Saat pertama kali menulis tentang Visit Tidore Island, Merekam Jejak Wisata Pulau Rempah beberapa waktu lalu. Ada satu tempat di Tidore yang membuat saya ingin berkunjung ke sana. Gurabunga namanya, sebuah kelurahan di kaki Kie Matubu. Arti kata Kie adalah gunung. Matubu merupakan puncak gunungnya. Nama asli gunung itu sendiri adalah Gunung Marijang tapi orang-orang lebih familiar menyebutnya Kie Matubu.
Gurabunga dalam wilayah administratif masuk dalam wilayah kelurahan. Walaupun begitu saya lebih suka menyebutnya sebagai kampung tempat bermukimnya orang-orang lokal setempat. Menggambarkan Gurabunga itu seperti kamu berada di suatu tempat dataran tinggi nan sejuk. Oh ya, satu lagi tenang. Gurabunga juga dikenal sebagai “Negeri di Atas Awan” oleh karena wilayahnya berada di dataran tinggi. Kita bisa melihat awan seolah dekat jaraknya.
Selamat datang di Gurabunga…
Hari pertama tiba di Tidore, sorenya kami diajak untuk ramah tamah di Gurabunga. Kebetulan Gurabunga menjadi tempat dimulainya rangkaian Hari Jadi Tidore ke-909. Sepanjang jalan dari dalam mobil, jalanan di Tidore masih sangat luas dan bebas hambatan. Sejauh penglihatan saya tidak ada lampu merah bahkan tukang parkir yang tiba-tiba nonggol sendiri sewaktu kita mau keluar. Betul-betul kota yang sangat layak untuk dihuni.
Medan jalan menuju Gurabunga lumayan ekstrim, beberapa kali kami melewati tikungan tajam. Kanan kiri melewati hutan dan jurang. Apalagi saat naik tanjakkan tinggi, mobil kami sempat berhenti sejenak dan mulai tercium aroma ban yang saling bergesekkan dengan aspal. Dalam situasi seperti itu saya cuma bisa berdoa saja dari bangku belakang penumpang 😆
Kie Matubu tampak dekat sekali dari tempat saya berdiri. Awan tipis bergerak di atas rumah warga menambah kekagumanku terhadap Gurabunga. Para orang dewasa sibuk memasang terpal dan tenda untuk acara Ake Dango dalam rangkaian Hari Jadi Tidore ke-909. Anak-anak kecil riang gembira bermain sepak bola di tengah lapangan hijau nan luas.
Saya melirik ke teman-teman lainnya, mereka sedang asyik sendiri, kecuali mas Eko yang saya lihat dia sibuk berbicara sendiri di depan kameranya.
Berkunjung ke Gurabunga, selain kita bisa menikmati ketenangan desa yang ditawarkan. Ada yang ingin saya jumpai yaitu orang-orang Gurabunga sendiri seperti Gogo, Eross, Aka dan Bams. Kenapa saya bisa tahu mereka? Sebelum berkunjung, teman-teman Ngofa Tidore seperti Ci Ita sudah mengenalkan empat orang tersebut. Mereka memiliki keunikkan sebagai pria Tidore. Serius tapi lucu, apalagi Bams. Inilah alasan saya kenapa tidak sabar saat akan berangkat ke Tidore. Saya jamin kalian akan jatuh hati kalau mereka sudah ngebanyol. Banyolan-banyolan mereka seperti penghibur lara di saat hati kita sedang gundah.
Sowohi Dalam Pemerintahan Gelap
Bams dan Gogo mengajak rombongan kami untuk mengunjungi rumah Sowohi. Di Tidore ada rumah tradisional yang ditempati oleh Sowohi. Uniknya rumah tradisional tersebut sudah berumur ratusan tahun dan semuanya serba menggunakan bambu. Lantai rumah di dalamnya hanya beralaskan tanah empuk. Masyarakat Tidore sangat menghormati Sowohi sebagai ahli kebatinan. Sowohi ini diyakini sebagai mediator antara roh nenek moyang yang dapat memberitahu tentang akan dan sedang terjadi.
Petang yang indah, halaman perkarangan rumah yang luas dengan dominan berwarna putih. Dari luar perkarangan rumahnya sudah penuh dengan tanaman-tanaman. Saya lebih memilih untuk memotret halaman luar terlebih dulu sebab cuaca sedang baik. Setelah dirasa cukup, barulah saya masuk ke dalam. Ternyata telah terjadi diskusi panjang yang lumayan menarik dari Bu Woro, Rifky, Mas Dwi dan Mas Eko.
