Beberapa kali saya sempat melihat seni menyeduh daun teh, namun ketika datang ke kedai Siang Ming Tea ini saya menemukan sudut pandang berbeda. Kedai Siang Ming sudah eksis lebih dari 20 tahun dan tahun depan akan merayakan ulang tahun peraknya.
Adalah Elizabeth atau Lis (@nonamungil), perempuan mungil yang mengenalkan saya dengan Sensei Suwarni Widjaja ketika kami sedang berjumpa. Setelah dia memberikan saya sebungkus kopi Baduy, dia pun bertanya ke saya, mana yang saya suka minum. Apakah teh atau kopi. Saya tidak punya preferensi jenis minuman namun kedua jenis minuman tersebut saya suka.
Liz mengajak saya untuk melihat Kungfu Cha, seni menyeduh teh asal Cina di Mangga Dua Square Mall.
Master Teh Indonesia
Menerobos kemacetan ibukota pada jam sibuk memang tantangan. Untungnya obrolan kami di dalam mobil lumayan seru. Lis juga mengajak Mik (@gadgetapa), youtuber gadget yang mengenalkan saya pada Lis. Saya pun mengajak Timmy (@klappertaartonline) karena tahu dia juga punya kesukaan yang sama.
Sebagai orang awam seperti saya, pengenalan teh bukan hanya sekedar minuman yang diseduh. Kepopuleran teh boleh jadi tidak seperti saudaranya, kopi yang makin hari makin menjamur kedai kopi. Teh seperti tersisihkan, padahal selama berabad-abad teh telah menjadi bagian dari budaya di setiap bangsa di dunia.
Kedai teh milik Sensei Suwarni terletak di bagian lantai bawah dari Mangga Dua Square Mall. Berderet pajangan teh mulai dari jenis pu-erh dan siap diseduh, selain itu juga ada poci-poci keramik. Tak ada yang menyangka usia sensei masuk kepala enam, usia yang tak lagi muda namun bertolak belakang dengan penampilannya seperti masih usia kepala empat. Kulit yang bersih dan putih terawat.
Proses Seduh Teh
Tutur katanya halus, namun sensei agak terbata ketika berbicara dengan bahasa Indonesia. Lidahnya tak sefasih ketika diajak berbicara dengan bahasa Hokkian.
“Mau coba yang mana?” tanya sensei membuka obrolan.
“Emang ada teh jenis apa, sensei?” tanya saya balik.
Sensei membuka dua bungkus daun teh siap seduh. Masing-masing dituangkan dalam mangkok putih kecil. Horigame dan Sencha. Dua jenis teh yang memiliki karakteristik berbeda. Horigame memiliki warna yang lebih muda. Sedikit ada batang namun aroma lebih lembut. Sementara Sencha punya aroma lebih kuat sebab murni pucuk daun teh.
Saya memilih sencha untuk pertama kali karena untuk merasakan aroma teh yang lebih kuat. Alat seduh sudah disterilkan. Gelas dan teko, disterilisasi dengan air panas. Sebagai orang Cina, saya memahami mengapa keramik dan kaca menjadi penghantar panas yang baik.
“Sensei, saya pernah melihat ada yang menyeduh pakai termometer untuk ukur suhu airnya,” seru saya sewaktu melihat dia menyeduh.
“Itu namanya tidak profesional,” jawab sensei. Kami diajak merasakan panas dari teko. Hangat suam-suam. Daun teh yang diseduh perlahan mulai merekah. Kuncinya terletak pada mengenali panas yang tepat saat menyeduh teh. Sehingga memang penting memiliki insting yang kuat mengenali suhu.
Seduhan sencha tak berwarna, bening seperti air putih. Cara menikmati teh sama seperti wine. Pertama kali diamkan dalam mulut. Biarkan beberapa detik kemudian baru ditelan. Sencha yang telah diseduh memang lebih pekat.
Pencarian Teh Berkualitas
Inilah menjadi ironis bagi bangsa kita sendiri. Ketika hasil bumi diekspor ke luar negeri kemudian dibeli kembali oleh kita dengan nilai yang tinggi. Zaman kolonial, daun teh dicincang untuk menghindari pencurian dari buruh kebun teh. Pucuk teh terbaik diekspor ke luar negeri. Sedangkan pucuk teh kualitas rendah yang masih ada batangnya dikonsumsi oleh kita. Sedih. Hal ini sama ketika saya berkunjung ke kebun teh di Munnar, Kerala.
Kualitas daun teh lokal memiliki rasa sepat. Dulunya, orang menggunakan gula untuk menutupi rasa sepat. Sementara pemetik teh juga butuh tenaga untuk memetik teh di hawa yang dingin, makanya mereka juga menggunakan gula. Buruknya kualitas daun teh lokal, sering juga digunakan esens pewangi agar menggiurkan pembeli. Ini bagaikan efek domino yang membuat angkat penderita diabetes meningkat tajam.
