Gerutuku dalam hati, kenapa musti pergi subuh sih? Memang kita mau kemana sih?
Simpan dulu pertanyaan tadi, saatnya untuk bersiap diri ke Wayag!
Persiapan Empat Jam Berada di Tengah Laut
Hari kedua di Raja Ampat
Jika kamu datang ke Raja Ampat dengan membawa ekspektasi tinggi sepertinya harus ditahan. Sebaiknya nikmati saja tiap hal-hal baru yang akan kalian temukan. Seperti menikmati lembayung biru keunguan di pagi hari dari pinggir pantai. Tidak banyak yang ingin saya gambarkan. Hanya satu kata: damai.
Sekilas saya melihat dari teras homestay, ada Bang Icad dan teman-temannya sedang memeriksa kondisi perahu sebelum rombongan kita siap. Saya yang sedari tadi sudah bersiap diri menuju ke ruang makan untuk sarapan pagi yang sudah disiapkan oleh Usi. “Wah ada pisang goreng,” tentunya porsi makanan sangat banyak. Cukuplah bagi rombongan kita untuk mengisi perut sebelum perjalanan jauh dimulai.
“Berapa lama ke Wayag, bang?” tanyaku ke Bang Icad yang sabar menunggu teman-teman lainnya. Sepertinya dia tampak agak gelisah, sesekali dia bertanya ke teman lainnya apa semuanya sudah lengkap.
“4 jam lebih bang, belum baliknya. Kalau tadi jalan jam 5 subuh kita bisa sampai sekitar jam 9 an. Kalau sekarang mungkin lebih siangan lagi.”
“Jauh banget, bang Icad.” ucapku sambil naik ke atas perahu dibantu oleh Bang Icad.
Sinyal ponsel masih agak susah di Raja Ampat. Kawasan ini didominasi oleh provider warna merah, selain warna itu lupakan sejenak sebab banyak sekali blank spot. Hal ini disebabkan perusahaan provider warna merah memang menguasai sebagian tanah Papua karena sinyal yang kencang. Sempat terjadi aksi demo menolak kedatangan provider warna lain, begitu yang saya tanyakan dengan bu Uce. Namun, syukurlah dengan tidak adanya sinyal ponsel tentunya liburan akan terasa liburan yang berarti.
Di antara semua pulau di Raja Ampat yang paling terkenal dan menjadi ikon di Raja Ampat adalah Kepulauan Wayag. Gugusan kars pulau ini berada di tengah laut dan oleh karena keindahanannya, Wayag menjadi destinasi yang perlu dikunjungi kalau ke Raja Ampat. Apakah pulau terjauh di Raja Ampat ini memang wajib dikunjungi?
Saya menangkap jawaban dari kegelisahan bang Icad kenapa dia berpesan untuk kita bersiap-siap lebih pagi. Kalau bisa pukul 5 subuh kita sudah jalan dari Pulau Mansuar. Bayangkan diperlukan empat jam perjalaan dengan speedboat untuk sampai ke gugusan pulau Wayag dan kembali balik ke Pulau Mansuar. Berapa liter bensin yang dihabiskan untuk perjalanan selama itu dengan harga satu liter bensin di Papua adalah sekitar Rp 13.000?
“Sekitar 500 liter, bang.” Jawab kapten Noak sewaktu kami menanyakan jarak tempuh menuju Wayag. Jika dihitung kasar sekitar Rp 6.500.000 hanya untuk biaya bahan bakar menuju Wayag. Akhirnya saya membuktikan sendiri bahwa apa yang dikatakan tentang perjalanan mewah di Raja Ampat memang begitulah yang terjadi. Solusinya, berpergian bersama rombongan kalian sewaktu ke Raja Ampat. Pasti sharing cost akan terasa lebih terjangkau.