Di tengah obrolan, barulah saya tahu kalau orang yang sedang menjelaskan peran Sowohi ini adalah Ko Yunus. Sebutan “ko” merupakan panggilan bagi pria dewasa mirip seperti kita memanggil kakak atau abang. Ko Yunus ini termasuk salah satu sowohi tertua di antara enam Sowohi yang ada di Tidore. Seorang sowohi dapat menjabat sampai usia akhir hayat.
Sebagai orang penting di Tidore, para Sowohi ini tinggal di sebuah “rumah dinas” yang sudah berusia ratusan tahun. Rumah adat tersebut bernama Folajikosarabi yang terbuat dari bambu dan dilapisi oleh tanah. Rumah ini memiliki 5 ruangan. Informasi yang saya dapat desain rumah ini kaya akan nuansa Islam. Misal, jumlah ruangan yang sesuai dengan waktu sholat dan memiliki 2 simpul di setiap bambu, yang melambangkan 2 kalimat syahadat.
Di salah satu rumah Sowohi yang saya datangi tidak banyak perabotan rumah tangga. Semuanya hanya perabotan sederhana seperti meja dan kursi tamu. Ada satu ruangan kamar menjadi ruangan Sowohi untuk berdoa atau ruangan puji.
Sabar, saya tahu kalian pasti juga penasaran tentang apa yang dilakukan Sowohi saat di dalam ruang kamar. Ko Husain menceritakan selama di dalam ruangan dia mencoba berkomunikasi berbicara pada roh nenek moyang, setelah sebelumnya melakukan sholat. Komunikasi yang dilakukan biasanya menyangkut masa depan Tidore. Misalnya mengambil keputusan yang besar atau melakukan pemilihan sultan. Termasuk menemukan “wangsit” siapa yang akan menjadi who’s the next Sowohi?
Ko Yunus berasal dari marga Fola Sowohi telah diangkat menjadi sowohi sejak tahun 2001. Dia memimpin lima sowohi lainnya yang berasal dari lima marga, yaitu Mahifa, Toduho, Tosofu, Tosofu Malamo, dan Fola Sowohi. Mereka yang menjadi sowohi ini masuk dalam struktur Kesultanan Tidore yang disebut sebagai pemerintahan gelap. Sedangkan Sultan Tidore beserta perangkat kesultanan di bawahnya disebut pemerintahan terang.
Bingung kan? kenapa ada pemerintahan gelap dan terang?
Disebut demikian karena sowohi diyakini bisa menjalin komunikasi dengan roh leluhur, sesuatu yang sulit dilakukan Sultan Tidore ataupun perangkat di bawahnya. Sedangkan pemerintahan terang yang dipimpin Sultan Tidore bertugas menjalankan roda pemerintahan kesultanan. Komunikasi dengan roh leluhur itu menjadi syarat utama tiap yang akan dilakukan Kesultanan Tidore. Bahkan termasuk hal-hal penting dalam mengambil keputusan Kesultanan Tidore harus seizin sowohi.
Makin saya cari tahu, makin dibuat penasaran oleh rasa ingin tahu saya. Cuma saya sadar, kalau di dunia ini ada hal-hal yang tidak boleh kita ketahui. Kesan mistis semakin kuat yang saya rasakan saat mencoba bertanya. Seolah ada “orang lain” yang sedang mengawasi kami. Untunglah ada Bu Woro yang kuat akan ilmu budaya mau berbaik hati menjelaskan kembali dengan bahasa yang mudah saya mengerti.
Menikmati Hidangan Makanan Pegunungan
Selain keberagaman budaya dan agama, ternyata sisi keindahan alam di Gurabunga ini membuat lebih saya kepincut. Selesai berkunjung ke salah satu rumah Sowohi, kami diajak Gogo ke kebun tomat dan kubis miliknya. Gogo sendiri merupakan anak gunung. Jangan ditanya seberapa kuat staminanya untuk naik turun Kie Matubu sebab itulahh alamnya. Aksi keren Gogo bisa dilihat kalau dia sudah menari Tari Kapita dengan pedang di tangannya, tatapan mata yang tajam serta berwajah fotogenik ini mampu menghipnotis orang untuk terus melihat pertunjukannya.
Berbeda dengan Bams yang bukan anak gunung tapi dia anak laut jadi sudah pasti laut adalah rumah kedua baginya. Kalian jangan kaget kalau sudah berjumpa dengan Bams dengan perawakan keturunan Arab – Tidore. Kesehariannya dia selalu menggunakan kain tenun, lengkingan “puts your hand up” dan tanpa alas kaki. Luar biasa! Keunikan seperti inilah yang saya rasakan sewaktu berjumpa langsung dengan mereka, pemuda-pemuda Tidore.
