BerandaTravelingIndonesiaMengenal Kerajinan Gebeng, Perak, dan Pandai Besi di Tanjung Batu Ogan Ilir

Mengenal Kerajinan Gebeng, Perak, dan Pandai Besi di Tanjung Batu Ogan Ilir

Author

Date

Category

Siang merambat ke sore ketika desa Tanjung Batu tampak sibuk dengan caranya sendiri. Rumah panggung berdiri di bawah rindang pepohonan, cahaya matahari menyelinap melalui daun dan jatuh ke dinding kayu, membuat bayangannya bergerak pelan seolah mengikuti napas angin. Anak-anak pulang sekolah sambil berlarian melewati halaman tetangga, sementara tangan-tangan dewasa berlatih bergerak tanpa mengundang perhatian. Tidak terlihat papan nama bengkel, tidak ada toko souvenir yang menunggu pengunjung. Keterampilan di desa ini tidak memanggil wisatawan. Tempat ini bekerja karena kerja sudah menjadi denyut hidup yang diwariskan.

Benang Alam yang Mengikat Ingatan

Pintu sebuah rumah kayu terbuka dan ruang tenun menyambut dengan warna yang lahir dari tumbuhan sekitar. Benang tergantung rapi di rak, memamerkan warna hasil rebusan bahan alam. Kayu secang menimbulkan merah muda hangat, kayu mahoni dan tegeran memunculkan kuning kecoklatan yang matang, kayu tingi menghadirkan merah bata yang lebih pekat, sedangkan kulit kayu jati memberi coklat tua. Di sudut lain, botol berisi tawas diam menunggu tugas mengikat warna agar tidak mudah luntur, seolah menyegel ingatan tumbuhan ke dalam serat benang.

Tidak ada takaran dalam buku. Penenun menakar warna dengan mata, hidung, dan pengalaman. Selain benang katun, beberapa gulungan tampak lebih kaku dan berkilau. Gulungan itu berasal dari serat nanas yang telah dicuci, disisir, dikeringkan, lalu dipintal menjadi benang. Serat nanas memberi karakter berbeda. Tidak selembut katun namun lebih kuat dan memiliki kilau yang lebih jelas. Penenun menggunakannya untuk motif yang membutuhkan ketegasan, seolah tekstur bekerja sama dengan bentuk.

Penenun mengikat ujung benang satu per satu agar tidak kusut lalu menata serat itu ke alat tenun. Motif tidak digambar di kertas. Motif tumbuh dari hafalan, dari hitungan ritme yang tersimpan dalam kepala. Garis yang tampak sederhana justru membutuhkan perhitungan teliti dan bisa berubah sedikit pada tiap keluarga. Perbedaan kecil itu menjadi penanda siapa gurunya dan dari rumah mana motif itu lahir.

Benang yang baru direndam warna tidak langsung ditarik rapat. Penenun menahan tangan sampai warna menyatu sempurna. Ketika ditanya bagaimana tahu warnanya sudah siap, penenun tersenyum sambil menepuk benang perlahan dan berkata, warna ini harus menunggu. Dalam kalimat pendek itu tersimpan kesabaran yang tidak mengharap balasan.

Satu kain Gebeng berukuran empat meter selesai dalam hampir dua minggu. Waktu itu bukan hanya untuk menenun. Warna dari secang, tegeran, mahoni, tingi, jati, serat nanas, dan sentuhan tawas harus menerima jeda untuk menetap. Kain Gebeng bukan sekadar kain tradisi. Kain itu menjadi cara tumbuhan, waktu, dan tangan manusia saling menyatu.

Makna Motif pada Kain Gebeng

Motif Gebeng lahir dari hafalan panjang, bukan dari gambar. Motif gebeng lurus menunjukkan langkah hidup yang harus dijalani perlahan, tidak boleh dilompati. Motif gebeng sisir yang tersusun rapat menggambarkan kebersamaan, seperti benang yang tidak bisa menjadi kain jika bergerak sendirian. Ada juga gebeng bertangga dengan garis naik turun yang tidak selalu simetris. Motif ini mengingatkan bahwa hidup tidak berjalan lurus, kadang berubah arah, dan justru di situlah kekuatan tumbuh.

Beberapa penenun menggabungkan serat nanas dengan katun untuk membuat motif terasa ketika diraba. Tekstur yang muncul menegaskan bahwa Gebeng bukan hanya untuk dipandang, tetapi disentuh agar cerita kain ikut terasa di telapak tangan.