Berkunjung ke Desa Selpele Meminta Izin Menuju Wayag
Ufuk mulai menunjukkan sinarnya dari arah belakang Pulau Mansuar. Sunset pertama yang kami lihat tampak berkilau dan menghangatkan kulit. Bentuk homestay kami pun makin mengecil lalu perlahan menghilang dari arah jauh mengikuti arus perahu. Beruntungnya sebelum berangkat, saya masih bisa melihat bentuk jelas homestay beserta jernihnya air laut. Biota laut juga mulai berenang seolah mengucapkan selamat menikmati Raja Ampat hari ini, teman.
Tidak banyak aktifitas bisa kita lakukan sewaktu berada di tengah laut luas, kecuali mengakrabkan diri dengan teman baru. No signal, just you and your new friends. Let’s chill out! Momen seperti ini memang lebih banyak dihabiskan untuk tidur. Lalu nanti terbangun dengan harapan sudah sampai atau terbangun karena tanpa sadar kepalamu sudah menyandar ke pundak teman. Pemandangan sepanjang perjalanan hanya ada gradasi warna biru serta sesekali pulau-pulau kecil.
Sekitar dua jam berlalu dari Pulau Mansuar, perahu merapatkan diri di bibir dermaga dari sebuah desa dengan anak-anak kecil yang seperti menyambut kami. Namanya Desa Selpele. Sejenak membuat saya takjub dengan pemandangan batu-batu besar tepat di depan desa ini. Kami hanya menunggu di dermaga sambil meregangkan pinggang.
“Bang mau ngapain disini?” tanyaku sewaktu melihat Bang Icad masuk ke dalam desa.
“Bayar uang masuk ke Wayag, bang” balasnya singkat.
Pariwisata Kabupaten Raja Ampat menjadikan kawasan pariwisatanya sebagai tulang punggung perekonomian daerah ini, termasuk Desa Selpele. Barangkali luas desa ini hanya dihuni oleh beberapa kepala keluarga. Dari tampak depan pintu masuk desa, kita sudah bisa melihat langsung sebuah gereja tua yang berdiri tepat di depan gapura masuk. Tepat di sampingnya ada sebuah pohon cemara tinggi. Saya langsung membayangkan suasana natal di desa tersebut. Mayoritas penduduk Papua, khususnya Raja Ampat memang memeluk kepercayaan Nasrani. Tiap pulau yang kami lewati, terdapat bangunan gereja-gereja dengan berbagai macam bentuk.
Kenapa harus mampir ke Desa Selpele? Tiap rombongan yang akan menuju ke Wayag, pasti akan menepikan perahunya di Desa Selpele. Informasi yang saya dapatkan, di desa ini memiliki ketua adat yang dihormati dan harus melewati desa ini untuk meminta ijin pergi kemudian membayar “upeti” sebesar satu juta rupiah sebagai tanda masuk ke wilayah Wayag.
Uang yang disetorkan nantinya akan menjadi retribusi yang dikelola untuk kemajuan Wayag. Setidaknya ada sekitar 10 kepala keluarga yang mengelola Wayag. Begitu penjelasan dari Bang Icad yang saya dapatkan. Tidak lama kemudian, kita menunggu teman lainnya yang sedang menumpang ke toilet di rumah penduduk paling depan kanan. Kepada mereka dikenakan biaya toilet sebesar sepuluh ribu rupiah.
Matahari kian meninggi, udara cukup panas. Saya melirik jam dipergelangan tangan sudah menunjukkan pukul 10 pagi. Kira-kira masih berapa kilometer lagi untuk sampai ke Wayag? Perahu dinyalakan kapten untuk melanjutkan perjalanan, kami tidak bisa berlama-lama bermain dengan anak-anak Desa Selpele.
“Ayo buruan, nanti sampai Wayag bisa tambah siang.”
