BerandaIdeaKenali Songket Palembang, Cintai Produk Lokal

Kenali Songket Palembang, Cintai Produk Lokal

Author

Date

Category

Melodi simfoni kemahsyuran Gending Sriwijaya ini membuat tiap orang yang mendengarnya pasti akan setuju kalau musik dan tarian yang dibawakan oleh para gadis cantik ini luar biasa. Apalagi kostum yang dikenakan untuk menari pun sangatlah mencolok dengan warna merah yang mewah. Pernah melihat kemegahan songket Palembang? Produk lokal ini termasuk barang koleksi oleh para istri Presiden Indonesia. Yuk kenali dulu apa itu songket Palembang!

http://www.youtube.com/watch?v=rhWyo3IvxU4

Sumatera Selatan, daerah yang dikenal dengan sebutan “Bumi Sriwijaya” dan masyarakatnya termasuk saya yang akrab disapa “Wong Kito Galo” ini punya rekam jejak peninggalan Sriwijaya, salah satunya kain tenun Songket. Walau hampir seluruh daerah Indonesia memiliki ketrampilan menenun, tapi tenun Songket Palembang ini memiliki motif dan arti tersendiri. Tidak ada yang bisa melepaskan kain songket dari kebudayaan Nusantara.

Menurut cerita orang lama Palembang, awal munculnya kain songket pada masa Kerajaan Sriwijaya abad ke-7 hingga abad ke-13. Tradisi tenun secara turun temurun dari para pedagang Tiongkok yang membawa benang sutra, sedangkan pedagang India serta Timur Tengah yang membawa benang emas. Oleh karena perkembangan dan dipengaruhi tradisi yang dibawa para pedagang saat singgah, maka terciptalah pola tenun Songket buah ketekunan dan kreatifitas masyarakat saat itu. Pola-pola rumit yang diciptakan oleh para penenun ini juga menginspirasi rumpun melayu lain seperti Malaysia dan Brunei. Namun, berbeda dengan songket Indonesia apalagi Palembang karena lebih mengarah ke warna merah, emas dan perak.

Sumber yang saya dapat, masa itu benang dan bahan yang digunakan berkaitan dengan alam sekitar. Pewarnaan pun masih menggunakan bahan-bahan alami dari sumber kekayaan alam sekitar. Benang-benang yang digunakan berasal langsung dari pedagang Tiongkok dan India yang akhirnya memberi dampak kekayaan jenis-jenis motif kain tenun Songket yang ada sampai saat ini.

Desa yang Ikut Melestarikan Songket, Desa Muara Penimbung

Warga Desa Muara Penimbung melakukan aktifitas tenun Songket
Warga Desa Muara Penimbung melakukan aktifitas tenun Songket

Pencarian informasi saya mengenai songket mengarah ke Desa Muara Penimbung, desa yang berada di Kecamatan Indralaya, atau tepatnya Ogan Ilir ini merupakan salah satu desa yang melestarikan tenun songket dari generasi ke generasi hingga saat ini. Jika kita dari Bandara Sultan Mahmud Badaruddin 2 Palembang sekitar 35 km atau 1,5 jam untuk mencapai desa yang memiliki sekitar 38 rumah yang menjual kain songket hasil tenunan sendiri.

Para pengrajin tenun di desa Muara Penimbung ini telah diajarkan menenun sejak usia dini hingga sekarang. Pada dasarnya para pengrajin tersebut bisa menenun oleh dari ilmu orang-orang terdekat. Dari keluarga di rumah yang merupakan keluarga pengrajin itu sendiri. Biasanya saling berbagi ilmu tentang hal-hal yang terkait menenun, seperti motif-motif. Namun ada pula yang bisa menenun kain songket ini dengan belajar pada orang selain keluarga namun biasanya memang orang yang lebih tua.