Baru pertama kali saya mendapatkan pengalaman trip yang sangat kekeluargaan seperti di Tidore. Seolah menantikan kejutan-kejutan seperti apa lagi yang bisa ditawarkan oleh Tidore. Matahari mulai kembali ke peraduan berganti peran dengan bintang. Di Tidore, waktu berjalan lambat. Sinyal telepon pun tidak ada. Sayup terdengar suara adzan saat maghrib. Lampu-lampu rumah mulai dinyalakan. Tiba-tiba saya seperti melihat kumpulan awan yang menutupi hutan dibalik Kie Matubu. Kemilau sinar matahari terbenam menyinari hutan. Decak kagum saya makin menjadi terhadap Gurabunga, negeri di atas awan itu memang nyata.
“Saya mau menginap semalam di Gurabunga!” pekikku dalam hati.
Saya bersama rombongan wanita seperti Mbak Tati, Mbak Zulfa, Mbak Rien dan Yuk Annie memilih duduk sambil menikmati segelas kopi dabe khas Tidore. Kopi hitam dengan dicampur air guraka yang kaya rempah menghangatkan malam di Gurabunga. Kami duduk bersantai sambil menunggu para pria melakukan sholat maghrib.
“Kok ada dua masjid sih di sana?” tanyaku.
“Yang besar itu masjid, dan yang kecil itu musholah. Biasanya yang masjid buat pria. Kalau yang musholah buat perempuan.”
Tidore memang pulau seribu masjid. Di sepanjang perjalanan saya melihat ada lebih dari satu masjid. Cuma sayangnya berbanding terbalik dengan jumlah penginapan yang tak sebanyak hitungan jari tangan. Rumah makan mungkin hanya bisa ditemukan di dekat pasar atau terminal.
Saya bertanya-tanya kapan kita makan malamnya ya? Cuaca dingin memang membuat lebih mudah halusinasi karena lapar. Mulailah saya celetuk berandai ada Indomie Kuah Kari Ayam pastilah menjadi momen indah untuk bercerita pengalaman kami menikmati indomie kuah di Gurabunga. Nikmat sederhana yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.
“Sabar, itu ada makanan lagi disiapin buat kita.”
Kita? Saya coba bertanya lagi maksudnya dengan kata “kita”. Ternyata malam pertama di Tidore, kami mendapat inisiasi dari ibu-ibu di Gurabunga untuk menyambut kami dengan makanan pegunungan. Sebagai masyarakat pegunungan dan masyarakat adat, tentunya masih memegang tradisi secara turun temurun. Setiap perayaan Hari Jadi Tidore (HJT), masyarakat Gurabunga mengekspresikan kegembiraan dan sukacita sebagai ungkapan syukur menyambut datangnya HJT dan kami pada malam itu.
Aneka makanan pengunungan ini merupakan makanan khas orang Tidore bahkan ada juga makanan yang sudah hampir punah dan jarang dijumpai di Tidore pun ada khusus untuk momen kali ini. Bahan baku yang mereka gunakan ada sebagian yang diambil di gunung. Begitu mendapat penjelasan seperti itu, rasa respek saya terhadap Tidore semakin bertambah.
Ibu-ibu di Gurabunga sibuk mondar mandir mengeluarkan aneka makanan yang disajikan di atas meja. Anak-anak kecil mulai menahan liur melihat banyaknya makanan. Satu per satu menu telah mereka keluarkan dibantu oleh anak gadis. Pertama kali dalam hidup saya melihat aneka makanan yang sangat disajikan secara massal. Rata-rata olahan makanan ini terbuat dari ubi, ikan segar, daun hijau. Total sekitar 40 jenis makanan yang siap untuk kami santap bersama. Sebagian makanan ada yang diberi label nama sehingga kami tahu nama makanan tersebut.
Melestarikan Tradisi Lewat Permainan Baramasuwen
Acara malam ramah tamah di Gurabunga ini tidak hanya diramaikan oleh warga Gurabunga saja. Menyambut Hari Jadi Tidore ke-909, Gurabunga seperti tuan rumah ingin menyambut tiap orang yang datang. Tidak beberapa lama mulai berdatangan para tamu undangan sampai pejabat daerah. Suasana berlangsung meriah. Panitia setempat juga mempersiapkan beberapa pertunjukan seni yang dibawakan oleh anak-anak setempat.