Kami pun melanjutkan perjalanan. Saya lebih memilih kembali tidur sepanjang perjalanan untuk mengumpulkan tenaga. Posisi duduk saya sudah mulai agak dimajukan karena berhadapan langsung punggung dan leher saya terkena sinar matahari. Temmy tampaknya mempersiapkan diri dengan menggunakan sun block. Bahkan, saya kaget dengan persiapan anak tante Fitri yang mempersiapkan sun block mulai dari SPF 30 sampai SPF 150 ditambah lagi lotion untuk membuat kulit jadi tanning dan after burn. Saya sampai terpana melihat mereka. Lalu saya yang datang ke Raja Ampat tidak membawa persiapan seperti mereka, terpikirkan pun tidak.
Perahu mulai menepikan dipinggir dermaga kembali setelah sekitar 1 jam perjalanan. Hati kami lebih sepakat untuk snorkeling begitu sampai di tempat yang belum kami ketahui tersebut.
“Wih… snorkeling disini kita yaa…”
“Eh ada ikan hiu..”
“Bening banget airnya..”
Lalu, “Bang ini Wayag?”
“Bukan ini pos Wayag, ayo semua keluarkan pin kalian buat tanda masuk ke Wayag.” Pin yang dimaksud adalah kartu yang sudah dilubangin sewaktu kita baru sampai di Pelabuhan Waisai. Kalau kalian lupa mengenai pin Raja Ampat, boleh baca cerita sebelumnya Jelajah Raja Ampat Bagian 1. Tempat yang tidak saya ketahui ini sepintas memang memiliki pemandangan yang bagus. Ada banyak ikan hiu black tip yang asik berenang bersama ikan-ikan kecil lainnya. Serius kita tidak snorkeling di sini bang? Tanya kami sekali lagi. Dia pun menggeleng berlalu meninggalkan kami menuju ke perahu.
Wayag Rock Climbing!
Wayag.. wayag… seru saya dalam hati. Entah bagaimana rupa Wayag. Kami pun mulai mengakrabkan diri dengan bercerita satu sama lain. Tertawa pun pecah seketika. Sampai kami pun menyadari perahu menyusuri jalur bukit-bukit gundukan. Ini kita sedang dimana?
“Ayo kita sudah sampai!” seru bang Icad yang mengenakan kaos berwarna kuning. Kacamata hitam selalu dia pakai untuk menutupi silau matahari. Kami pun membicarakan kak Icad tentang dia bisa tetap stabil berdiri di depan kapal untuk memberi tanda ke kapten apabila di depan ada hambatan.
Saat itu juga kami semua jadi terdiam melihat batu karang besar di depan kami. Melongo melihat satu sama lain.
“Mbak Levina ini seriusan kita disuruh naik ke atas?” mataku seperti sedang mengkalkulasi peluang bisa sampai naik ke atas. Lalu menghitung tingkat kesulitan sampai resiko apabila kita gagal naik ke puncak. Sayang sekali kalau sudah sampai di Wayag kalau tidak mendaki batu karang untuk melihat panorama Raja Ampat.
Saya pun memutuskan untuk mengambil giliran pertama mendaki batu karang. Seperti menaklukan rasa takut, meminta bantuan agar kaki dan tangan saya kuat untuk meraih batu-batu sampai ke atas. Sesekali saya melihat ke arah bawah, semoga saja orang-orang yang akan mendaki puncak Wayag tidak mengalami cidera. Sebab kaki kita bertumpu pada batu-batu karang yang tajam, semakin ke atas tingkat kesulitan makin bertambah. Sudut naik seolah bergeser lurus membuat energi makin terkuras.
Ayo Huang kamu bisa, begitulah ucapku dalam hati.
Leher saya mulai terasa perih, sebab pakaian yang saya gunakan hanya kaos dan celana pendek. Saya jadi tahu jawaban kegelisahan bang Icad sebelum berangkat kenapa menginginkan kita untuk berangkat lebih cepat. Tengah siang hari cuaca panas saat matahari tepat di atas kita rasanya seperti sapaan, kamu berani menantang saya? Dibutuhkan waktu sekitar 30 – 45 menit untuk mendaki ke atas. Tepat pukul 12 siang saya orang pertama yang sudah sampai di atas puncak Wayag disusul oleh mbak Levina.