Motif Songket Perlu Dipatenkan

Semakin rumit dan rapat motif Songket, harga jual semakin tinggi

Hal lain yang dilestarikan dari songket selain kainnya yaitu motif dari songket. Agar tidak serta merta dicatut oleh bangsa lain yang nantinya akan digunakan sebagai budaya mereka. Saat ini songket memiliki motif yang unik dan proses pembuatan rumit. Motif hias songket biasanya berbentuk geometris atau mayoritas berbentuk flora dan fauna seperti bunga cengkeh, bunga tanjung, bunga melati. Motif-motif tersebut dari dulu diwariskan turun temurun. Polanya tidak berubah, karena cara membuat motif hanya dilakukan oleh orang-orang tertentu.

Memang, seperti yang saya tanyakan dengan gadis tenun saat saya berkunjung ke salah satu galeri songket di Sentral Songket Tangga Buntung 26 ilir, bahwa tidak setiap penenun dapat membuat motif sendiri. Orang yang menenun tinggal melaksanakan pola yang telah ditentukan untuk dikerjakan dengan telaten. Meski belum ada pengakuan kain songket merupakan peninggalan sejarah di Indonesia seperti batik, tapi sekitar 71 motif songket yang dimiliki Sumatera Selatan, baru 22 motif yang terdaftar di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM. Ini kabar baik bagi para pengrajin tenun songket Palembang guna menjaga eksistensi budaya.

Melihat Sentral Pengrajin Tenun Songket 26 ilir Palembang

Siang yang tidak begitu terik mengantarkan saya menuju jalan Kirangga Wirasentika di kota Palembang. Kawasan ini tentunya sudah tidak asing bagi warga Palembang untuk datang berkunjung ke galeri-galeri songket yang berada di sepanjang jalan. Sepeda motor saya pun berhenti persis di depan palang gapura tinggi dan rindang ditutupi oleh perpohonan. Bertuliskan “Sentral Industri Pengrajin Songket” seolah disambut kedatangan saya untuk melihat langsung kawasan yang pernah disinggahi oleh para petinggi Pemerintah termasuk Susilo Bambang Yudhoyono mantan presiden Indonesia pun pernah berbelanja songket terbaik di kawasan Tanggo Buntung ini.

Kawasan Tanggo Buntung ini tidak hanya berorientasi pada sisi komersil, tetapi juga terdapat sisi edukasi. Galeri-galeri disini bukan hanya sarana tempat pameran melainkan juga berfungsi sebagai tempat workshop penenunan songket. Kita pun dapat melihat secara langsung proses penenunan.

Di sepanjang jalan terdapat banyak toko dan rumah yang dijadikan pusat kerajinan oleh-oleh berupa batik dan kain songket serta beragam kerajinan khas Palembang. Salah satu toko yang dikenal di Tanggo Buntung adalah Zainal Songket, Fikri Collection, dan lain sebagainya. Motor putih saya diparkirkan di perkarangan depan rumah kepunyaan Fikri Collection. Saya disambut ramah oleh penjaga, sambil menceritakan niat saya untuk melihat-lihat proses penenunan saya pun diizinkan serta didamping oleh salah satu karyawan Fikri Collection.

Saat saya berkunjung, ternyata sudah ada beberapa pengunjung yang asik melihat kain songket. Mencoba satu persatu, bertanya dan mengernyitkan kening mereka.

“Wah.. ibu lagi cari songket buat apa nih kalau boleh tahu?” sapaan saya membuat ibu tersebut berbalik arah sambil memegang kain songket.

“Ini dek, ado acara ngantenan.” Jawab ibu itu dengan logat kental bahasa Palembang yang menjadi bahasa sehari-hari. Sejenak mengobrol dengan ibu itu saya melanjutkan berkeliling melihat luasnya galeri songket di sini. Sesekali ada para karyawan yang sedang duduk merapikan songket pun tidak mau kalah mereka juga bilang minta saya memotret aktifitas mereka.

“Kak, payok fotoin kami jugo yang cantik-cantik ini.”