Ada satu pertunjukkan yang dinantikan oleh kami semua yaitu atraksi Baramasuwen atau Bambu Gila. Pertunjukkan Bambu Gila ini merupakan kelestarian permainan dari Tidore yang sudah turun temurun. Keunikan dari atraksi Bambu Gila ini saat kita memegang sebatang bambu bersama-sama maka kita akan merasakan batang bambu terasa berat. Permainan ini dimulai setelah sang juru kunci dengan membawa anglo lalu mengasapi kedua lengan peserta yang terlebih dahulu sudah menjepit bambu. Satu ruas bambu bisa dimainkan setidaknya 7 orang. Saya kebagian di bagian tengah. Dengan tampang polos sekaligus penasaran apa yang akan terjadi setelah sang juru kunci meneriakin “Baramasuwen” maka tiba-tiba saja tubuh saya ikut terbawa arus.
Saya merasakan kegilaan orang-orang yang sedang memegang bambu mendadak meronta-ronta di tengah lapangan. Seolah bambu itu sangat kuat bahkan sulit dikendalikan oleh para peserta. Berbeda dengan yang saya rasakan, badan saya ikut terseret oleh mereka-mereka yang berada di ujung bambu kiri dan kanan seperti Yayan.
Permainan ini berlangsung kurang lebih 10 menit. Orang-orang tampak bersorak menyemangati kami seolah ingin berkata kalian masih kuat? Masih mau lagi?
“Hee bara masuwen…!” teriak sang juru kunci.
“Hee I dadi gou-gou!” membalas sautan sang juru kunci. Setiap mereka yang berteriak “dadi gou-gou” maka saat itu juga arus gerak bambu semakin kencang dan berat. Saya terhuyung-huyung oleh himpitan badan orang di kanan dan kiri saya. Sesekali sang juru kunci mengelilingi arena terusmenerus sembari membacakan mantra-mantra.
Selesai bermain, saya bilang kalau saya tidak merasakan apa-apa. Tapi berbeda waktu saya bertanya ke Yayan yang kebetulan berada paling ujung, dia mengatakan kalau tiba-tiba bambu tersebut terasa sangat berat sekali. Aneh tapi nyata. Kunci dari Baramasuwen ini terletak pada keyakinan masing-masing orang. Apabila kalian yakin bambu tersebut berat maka pada saat teriakan “dadi gou-gou” maka mantra pun akan bekerja.
Saya percaya hampir di setiap pelosok Nusantara ada saja fenomena yang berhubungan dengan kekuatan magis. Begitu juga di daerah Tidore. Cerita yang saya dapat mengenai awal mula permainan ini saat dulu melawan Portugis, banyak peralatan berat seperti meriam dan amunisi berat lainnya bisa mereka angkat dengan mudah setelah diberi matra Baramasuwen. Suatu saat saya harus mencoba kembali permainan bambu gila ini dan mengambil peran di posisi paling ujung.
Gurabunga masih menyimpan eksotika dalam balutan sejarah, keunikan serta kearifan lokal yang sangat ingin saya rasakan dan tuang dalam bentuk tulisan. Semoga saja suatu saat nanti saya bisa kembali ke Kampung Kebun Bunga, arti nama Gurabunga untuk bermalam, menikmati hidangan makanan yang enak, naik ke puncak Kie Matubu sekaligus menemukan ketenangan batin di tempat ini.
***
Terima kasih Ngofa Tidore Tour and Travel Team sudah mengajak saya jalan-jalan ke Tidore.
[…] Aris Prasetyo, jurnalis Kompas yang pernah mengunjungi kawasan Wallacea. Saya jadi ingat saat di Tidore, saya sering menjumpai berbagai macam sambal sebagai teman makan yang nikmat. Sambal-sambal ini […]
[…] Makanan khas gunung berasal dari makanan ramah iklim yang disajikan oleh warga Gurabunga, Tidore berasal dari kaki Gunung Kie Matubu. […]
[…] Makanan khas gunung berasal dari makanan ramah iklim yang disajikan oleh warga Gurabunga, Tidore berasal dari kaki Gunung Kie Matubu. […]
[…] Penjelasan mengenai Sowohi dan Gurabunga, kalian bisa membaca tulisan sebelumnya. [klik di sini] […]
[…] ini bukan isapan jempol. Tujuh hari berada di Tidore membuat saya jatuh cinta dengan keramahan warga lokal dan budaya seperti permainan bambu gila dan ratib tajib […]
Saya juga sudah ke Tidore dan suka dengan suasana Tidore. Pengen balik main ke Tidore lagi.