“Yeaaahh I did it!”
“Puncak Wayag ada dua, puncak pertama trek-nya lebih mudah, puncak kedua trek-nya lebih sulit tapi lebih bagus,” kata bang Icad.
Lalu kalau sudah naik ke atas Wayag mau ngapain? Tidak ada. Cukup kalian diam, lalu merekam visualisasi indahnya gugusan-gugusan batu yang ada di depan mata kalian. Bayangkan rasa bangga dan puasnya sewaktu kita berhasil menuju puncak tertinggi harus mengalahkan puncak-puncak lainnya untuk bisa berdiri melihat ke bawah. Permainan gradasi air berubah menjadi kebiruan oleh terkena sinar matahari. Sesekali saya mendengar kicauan burung yang nyaring. From this moment, i learn something that become my quote of life: “To be the very best, you should beat the best.” Ternyata puncak yang kami daki ini adalah puncak yang memiliki view menyeluruh untuk melihat gugusan-gugusan batu di Wayag.
Beruntung sekali saya bisa sampai di puncak ini. Di saat orang-orang sedang mengumpulkan koin agar bisa mendaki Puncak Wayag, sebaliknya saya dikasih cuma-cuma. Semoga saja keberuntungan tersebut tetap mengalir. Aamiin.
“Bang Icad dari sini boleh buat berenang?” tanyaku melihat potensi Wayag yang indah dan sepertinya Wayag tempat wisata yang jarang dikunjungi mungkin oleh sebab kita harus mendaki batu yang terjal dan beresiko.
“Boleh saja, tapi bukan dari tempat sini kalau mau berenang. Bule-bule senang berenang di sini sebab airnya bersih.” Mulai terasa perih di leher dan sekujur tangan saya, tapi tetap bertahan demi menikmati indahnya Raja Ampat. Sedangkan teman-teman lainnya sedang asik sendiri dengan mengabadikan gambar masing-masing. Hanya sekitar 30 menit berada di Puncak Wayag. Seharusnya masih bisa lebih lama lagi untuk menikmati Wayag. Menurut Bang Icad, ada turis yang bermalam dulu di sekitar Wayag untuk mendapatkan momen matahari terbit.
Sayang sekali karena terik matahari makin menyengat, kami pun mencukupkan waktu untuk mengabadikan momen dan gambar di atas Puncak Wayag. Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul satu siang. Saat cuaca panas menyengat, air putih atau es teh terasa sangat berharga. Sayangnya kami pun kehabisan air minum.
“Tapi enak juga kalau makan nasi padang di Puncak Wayag ya!” celetuk Adis. Tawa kami pun terasa hangat begitu mendengar celetukan Adis. Rasa lapar sepertinya masih bisa ditahan sebelum kami berjuang kembali untuk menuruni batu karang ini. Bisa? Entahlah, ada yang bilang naik lebih gampang daripada pas turun. Soalnya kalau turun kita harus sangat hati-hati, apalagi kalau ada jarak antar batu yang saling berjauhan. Satu per satu rombongan kami mulai menapakin turun ke bawah. Hanya tinggal saya dan Bang Icad yang berada paling belakang menunggu Lingga yang tampaknya mulai kelelahan setelah terjatuh karena tergelincir. Beruntung dia tidak terluka.
Duduk dalam perahu, saya tersenyum sendiri mengingat apa yang telah dilakukan. Gila. Ini mungkin akan terjadi sekali seumur hidup saya, kecuali kalau ada ajakan kembali ke Raja Ampat. Saya baru saja melakukan hal ekstrim yaitu mendaki puncak Wayag tanpa bantuan seperti tali atau sling. Lelah selama mendaki seolah terbayar lunas setelah melihat dengan sendirinya gugusan Wayag seperti yang pernah saya lihat dalam kalender dinding. Ini bukan mimpi kan?