Tawa kami pun pecah, saya diajak ke arah belakang untuk melihat gadis-gadis penenun sedang bekerja. Kaki saya mendekat ke salah satu penenun, duduk melipat kaki di sampingnya sambil memperhatikan setiap gerakan yang timbul dari dayan, alat untuk menenun.

Gerak jemari memilin, menggulung dan membentang benang keluar masuk, menimbulkan suara gemerisik seiring dengan bebunyian hentakan sekoci dan palang kayu. Tangannya yang terampil membuat cagak dan beliro menjalankan fungsinya masing-masing untuk menarik benang, kemudian diganti oleh benang lain. Begitu seterusnya disusun dan dirapikan hingga menjadi selembar kain cantik mempesona.

“Mbak dak capek apo duduk seharian nenun?” Kagum saya melihat proses tenun yang jarang saya lihat.

“Capeklah kak, tapi udah biaso.”

Bagi kita yang awam melihat mereka tentunya ini pemandangan yang baru, tapi untuk mereka gadis-gadis yang asalnya bukan dari luar Palembang ini sudah jadi kebiasaan yang diasah dan terampil. Lewat tangan mereka inilah songket-songket indah dihasilkan. Menurut bahasa Palembang, songket berasal dari kata disongsong dan di-teket. Kata “teket” dalam bahasa Palembang lama artinya sulam. Kata tersebut merujuk pada proses penenunan dengan memasukkan benang dan peralatan lainnya ke Lungsin (benang tenun) dengan cara disongsong. Pembuatan kain songket pada dasarnya dilakukan dengan cara disongsong dan disulam.

Sepasang pengantin mengenakan busana yang terbuat dari kain tenun songket. Biasanya warna dasar kain adalah merah tua.

Tiap pola Songket yang siap ditenun ini membutuhkan waktu sekitar 3 bulan lama pengerjaannya. Waktu yang cukup lama untuk menghasilkan sebuah kain berukuran 2 meter. Mulai dari pemilihan motif, pewarnaan benang, dan waktu tenun 2 minggu. Biasanya untuk acara khusus, beberapa orang sengaja memesan khusus agar dibuatkan motif yang berbeda atau dengan bahan berkualitas.

“Yang ini kak, songket unik yang kami punyo.” Tunjuknya sambil membuka etalase kaca panjang sambil membuka dan mengeluarkan dengan hati-hati gulungan kain songket.

“Ini apa?”

“Songket dari benang jantung.”

Songket Benang Jantung
Songket Benang Jantung

Jari telunjukku mencoba merasakan halusnya tekstur benang dan kain hasil tenunan benang jantung. Gumam saya dalam hati, pasti harganya mahal sekali dan ini salah satu kain lokal berkualitas. Dia pun mencoba membentangkan kain tersebut agar saya dapat melihat dengan detil setiap tenunan yang rapi dan rekat erat.

“Berapa mbak?”

“75 juta”

“Buruan dibalikin lagi mbak, kalo rusak aku ndak bisa ganti” hahahaha…

Anyaman pola Songket

Benang Jantung ini memang sudah jarang ditemukan karena bahan diimpor langsung dari Tiongkok. Keunikan dari songket benang jantung tersebut bisa kita tenun ulang dengan cara membuka kembali hasil tenunan. Bisa dibayangkan waktu zaman Sriwijaya tenun songket menggunakan benang-benang emas 24 karat pasti kain Songket itu elok, berat dan mewah! Makanya wajar sekali dengan proses pembuatan yang terbilang lama dan rumit, kain Songket Palembang dipatok harga yang bikin kita mengelus dada. Harga paling hemat untuk songket dengan motif umum berkisar 1,5 juta dan tentunya kalau ditanya paling mahal bisa sampai ratusan juta!