Ketika Logam Mencari Bentuk

Dari ruang tenun, langkah bergeser ke bengkel logam yang remang. Meja kayu di sana penuh serpihan perak dan tembaga, seperti logam yang sengaja meninggalkan jejak keberadaannya. Lampu kecil menerangi pekerjaan pengrajin yang memotong logam tipis, menggosok, memutar, lalu memanaskannya dengan api kecil. Tidak terlihat rasa terburu-buru. Perhiasan tidak langsung dijual di desa. Banyak hasil kerajinan yang dibawa ke Palembang untuk mengisi etalase toko, menghiasi tangan atau leher seseorang di tempat yang jauh lebih ramai.

Logam yang awalnya dingin berubah bentuk setelah menyentuh api dan menerima gerakan yang tepat. Pengrajin berkata sambil memutar kisaran perak yang belum jadi, logam tidak suka diburu. Kelembutan tangan bukan berarti lemah. Kelembutan itu justru mengatur kekerasan logam sampai mau menurut.

Api yang Mengajari Besi

Tidak jauh dari bengkel perak, suara palu terdengar tegas di tungku pandai besi. Api merah menyala, besi masuk ke dalam bara, menunggu sampai siap ditempa. Pandai besi mengangkat besi panas ke landasan dan memukulnya berulang kali. Pukulan itu tidak menyerang. Pukulan itu mendengarkan. Setelah beberapa ketukan, besi kembali ke api, seolah logam itu perlu berbicara dengan panas sebelum menerima pukulan berikutnya. Besi yang terlalu cepat dipukul bisa retak. Besi yang terlalu lama dipanaskan kehilangan karakter. Tidak ada angka yang pasti. Hanya pengalaman.

Pandai besi menerima pesanan berbagai peralatan pertanian, perkakas kayu, pisau kecil, bahkan alat upacara desa lain. Setiap benda menyimpan jejak percikan api dan kesabaran yang tidak disebut-sebut, tetapi tinggal diam pada permukaan logam.

Tantangan Regenerasi Pengrajin Muda

Anak-anak desa tumbuh di antara bunyi tenunan, kilau serpihan logam, dan suara palu yang menempa besi. Namun tidak semua memilih melanjutkan keterampilan ini. Beberapa ingin bekerja di kota, mencari penghasilan yang lebih cepat. Penenun pernah berbisik sambil menata benang, anak muda banyak yang cepat ingin selesai. Kalimat itu bukan keluhan, hanya pengamatan tentang zaman yang bergerak lebih cepat daripada warna menyerap ke serat.

Namun harapan tetap tumbuh. Beberapa anak muda mulai melihat kain sebagai desain, bukan hanya pakaian. Mereka memotret proses tenun, membuat video pembuatan perhiasan, atau mulai memadukan motif Gebeng dengan busana kekinian. Beberapa bahkan mencoba membuat produk kecil berbahan serat nanas sebagai aksesori. Mereka mencari cara agar kerajinan bisa bertahan bukan hanya sebagai warisan, tetapi sebagai karya yang bergerak maju.

Regenerasi tidak tumbuh dalam semalam. Regenerasi membutuhkan jeda, seperti benang yang menunggu warna, seperti logam yang menunggu jeda setelah panas, seperti besi yang butuh kembali ke bara. Kesabaran yang sama perlahan bertumbuh bersama anak-anak yang menyaksikan pekerjaan ini setiap hari.

Rasa yang Terawat dalam Waktu

Keterampilan di Tanjung Batu tumbuh dari hubungan yang dekat dengan alam. Penenun meracik warna dari pohon dan daun desa, pengrajin perak mengajar logam untuk mengikuti gerakan tangan yang sabar, dan pandai besi membentuk karakter besi melalui pelukan api. Kerajinan hidup karena menghidupi keluarga, bukan karena ingin dipamerkan.

Tanjung Batu bekerja tanpa tergesa. Waktu tidak dikejar, tetapi diberi ruang untuk ikut bekerja. Waktu menempel dalam warna kain, melekat pada permukaan logam, dan terdengar dalam denting palu besi. Desa ini tidak hanya menghasilkan kerajinan. Tanjung Batu membentuk cara hidup. Semua berjalan pelan, namun tetap tumbuh. Seperti warna yang harus menunggu, seperti logam yang tidak suka diburu, tradisi di desa ini ikut terus menenun masa depan.

Deddy Huang
Deddy Huanghttps://deddyhuang.com
Storyteller and Digital Marketing Specialist. A copy of my mind about traveling, culinary and review. I own this blog www.deddyhuang.com

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Deddy Huang

Lifestyle Blogger - Content Creator - Digital Marketing Enthusiast

With expertise in content creation and social media strategies, he shares his insights and experiences, inspiring others to explore the digital realm.

Collaboration at deddy.huang@yahoo.com

Artikel Populer

Komentar Terbaru