Suasana seketika hening tak bergeming. Seluruh lampu rumah yang dinyalakan tiba-tiba dipadamkan serentak. Raung anjing makin kencang seolah mereka ingin memberitahu sesuatu. Angin yang tadinya hangat menjadi lebih menusuk dingin. Saya merasakan kejanggalan pada malam itu mengikuti ritual Rora Ake Dango di Gurabunga, Tidore.
Bagaimana tidak membuat saya merinding, syair Kabata – nyanyian yang memiliki pesan perjuangan dan kehidupan bagi masyarakat Tidore ini memecahkan keheningan malam Gurabunga. Pijar api dari obor yang dipegang oleh peserta ritual samar-samar menjadi penerang. Suasana sakral. Pertama kali mengikuti acara festival budaya seperti ini menjadi satu pengalaman baru yang mungkin tidak bisa diulang kembali.
RITUAL SAKRAL RORA AKE DANGO
Rora Ake Dango atau air bambu. Seruas bambu seukuran lengan tangan orang dewasa ditutupi kain putih. Lalu, diarak keliling oleh peserta yang mayoritas masyarakat Tidore. Secara harfiah; “Mengambil, mengantarkan, dan mendoakan air.” Ake dango adalah air yang ditempatkan dalam seruas bambu yang di semayamkan di rumah para Sowohi untuk didoakan selama satu hari. Prosesi ini merupakan ritual pertemuan lima marga untuk mengantarkan air yang telah diambil dari puncak gunung Tidore, Gunung Marijang.
Ritual Ake Dango sudah berakar lama sejak ratusan tahun silam dan dilakukan sebagai acara pembukaan Festival Tidore di Hari Jadi Tidore (HJT). Pada saat saya berkunjung ke Tidore merupakan Hari Jadi Tidore ke-909 (2017).
Ritual Ake Dango berakar dalam kepercayaan dan tradisi adat masyarakat Tidore bahwa air adalah sumber penghidupan yang harus dijaga dan didoakan keberlangsungannya untuk kepentingan masa depan Pulau Tidore dan anak cucu. Air juga menjadi sumber utama warga Gurabunga untuk menyiram hasil kebun mereka. Suatu filosofi yang sangat menarik karena air memang menjadi sumber mata air untuk keperluan sehari-hari, termasuk dalam hal upacara.
Saya dibuat merinding melihat prosesi. Sebutan Tidore sebagai Negeri Seribu Jin memang benar. Suasana hening seketika. Lolongan anjing makin kuat ketika panggilan pertama masuk untuk salah satu sowohi beserta rombongan keluarga sambil membawa air dan lainnya memegang obor. Para pengiring Sowohi semuanya perempuan yang memakai atasan putih, sama seperti saya dan teman-teman blogger lainnya. Air kemudian dituangkan dengan pelan ke dalam seruas bambu.
Proses selanjutnya juga sama ketika memanggil marga lainnya. Suara lantang dari dalam surau masjid jelas terdengar. Bayangan-bayangan orang sudah sulit dibedakan apakah itu bayangan asli manusia atau roh leluhur. Menyaksikan prosesi adat yang sangat sakral ini membuat saya diselimuti rasa bersyukur dan haru.
Tiba-tiba suara gendang dan tifa berbunyi. Hening sudah berganti dengan riuh. Puluhan anak-anak kecil berlarian masuk ke tengah lapangan mengikuti dua pria berpakaian serba putih dan ikat kepala merah. Mereka memegang pedang dan perisai untuk menampilkan Tari Kapita, tari yang biasa dipentaskan oleh Gogo dan kawan-kawan sebagai tarian menyambut kedatangan tamu.
Menambah kesakralan acara Ake Dango, tak lupa pembacaan Borero Gosimo yang merupakan pesan-pesan leluhur yang diperdengarkan terasa begitu dalam artinya. Syair-syair berkumandang lirih di bawah temaram obor, membuat suasana begitu syahdu sehingga semakin menguatkan aura sakral dari acara ini.
SOWOHI
Gurabunga memiliki ketinggian sekitar 713 meter dari permukaan laut. Tidak perlu ditanya udara dingin di Gurabunga seakan menusuk kulit. Udara lebih dingin daripada malam sebelumnya saya datang dan disambut dengan aneka masakan pegunungan yang dimasak oleh warga Gurabunga.
Sowohi merupakan pemerintahan “kasat mata” dan menjadi seorang sowohi adalah garis hidup. Kasat mata yang berarti sudah berkaitan dengan alam lain. Mata air yang diambil berasal dari puncak gunung Tidore yang batal saya naikin. Kelurahan Gurabunga ini memiliki lima marga yang diakui di Tidore dan tidak bisa dipisahkan dengan Kesultanan Tidore, yaitu Mahifa, Toduho, Tosofu, Tosofu Malamo, dan Fola Sowohi. Lima marga ini memiliki tugas dan tanggung jawab masing-masing. Kemudian, ada satu marga lagi yang menjadi cikal bakal Kesultanan Tidore berawal yaitu Kie Matiti yang bertugas sebagai penjaga adat saja.
Mereka yang menjadi sowohi ini masuk dalam struktur Kesultanan Tidore yang disebut sebagai pemerintahan gelap. Sedangkan Sultan Tidore beserta perangkat kesultanan di bawahnya disebut pemerintahan terang.