Pesona Kain Batik dan Jumputan Khas Palembang

Menelisik perkembangan kain Songket di Palembang, toko-toko pengrajin tenun kain Songket selain menjual Songket Palembang juga memproduksi kain Batik dan kain Jumputan khas Palembang. Kedua kain nusantara ini memiliki tekstur dan motif yang berwarna. Batik Palembang yang saya jumpai menggunakan menggunakan bahan sutra, organdi, jumputan, katun, dan blongsong. Adapun motif batik Palembang hampir mirip dengan motif-motif Songket seperti Kembang Jepri, Lasem, Sisik Ikan, Gribik, Encim, Kembang Bakung, Kerak Mutung, Sembagi dan Salahi.

Batik Palembang memiliki keunggulan yang tak kalah unik dari batik-batik yang lain. Batik Palembang adalah batik yang mengikuti syariat Islam, yaitu batik yang tidak menggunakan gambar binatang dan manusia sebagai hiasan. Sebagian besar motif batik Palembang adalah berbentuk bunga teh dan motif lasem yang dihiasi garis simetris dan berbagai simbol tanaman, sedangkan motif bunga teh kainnya dipenuhi dengan motif bunga teh.

Memang tidak mudah untuk menemukan pebatik khas Palembang yang mau menggunakan media canting atau menulis kain sehingga jadi batik saat ini. Secara umum batik Palembang dibuat dengan dua cara yaitu di cap dan ditulis, sama dengan teknik membatik pada umumnya. Namun saat ini dikembangkan juga batik dengan cara printing. Pengrajin batik Palembang saat ini masih sangat sulit ditemui, oleh karena itu perlu dukungan dari beberapa pihak untuk tetap melestarikan batik ini.

Hal lain yang bisa dijumpai adalah kain Jumputan, kain ini mempunyai banyak motif yang cerah menyerupai pelangi. Itulah sebabnya kain jumputan biasa disebut kain pelanginya Palembang. Dengan proses cara ikat celup (tie and dye) teknik jumputan ini menghasilkan motif tertentu dari dari bahan berwarna putih polos. Dimulai dengan mengambil sejumput kain dari kain yang akan diberi motif. Lalu, diikatkan dengan tali dan kemudian dicelupkan ke dalam larutan pewarna sesuai keinginan. Saat proses pencelupan, kain yang tertutup dengan tali tidak bisa diberi zat pewarna. Jadi saat dibuka, akan muncul motif pada kain. Motif yang dibuat cukup beragam, ada motif bintik tujuh, kembang janur, bintik lima, bintik sembilan, cuncung (terong), bintang lima, dan bintik-bintik.

Kreasi kain Jumputan tradisional ini kemudian ditangkap oleh Bimbo Titaley yang sudah tidak asing lagi namanya di dunia modeling kota Palembang. Lewat pesan whatsapp saya banyak bertanya ke pemilik label produksi Rajendra Label ini yang memadukan unsur kain Jumputan sebagai produk fashion berkualitas baik dan bagus.

Lewat kreatifitas dan tangan terampil, Bimbo ingin mengangkat dan melestarikan warisan kain Palembang sebagai pakaian sehari-hari buat anak muda. Selama ini, ada kesan kain tradisional hanya untuk kalangan orangtua atau acara resmi. Memang saat ini industri pembuatan Rajendra Label terbilang masih dilakukan manual di rumahnya. Bimbo memiliki rekanan yang khusus untuk menjahit dan memadukan dengan rancangan desain baju dari sketsa.

Beberapa waktu lalu, di sebuah mall di kota Palembang diadakan event Palembang Fashion Week yang mana menampilkan karya-karya desainer lokal selama 3 hari lamanya. Salah satunya, Rajendra Label by Bimbo ini turut berpartisipasi. Saya pribadi juga menyukai hasil rancangan baju yang memang tampak trendi, modis, namun tetap gaya lewat kain tradisional. Harga yang dipatok untuk hasil rancangan Bimbo juga tidak terlampau mahal berkisar 300 ribu tapi kesan ekslusif dan nyaman dipakai itu yang bisa kita rasakan.