Suara ngos-ngosan, keringat, wajah yang memerah, bahkan aroma matahari bercampur satu dalam perahu kami. Namun, di antara 12 orang lainnya ternyata hanya saya sendiri yang mengalami kulit gosong terutama di leher dan tangan. Asem… ini akibat tidak pakai sunblock.
Pulau Wayag, Seperti Pulau Tak Berpenghuni Dengan Pasir Putih dan Air Jernih
“Lho kita gak makan siang dulu di sini?”
“Kayaknya di tempat lain…”
“Oooo…
Truly I am so curious and cross finger about this trip. Shall we get another surprise?
Perahu bermuatan kami beserta empat orang dari tur lokal ini mulai bertolak arah menuju ke tempat baru yang tidak kami ketahui. Untungnya lokasinya tidak begitu jauh dari puncak Wayag, sekitar 15 menit sudah sampai ke sebuah pantai berpasir putih dan air yang jernih. Sekilas seperti pantai yang tidak berpenghuni. Sejauh mata memandang hanya ada air jernih dengan pasir putih. Kemudian batu-batu lengkung. Saya terbayang seperti Phi Phi Island atau James Bond Island di Thailand. Dari teman-teman rombongan yang sudah pernah ke Thailand, mereka sepakat kalau pantai ini pemandangannya memang cantik.
Hal yang saya suka dari tur lokal ini adalah menyediakan menu makanan rumahan. Sederhana tapi nikmat. Beruntung di antara kita tidak ada yang rewel dalam hal makanan ataupun ada yang alergi dengan ikan. Sulit diungkapkan nikmatnya masakan terong balado, sayur labuh, dan ikan balado yang membuat kami melahap makanan masing-masing. Seusai makan, beberapa teman lainnya akhirnya menceburkan diri di depan pantai sampai kapten pun memanggil kami untuk kembali ke kapal karena langit sudah mulai gelap.
Kapten Noak beberapa kali menaikkan kecepatan perahu menuju arah pulang ke homestay. Benar, tidak berapa lama dari perjalanan kami pulang kehujanan di tengah laut. Keindahan alam Wayag yang baru kami lihat barangkali baru sepersekian saja yang tersembunyi. Saya pernah mendengar anekdot: “Tuhan menciptakan Raja Ampat sembari tersenyum”. Bagaimana kita tidak dibuat langsung jatuh cinta dengan negeri yang penuh pesona dan ragam budaya ini? Barangkali beginilah sudut pandang saya sebagai orang yang pertama kali menginjakkan kaki ke tanah perairan Raja Ampat. Saya masih penasaran untuk bisa berkeliling lebih dari yang ada sekarang jika memungkinkan untuk menuliskan indahnya Indonesia.
Tips Naik ke Puncak Wayag
Sebelum traveling memang sebaiknya kita mengetahui situasi objek wisata. Tujannya agar perjalanan kita jadi lebih tenang, aman dan nyaman. Mendaki ke gugusan kars Wayag tanpa persiapan? Ada baiknya kalian mempersiapkan hal-hal kecil seperti berikut ini:
1. Pakaian nyaman dan santai
Kalian yang senang OOTD, tentu perlu mencari outfit yang cocok. Tips tidak perlu menggunakan pakaian yang berat atau menyusahkan kalian sewaktu mendaki batu. Celana panjang atau celana pendek masih tetap oke, selain itu jaket untuk melindungi kalian dari sengatan matahari. Tapi kalau mau santai boleh hanya kaos oblong dan celana pendek sudah cukup.
2. Gunakan topi
Topi selain menunjang foto keren kalian, juga bisa menutupin wajah kalian dari tembakan sinar matahari langsung kena ke wajah.
3. Gunakan tabir surya dengan SPF tinggi
Bagi saya, kulit hitam sepertinya sudah jadi biasa. Tapi kalau bagi kalian yang tidak ingin kulit menjadi gosong ada baiknya persiapkan sunblock untuk melindungi dari radiasi matahari. Sebenarnya yang ditakutkan adalah radiasi matahari yang membuat kulit jadi bercak hitam. Maka, tidak ada salahnya membawa sunblock.