Kita menginginkan teh yang murah, sedangkan kita tahu untuk harga murah tentunya sebanding dengan kualitas.
“Kamu tahu gelar master itu bebannya berat loh,” ucap sensei.
Sensei Suwarni berkutat di dunia teh sejak tahun 1995. Beliau tidak segan untuk berburu teh ke perkebunannya langsung. Jika tidak sesuai standar pilihan tentunya tidak akan diambil. Nama sensei dikenal mulai dari Kedutaan Jepang hingga sejumlah hotel ternama karena beliau memasuk sekaligus mengontrol kualitas teh. Termasuk juga memilih teapot dan teacup langsung dari perajin. Bayangkan harga yang fantastik dari sebuah teapot bisa mencapai puluhan juta hingga ratusan juta.
Mencicipi Mie Herbal
Pembicaraan kami berpindah ke meja makan. Aroma hangat kuah bakmi sudah memanggil kami. Obrolan mengenai teh berlanjut saat sensei mengajak kami menikmati bakmi ala Taiwan yang lezat. Di Kedai Siang Ming Tea ini bukan hanya menyajikan teh. Sensei juga menjual menu makanan sehat yang bisa dinikmati. Kuah bakmi diracik dari 21 jenis herbal rempah sehingga membuat rasa manis dan gurih. Tekstur mie lembut.
Halal? Tentu saja. Kedai Siang Ming Tea ini terletak di lantai bawah Mangga Dua Square Mall, dekat dengan eskalator. Selain Kung Fu Cha, sensei juga mengajarkan Chado, upacara minum teh Jepang yang sudah berusia lama. Seni menyeduh teh Jepang ini menggunakan tatami. Ada banyak persiapan hingga penyajian dalam teh. Setiap makna berbeda, jadi bukan hanya sekedar menuang air panas lalu diminum.
Sayangnya budaya minum teh di Indonesia belum sepopuler di negara lain. Kualitas teh kita di Indonesia layaknya diseduh 2-3 kali. Lebih dari itu biasanya rasa teh akan sepat. Sejak mendengar penjelasan dari sensei mengenai teh, saya makin selektif untuk meminum teh.
Siang Ming Tea Shop
Mangga Dua Square Lt. B1, Blok A No: 43-49
Jakarta
(021) 62313374
[…] coklat. Bagi saya yang pernah mendapat pengetahuan tentang proses pengolahan biji kopi dan daun teh. Rasanya kurang lengkap kalau juga tidak mengetahui cara membuat coklat dari biji […]
ini deket bgt ama kantorku.kon2 aku mampirin deh ke mangga dua square. dulu pas di Beijing aku prnh ikutan teh ceremony. melihat expert nya meracik banyak jnis teh, dan kita bisa cicipin 1-1. baru kali itu aku ngerasain teh yg bener2 enak. beda banget ama teh instan yg srg aku bikin :p. ternyata memang hrs ada cara khusus utk menyeduh teh supaya bisa menghasilkan rasa yg enak yaaa ;). krn pas aku coba sendiri di rumah, dgn teh yg sama, rasanya failed hahahaha
jadi inget drama2 mandarin yang sering saya tonton, budaya minum teh nya khas sekali dgn keramik khusus, kadang ada yang sprt mangkuk, well disini juga koh, Turki jadi bangsa penkonsumsi teh terbesar, mereka biasanya minum jenis black tea, tea terbaik perkebunannya di daerah black sea, ya sayangnya mereka cenderung memakai gula, krn black tea jg lbh pahit. budaya ngeteh jg ada filosopi nya, dr cay danl?k*teko khusus 2 tingkat* ada maknanya, dan knp gelas teh nya jg kecil2. menarik sekali poastingannya
SIAP
Bener, Koh. Kalo di Jepang, Teh nggak sebatas cuma minum. Dan memang diceritakan di sebuah anime, teh itu sangat elegan dengan upacara dan sebagainya. Berbeda dengan kopi yang lebih kasual, menurutku.
Menurutku, kalau kopi berfungsi memacu adrenalin di pagi hari, teh sebaliknya. Minum teh lebih cocok saat sore hari untuk mendamaikan otak dan pikiran. Di Inggris juga ada tradisi minum teh kalo nggak salah.
Tapi teh dan kopi menjadi sahabat sejati ketika mereka ada di warung-warung pinggir jalan. Teh panas dan manis juga kental bisa juga berteman akrab dengan kopi hitam pekat sambil membicarakan soal apa saja mulai dari politik elit tinggi hingga politik tetangga.
Sepertinya kedai teh tak lama lagi bakal menggeliat layaknya kedai kopi. Tinggal menunggu waktu. Di Jogja sendiri sudah ada beberapa kedai teh dengan konsep sederhana.
Mie nya enak enak … cocok minum teh setelah makan..
Musti ngajak suami ke sini ah. Dia penggemar teh berat. Apalagi teh yang diolah dan diseduh dengan sentuhan tangan professional seperti ini