Kurangnya Minat Masyarakat Terhadap Produk Dalam Negeri

Saat ini yang sedang hangat-hangatnya dibicarakan adalah ancaman terhadap aset negara berupa budaya dan produk lokal yang telah menghadapi perdagangan bebas (MEA). Indonesia telah menyetujui adanya kerjasama perdagangan bebas. Beberapa orang berpikir kalau produksi dalam negeri punya kualitas tidak baik, atau bagi yang mencari merek ternama tentunya rela membayar jutaan rupiah untuk gengsi. Parahnya itu adalah orang lokal yang bilang. Padahal, sudah sejak lama pemerintah menyuarakan untuk kita menggunakan produk dalam negeri. Terutama yang berkaitan dengan masalah fashion.

Hasil tenun produsen lokal berkualitas baik

Sebenarnya, mengapa kita perlu cinta produk dalam negeri dan apa manfaat buat kita kalau pakai produk dalam negeri? Secara tidak langsung tentunya produksi dalam negeri meningkat sehingga menambah besar skala usaha tersebut. Dengan demikian, jumlah lapangan pekerjaan akan seimbang dengan tingkat kelulusan tiap tahunnya. Hal ini bisa kita rasakan sekarang dengan perekonomian yang lambat saat ini mulai dirasakan angka kemiskinan dan kriminalitas mulai bertambah.

Oleh sebab itu, Dirjen Perdagangan Dalam Negeri dalam sosialisasinya selalu berpesan bahwa apabila kita lebih senang membeli barang-barang impor. Uang kita akan mengalir ke luar tanpa ada manfaat bagi produsen barang di dalam negeri. Di tengah serbuan produk-produk impor saat ini, produk lokal juga sedang berusaha naik. Sebagai industri kreatif tentunya kerajinan pembuatan kain songket ini tidak terlepas dari tantangan globalisasi ekonomi. Tetapi di tengah gempuran globalisasi tersebut ternyata sampai sekarang songket bertahan sebagai salah satu warisan budaya Melayu Palembang.

Cinta Produk Lokal seperti Dua Sisi Koin

Begitupun seharusnya pelaku usaha harusnya juga memahami keinginan masyarakat yang tidak mau “ditipu” dengan dijualnya suatu barang yang harganya tidak sebanding dengan mutu. Maka perlu bagi para pelaku usaha untuk senantiasa meningkatkan mutu dan pelayanan terhadap konsumen lokal. Efeknya kita masyarakat tidak akan ragu memilih untuk menggunakan produk-produknya.

Peran pemerintah juga tidak boleh lepas tangan sebagai teladan sangat diharapkan. Karena bagaimana mungkin masyarakat diminta untuk mencintai produk dalam negeri kalau pejabat pemerintahan sendiri ternyata lebih senang memakai produk luar negeri. Seperti kejadian tempo lalu saat rapat di Istana Negara para menteri menggunakan sepatu kualitas luar negeri?

Dari sudut pandang sumber daya manusia, sebenarnya kualitas orang-orang Indonesia tidak kalah dibandingkan dengan orang-orang di negara maju, jika saja ada wadah untuk belajar. Namun kemauan saja tidak cukup, fasilitas pendukungnya pun harus mumpuni. Hal inilah yang harus menjadi sorotan. Bahwa dalam proses belajarnya, masih ditemukan pelaku usaha tersebut belum mendapatkan fasilitas yang memadai, belum maksimalnya akses informasi apalagi untuk masyarakat di pedalaman.

Permasalahan yang selanjutnya adalah dalam menjalankan proses produksinya, tiap pelaku usaha yang saya jumpai pastinya berkata masalah finansial atau pendanaan proses produksi. Lantas bagaimana menyelesaikan masalah ini? Sebenarnya pemerintah telah memberikan bantuan dengan mengucurkan dana usaha bagi pengusaha kecil dan menengah. Namun, yang harus disoroti adalah bahwa bantuan-bantuan yang ditujukan kepada kalangan pengusaha kecil dan menengah itu belum termanfaatkan dengan maksimal. Karena ternyata dalam penyalurannya, bantuan tersebut banyak yang salah sasaran. Sehingga wajar saja bila pengusaha kecil dan menengah tidak dapat berbuat banyak untuk menyikapi masalah pedanaan ini. Secara tidak langsung keadaan ini mengganggu proses produksi yang membuat mereka lebih memilih untuk menekan biaya produksi hingga seminimal mungkin. Misalnya saja dengan menggunakan bahan baku yang kualitasnya dibawah standar yang seharusnya serta penggunaan teknologi konvensional yang membuat proses produksi tidak maksimal.