4. Bawa air minum
Dilihat dari jalur naik ke atas yang membutuhkan energi, tentunya kalian perlu membawa air minum yang cukup. Apalagi setelah berhasil naik sampai ke puncak. Rasa haus akan bertambah karena di saat istirahat maka tubuh memerlukan asupan air yang banyak. Selain itu, jika kalian membawa makanan dan makan saat di Puncak Wayag, tolong bekas sampah jangan dibuang di atas. Bawa pulang kembali!
5. Alas kaki yang nyaman
Kalian tidak mau kaki lecet karena menginjak pecahan batu-batu yang tajam, bukan? Maka gunakan alas kaki yang nyaman seperti sepatu kets atau sandal gunung juga boleh. Intinya untuk melindungi kalian sewaktu kaki menjadi beban tubuh kita.
Semoga tips sederhana ini membantu kalian untuk mendaki puncak Wayag. Ayo kita kumpulkan koin buat biaya ke Raja Ampat! Kapal untuk kesini mahal, perjalanan pun lama. Ditambah, kita harus mendaki gunung batu ke puncaknya, dengan kemiringan nyaris vertikal! Tapi kalian tidak akan menyesal jika sudah sampai ke Puncak Wayag, Ikon Raja Ampat!
***
Jika kamu ketinggalan membaca tulisan Jelajah Raja Ampat bagian pertama, boleh dibaca kembali. Perjalanan ini merupakan rangkaian dari Apa Kata Orang Kalau Aku Terbang Ke Raja Ampat Gratis! Untungnya trip sponsor ini saya dapatkan dari Cheria Tour Wisata Halal. Yeay!
[…] Cukup menceburkan diri dari dermaga, kalian sudah bisa melihat kepingan indah bawah laut Raja Ampat. Gerombolan ikan yang bergerak mendekati kita. Arborek memang mengandung magnet kuat bagi pencinta […]
uhhh koh dedi. seruuu. aku mupeng pengen kemari Itu kan berati Koh dedi dari Pulau Mansuar ya perjalanan ke Wayagnya? Kalau dari Waisai sendiri buat ke Wayag berapa jam ya Koh?
[…] ke Raja Ampat membutuhkan biaya lebih adalah transportasi menuju tempat-tempat yang eksotis seperti Wayag. Total perjalanan menggunakan kapal cepat sekitar 8 jam perjalanan. Waktu itu saya sempat bertanya […]
[…] pelan agar bisa menikmati keindahan pulau di Timur Indonesia. Malam harinya setelah kami naik ke Puncak Wayag kami berkumpul di ruangan makan untuk saling bercerita keseruan yang telah kami lalui bersama. Naik […]
Haaaaa, Wayaaaag! :'( :'(
*lalulihattabungan 🙁
Semoga bisa balik ke Raja Ampat lagi 😀
Deddyyyyyy.. Asli aku mupeng bangeeeeet! Duh kapan ya bisa kesampaian kesini…
Kumpulin dolar mbak hehe.. Aku juga pengen balik lagi
Keren, Koh! Kalo aku udah pasti bakal berkeringat habis tuh disuruh manjat bukit siang bolong begitu. Tapi worth it kayanya ya kalo bayangin pemandangan setelah naik ke puncak. Selama ini cuma bisa lihat foto-fotonya aja sudah takjub banget.
Betul, rasa capeknya kalau gak tahan soalnya harus mendaki secara vertikal. Bisa capek pool mas Eko. Semoga saja bisa ke destinasi lainnya ya.
Eh aku baru tahu kalau naik ke Wayag itu harus climbing. Climbing-nya vertikal banget, bang? Apakah banyak bebatuan sebagai pegangan dan pijakan? Tahu fakta ini bikin makin males ke Raja Ampat, hahaha. Takut ketinggian dan nggak bisa berenang, sounds a terrible idea to climb Puncak Wayag!