[…] dengan keindahan alam baharinya mulai dari Pulau Failonga hingga kearifan lokal setempat di Desa Gurabunga yang mendapat julukan “Negeri Di Atas Awan”. Kemudian, melihat budaya lokal yang telah […]
Mantaaaap! Kangen desa ini, alpukatnya, tomatnya, dinginnya ?
[…] Baca juga : Gurabunga, Mengenal Tradisi Masyarakat Pegunungan Tidore […]
[…] Baca juga : Gurabunga, Mengenal Tradisi Masyarakat Pegunungan Tidore […]
Aku jatuh cinta sama jepretanmu yang foto masjid dengan latar belakang pegunungan Tidore. Syahdu.
Omong-omong, maaf, kalau mengoreksi sedikit. Ada baiknya yang paragraf satu alinea pertama, dikasih koma, jangan titik.
“Saat pertama kali menulis tentang Visit Tidore Island, Merekam Jejak Wisata Pulau Rempah beberapa waktu lalu. (ini lebih baik “koma”, Koh) Ada satu tempat di Tidore yang membuat saya ingin berkunjung ke sana.”
KALAU ADA AJAKAN KE TIDORE LAGI, TOLONG AJAK AKU :))))
Membaca deskripsimu, terasa tenang dan nyamannya kota Tidore itu, koh. Rumah dinasnya juga nampak nyaman tanpa dekorasi glamor berlebihan 🙂
lalu makanannya itu, aaarrrggghhh menggoyang selera banget! pasti bakal nikmat banget habis seharian jalan-jalan.
ahhhh i’m so proud to be ngofa tidore,jd kangen naik puncak tidore pas baca ini
Terasa sekali kearifan lokal disini, bangga jadi Indonesia, kunbal y
dari dulu aku penasaran dengan permainan bambu gila koh, Koh Huang asyik bisa ikutan dan mainnya di Tidore 😀 semoga aku bisa dapat kesempatan seperti kokoh, amiin!
Foto yang malam itu bener-bener syahdu. Dan masih kebayang masjidnya yang bersih. Penasaran, bulan puasa di Gurabunga gimana ya.
Langit bersih selama acara HJT. Bener2 kekuatan sowohi nya dahsyat hehe..
eh ternyata koh juga berjumpa dengan kakak papan pelangi dan travelerien ya 🙂
Kan memang jalan2 bareng mereka mas heee
Makanan ada sebanyak itu dan beragam. Aku malah terperangah melihat kabut kala pagi. Ya Allah pasti begitu sejuk di sana saat pagi hari 🙂
Nah itu lah yang pengen aku rasain buat menginap di Gurabunga. Dingin dan sejuk ya 😀
ini kok lingkungannya sekilas bersih banget ya? emang beneran gitukah?
Memang lingkungannya bersih sekali dan asri. Makanya sempat beberapa kali dapat piala adipura kan. Gurabunga dapat menjadi contoh kelurahan/kampung/desa terbersih.
keren ini, patut dicontoh daerah lain
Makanannya Ya Allah, bikin ngiler, ujian banget pas puasa ngeliat makanan itu 😀
Ko Yunus itu sowohi yang jadi perwakilan untuk hal-hal magis ya?
Makanannya sederhana sekali mbak. Tapi cara olahnya itu yang bikin citarasa bikin mau nambah lagi hahaha..
Betul mbak Jul, sowohi ini menjadi mediator untuk hal-hal magis dan menjadi orang yang suaranya paling dipercayai.
Pengen banget kesini.. Saking pengennya sampe kebawa mimpi loh ?
Waduh serius kamu sampai kebawa mimpi mbak Dee… kamu kalau udah ke Tidore bakalan pangling sama cowo-cowo gantengnya lho :p
Ah kalau disana tentram seperti itu adem y Om..
Banget.. enak buat hidup tenang aja..
Asli Om Deddy.. Tenang tanpa kemacetan dan lainnya ya
Aku takjub dengan aneka makanan yang terhidang. Baru pertama lihat dan rasa. Aneka rupa dan nama. Ternyata kuliner khas Tidore begitu kaya. Dan sepertinya sebelumnya belum pernah aku baca dan lihat di manapun. Semoga menu2 tersebut dapat dilestarikan…
Semoga bisa dibikin semacam festival kuliner di sana ya
Gurabunga selalu bikin kangen ya Ded. Tentram dan damai. Pengennya nanti pas nginep di sana, signal HP sudah lebih moncer.
Haha.. justru nginep di Gurabunga harus tanpa gadget.. itu baru bener ngerasoin tenang. Serius lah yuk Annie.