Penjelasan mengenai Sowohi dan Gurabunga, kalian bisa membaca tulisan sebelumnya. [klik di sini]
Seluruh perwakilan marga atau keturunan Sowohi ini akan ditugaskan mengambil air pada malam hari di puncak Gunung Marijang. Ritual mengambil air ini dinamakan Taji Kie yang melibatkan elemen masyarakat dan pemuda dalam rangka merawat dan menjaga kelestarian kawasan puncak sebagai situs ritual penting bagi masyarakat adat.
Keturunan Sowohi dari marga, kecuali marga Toduho mengambil air di wilayah kekuasaannya. Setiap air yang diambil akan dimasukkan ke dalam bambu setelah melakukan ritual memanjatkan doa demi keselamatan. Setelah itu, besok pagi air akan dibawa secara arak-arakkan oleh anak cucu Sowohi menuju Keraton dengan berjalan kaki dari segala mata penjuru angin di Tidore.
Di malam harinya, bertempatan di ruang tamu Keraton digelar ritual Ratib Taji Besi atau semacam debus yang diiringi pukulan rebana. Ritual ini benar-benar memicu adrenalin sekaligus keringat melihat dua bilah paku besi besar dihujam terus menerus di dada. Tulisan mengenai Ratib Taji Besi bisa kalian baca di tulisan sebelumnya [klik di sini].
Magis. Itulah yang saya rasakan selama berada di Tidore. Sulit memang melupakan kenangan manis selama di Tidore, apalagi bisa berjumpa dengan teman-teman baru seperti Gogo, Bams dan lainnya yang sudah seperti keluarga.
Pulang ke tempat penginapan Seroja, Mbak Annie bisik-bisik, “Tadi lihat sosok hitam besar nggak di dalam masjid pas panggilan sowohi?”
Saya langsung melotot ke arahnya. Tiba-tiba merinding kembali.
***
Trip bersama Mbak Annie Nugraha, Mbak Katerina, Haryadi Yansyah, Mas Eko Nurhuda, Rifki Faiza Rahman, Mbak Attini Zulfayah, Mbak Tati Suherman, Ayu, Mas Dwi Setijo Widodo, Ibu Dwi Woro Retno, Ci Anita Gathmir (Ngofa Tidore Tour & Travel), Kak Gathmir (Ngofa Tidore Tour & Travel). Terima kasih atas kenangan indah selama perjalanan di Tidore.
Penuh dengan makna budayanya gan, jadi penasaran nih kegiatan lainnya..
Banyak kegiatan yang bisa dilihat disana ya gan. Jadi pingin lihat langsung deh, soalnya tahu tentang Tidore hanya dari buku saja..
Ini saya yang terlalu lama gak ke sini, apa blognya yang baru diubah ya, berasa bedanya.
Tapi lebih beda lagi ke tidore pas acara ini. Seperti masuk ke abad berapa plus ada hawa magisnya. Bahkan sebelum baca pun, kok udah kerasa magisnya ya.
Terus yang terjadi kalau dikau bisa melihat ya Koh?
ralat : melihat yang kasat mata itu.
Beruntung sekali mas Deddy bisa ikutan acara ini ya.. ada ritual air bambu dll. Baca tulisannya selalu menginspirasi saya mas. Ulasannya lengkap dan menarik. Btw… baru ngeh nih.. ternyata ganti themes dan jadi lebih keren….
Wuih, seru banget ceritanya.
Saya terkadang ingin bisa melihat ritual semacam ini, tapi yang nggak terlalu ramai dengan penfunjung dari daerah luar.
Oh iya, 5 marga Tidore untuk Pemerintahan Gelap ini ada hubungannya dengan “lima” pada kata siwalima nggak ya?
Sampe ikut merinding aku bacanya Bang. Apalagi di bagian penutupnya. Tidore, Negeri Seribu Jin. Ah baru tahu banget aku soal nama lainnya Tidore ini.
jadi paham nih ttg budaya dan tradisi disana, jadi ingin belajar deh sama sobat, biar bisa jadi pinter seperti sobat 🙂
ijin follow ya kak untuk menjalin persahabatan agar mudah mendapatkan update artikel terbaru di blog sobat, dan berharap sobat bersedia menjadi teman saya, terimakasih 😉
serem amat ya pas prosesi ini lalu banyak anjing menggonggong.. btw aku waktu itu ke ternate tapi enggak sempet ke tidore, padahal cuma selemparan batu..
-Traveler Paruh Waktu
iya tinggal nyeberang aja 15 menit bisa sampai dan suasaanya berbeda dengan di Ternate.
baca aja udah merinding koh wkwkw…
ini menandakan kaya budaya di Indonesia.
merinding baca kisah mistisnya om, apalagi yg orang tinggi item itu
Tradisi leluhur jaman dulu yang masih dilestarikan dengan baik, banyak nilai dan makna dengan pelaksanaan ritual rora ake dango itu ?
Rangkaian kenangan yang tak akan terlupakan. Sarat makna, budaya, dan kearifan lokal. Sungguh suatu kebanggaan memiliki kesempatan menjadi bagian dari salah satu kegiatan Ulang Tahun Tidore ke-909 di 2017. DIRGAHAYU TIDORE!! Semoga tetap menjadi berlian pariwisata Indonesia Timur.