Iya gak ada cara lain kalau mau ke Puncak Wayag ya harus climbing. Kalau tidak nikmati view dari bawah sambil berenang juga asik.
Kalau pegangan dan pijakan ada, dari batu-batu yang bisa kita jangkau saja. Kamu aja shock apalagi aku yang kemaren lupa cari tahu tentang Wayag ?
[…] mungkin tidak ada yang mengira kalau Puncak Wayag memang nomor wahid pemandangannya. Apa hanya Wayag saja yang ditawarkan oleh Raja […]
Kereeen nian Koh wayag ini, kau begitu beruntung bisa ke Raja Ampat cuma-cuma. eh tapi ga cuma-cuma ini mah, kan menang lomba dan itu butuh effort juga.
Hehehe ya ada effort yang mungkin orang gak tahu kan. Tahunya pas menang… doain ya semoga aku bisa menang di hadiah lainnya.
Bener deh koh, naiknya biasanya gampang, turunnya kadang yang gmn gitu haha.
Tapi Wayag is truly beautiful! <3 <3 <3
Iya turunnya kayak lebih ekstrim ya… Kamu kapan waktu ke sana kak Timo
Raja Ampat is amazing, suatu saat saya harus ke sana nih. Minta aminnya ya Koh 🙂
Aamiin. Semoga ya mbak Prima dapat rejeki lebih bisa ke Raja Ampat.
ke toilet bayarnya 10rb kak ? ???
ini sih destinasi impian banyak orang. kamu dapet gratis kesana ?
Iya ke toilet segitu..
Alhamdulillah dikasih rejeki bisa ke sana gratis ada travel yang sponsorin 😀
Duh om deddy mupeng aku lihat nya.. ?? *Caru tante” emesh duluk lah klo gitu klo mau ke raja ampat
Lap encesnya kak fajrin…
Ketengan aja ke sana kayak pas ke madura :p
Dah aku elap kok om ences nya. Mau nya sih om, tapi berhari” 🙁
Iya sih naik kapal gitu. Pengalaman baru.
Mahal juga ya trip ke raja ampat… Mantep banget tuh pas mau ke puncak wayag… Sampai atas pasti ngos2an 😀
Makanya solusinya datang rame-rame biar bisa sharing.
Kamu kalo ke sana pasti juga ngos2 an kok :p
OMG! Homestay Wonbom Swandiwe, airnya kelihatanny seger banget. Langsung nyeburrrr koh.
Nyebur ala ala baywatch gitu ya
Hahah… tau aja…
Naik perahu 4 jam, wow, udah kayak mau ke Gunung Anak Krakatau muahaha *lalu langsung inget perjalanan nano-nano itu.
Ngeliat anak-anak kruwil dengan rambut pirang, kesan anak Papuanya nampak kali. Trus pas naik ke puncak Wayag, ngeliat medannya begitu aku sih gak khawatir pas naik, tapi pas turunnya itu. Ckckckck
Nah.. Itulah.. Naik mungkin gampang.. Pas turun.. Apalagi dengan bobot berat badan *ehhh
duh om ded memang hits klo soal beginian…mantep
Hits apa sih kak.. Hehehe.. Aku pengen liburan lagi..
pengen ning raja ampat aku hahaha
Sama aku juga masih pengen haha
ojo pengenan tho koh hahaha
Duuuh, beneran ya Raja Ampat itu surga dunia. Indaaaah banget. Semoga berkesempatan mampir ke sana kayak Koh Deddy 🙂
Aku sih belum pernah lihat surga secara langsung mbak Nia :p
Semoga ya dirimu juga bisa kesampaian ke Raja Ampat.
Cakeeeep….!! Well said.
Btw, fotonya edit pakai apa? Aku kelihatan kurus banget..xixixi.
Seru yak petualangannya. Duh, aku harus ngejar ketinggalan nulis nih. Hiks.
Aku edit pake Photoshop aja ini mbak. Ayo nulislah.. ini masih banyak cerita belum kutulis tentang Raja Ampat.