Masyarakat Cerdas, Mandiri, dan Cinta Produk Lokal

Salah satunya kain Palembang dengan songket atau jumputan. Karena memang pakaian tersebutlah diciptakan untuk kultur Indonesia dan menjadi ciri khas agar kita tampil menarik sebagai warga lokal. Ada juga teman-teman yang menggunakan kaos bertuliskan nama tempat di Indonesia dan tentunya dengan bangga pakai saat travelling kaos bertuliskan “Damn I Love Indonesia”.

Supaya seperti ibu Rosita, asal Palembang yang mempresentasikan songket lewat boneka Barbie dengan mengkombinasikan bordir dan rumbai-rumbai sebagai souvenir. Perubahan yang dilakukan pada ragam motif dan fungsi songket ini adalah inovasi, namun tetap menjaga keasrian dari songket itu sendiri.

Oleh sebab itulah, agar masyarakat lebih cerdas, mandiri dan cinta produk lokal perlu didukung oleh masing-masing pelaku di dalamnya. Bagi pemerintah, pemerintah sebagai panutan rakyat agar dapat memiliki sikap contoh apabila meminta kita sebagai masyarakat lokal untuk cinta produk lokal maka tunjukkan kalau pemerintah pun juga menggunakan produk lokal. Selain itu, pemerintah harus sigap dalam persoalan hak paten produk lokal sehingga tidak “diserobot” oleh negara lain.

Sumber foto : instagram.com/DianPelangi
Sumber foto : instagram.com/DianPelangi

Bagi produsen lokal pun harusnya tidak mendeskritkan dengan menjual barang-barang berkualitas rendah. Apalagi dalam menetapkan harga jual yang tidak sesuai dengan mutu produk yang dihasilkan. Seperti Dian Pelangi, desainer asal Palembang ini membuat harum nama Indonesia apalagi saat dia memperagakan kain Songket di dunia fashion internasional. Galeri butiknya di Palembang juga tidak sepi oleh pengunjung berkantong tebal, tapi apabila ada produk serupa dengan harga yang masuk akal dengan kualitas baik tentunya hal ini akan membuat kita pun tidak ragu membeli produk lokal.

Bagi kita sebagai masyarakat lokal, memang layaknya tidak berpikir kalau kualitas produk lokal pasti dibawah produk impor. Dengan memiliki sikap bangga pakai produk lokal sekecil apapun itu sudah menunjukkan bahwa kita mendukung produk dalam negeri. Di luar itu kita juga perlu melengkapi pengetahuan tentang perlindungan konsumen.

Mari kita mulai menyukai produk-produk dalam negeri sekecil apapun itu nantinya akan menjadi langkah besar. Buktikan bahwa Indonesia, terutama Palembang punya craftmanship yang terbaik!

Deddy Huang
Deddy Huanghttp://deddyhuang.com
Storyteller and Digital Marketing Specialist. A copy of my mind about traveling, culinary and review. I own this blog www.deddyhuang.com

14 KOMENTAR

  1. Songket Palembang ini luar biasa indahnya. Aku bangga dengan kemegahannya. Bangga dengan para pembuatnya! Dan pastinya, bikin makin cinta pada produk lokal 🙂

    Good luck ya Ded.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Deddy Huang

Lifestyle Blogger - Content Creator - Digital Marketing Enthusiast

With expertise in content creation and social media strategies, he shares his insights and experiences, inspiring others to explore the digital realm.

Collaboration at [email protected]

Artikel Populer

Komentar Terbaru