Keanggunan perempuan Jawa membatik memang tak diragukan. Alunan tangan nan gemulai saat melukis di atas kain yang mengagumkan. Melukis motif di atas kain dengan aliran malam keluar dari ujung carat yang terbuat dari tembaga. Lembut dan tenang. Setiap mengisi canting dia meniup ujung carat tuk mendinginkan suhunya agar malam mengalir dengan pas.


Saya duduk bersila menyaksikan dirinya memegang gagang canting. Ada rasa kagum yang terbersit. Mungkin dia mulai merasakan kehadiran saya tengah memperhatikannya dari balik kamera. Saya pun melemparkan senyum. “Ibu, saya minta izin memotret ibu sedang membatik ya?” Dia membalas lewat anggukan kepala. Tanda tak harus terucap dengan kata dan kalimat.
Saat Jogja Memanggilku Kembali
Pesona Yogyakarta mampu memikat tiap orang tuk jatuh hati dalam sekejap. Membuat saya datang kedua kalinya dalam rentang sebulan.
Setiba di Bandara Adi Sucipto, saya bergegas menuju Hotel Paku Mas. Jaraknya selemparan batu dari bandara. Lokasinya strategis memudahkan kita ke mana pun di Jogja.

Sebelum kedatangan ini saya sempat berucap ke Nana, “Aku ingin merasakan suasana yang Jawa banget.” Ada gairah ingin menikmati kehidupan warga lokal.
Semua persiapan sejak akomodasi dan tiket pesawat sudah diurus dengan Traveloka. Nyamannya memesan hotel lewat aplikasi burung langsing berwarna biru ini karena harga yang tertera adalah harga final yang pilihan pembayarannya mudah. Bagi saya yang bukan pengguna kartu kredit, jelas membantu rencana traveling saya.







Saat check in saya meminta pada resepsionis agar diberikan kamar yang nyaman. Keramahan pelayanan hotel Paku Mas memang bukan isapan jempol. Sesuai dengan pengalaman tamu lainnya saat memesan di Traveloka. Ini salah satu alasan saya memilih Paku Mas.



Nuansa hotel yang njawani tampak dari penampilan luar hingga isi kamar. Nuansa kamar bercat putih dengan perabotan kayu meninggalkan kesan homy sebagai penginapan terjangkau di tengah kota Jogja. Interior kamar layaknya kamar pribadi dengan teras lega berhias pemandangan pepohonan seperti rambutan, jambu, hingga belimbing. Suasana malam hari di hotel pun tenang.
Menyusuri Jalanan Jogja
Semakin diperhatikan foto perempuan pembatik di Raminten semakin saya kagum akan budaya jawa. Bagaimana budaya Jawa memprioritaskan keseimbangan, serta menjunjung tinggi kesopanan serta kesederhanaan. Tak ada yang dapat membohongi sebuah gambar saat sedang bercerita.
Walau hanya beberapa tempat yang didatangi, saya menikmati sudut jalanan Jogja seperti di jalan Prawirotaman dan Malioboro bersama Nana.


Prawirotaman lebih diminati oleh turis luar. Menyusurinya serasa melewati perkampungan yang “terpaksa” menjadi modern. Di sini saya lebih banyak melihat turis bule dibandingkan turis lokal. Deretan kafe yang telah mengikuti menu barat, art gallery, agen perjalanan, serta penginapan mendominasi di kawasan ini. Sebagian bangunan masih memiliki struktur asli, namun ada juga yang dibuat agar tampak modern.
Sang surya mulai tenggelam. Tanpa terasa walking tour kami telah selesai menelusuri jalanan Prawirotaman yang pernah menjadi lokasi syuting film Ada Apa Dengan Cinta II.

Berpindah dari suasana Prawirotaman, kami sampai pada keramaian khas Yogyakarta. Mana lagi kalau bukan jalan Malioboro. Ruas jalan ini hidup mereka yang datang ingin menikmati suasana Jogja pada malam hari. Nana mengajak saya masuk ke angkringan sebelum kami pulang. Cara sederhana memilih angkringan adalah dengan melihat mana angkringan yang ramai dipenuhi orang.


“Na, jadi kan besok kito ke Solo balek hari?” tanya saya sambil membuka bungkus nasi kedua.
“Payok! Mudah-mudahan biso dapet tiket kereta go show,” seru Nana.
Terlintas sekejap sebuah nama orang yang saya kenal. “Kita janjian samo Halim peh di Solo? Sekalian kopdar!” ujarku lagi. Peh semacam istilah bahasa Palembang yang berarti ajakan serius. Nana sumrigah tanda dia setuju.
Saya segera menghubungi Halim lewat Twitter. Dia termasuk salah satu traveller asal Solo yang mencintai budaya seperti kami berdua. Malam itu kami berpisah, saya kembali ke hotel.
Embun Pagi di Paku Mas

Kicau burung bersahutan terdengar di antara perpohonan. Suaranya menembus hingga dalam kamar. Sejak subuh saya sudah bangun. Apa yang dirindukan dari Jogja telah terjawab. Pagi yang datang lebih awal kini menyapa dengan sinar kehangatan sang surya. Ah, saya jatuh cinta pada kota ini.
Saya bergegas menuju ruang makan yang bersebelahan dengan kolam renang. Melewati naungan pohon akar seribu menjuntai ke bawah bermandikan embun pagi. Hati mana yang tak girang melihat pilihan menu sarapan di Hotel Paku Mas yang serba lokal.






“Selamat pagi, Mas! Gimana tidurnya nyenyak?” sapa suara seorang perempuan dari belakangku saat menyeruput lemon tea segar.
“Nyenyak sekali, Mbak. Saya cinta atmosfir Jawa di sini,” jawabku. Senyum hangat menghiasi obrolan singkat kami. Musik gamelan nan syahdu mengiringi kegiatan saya bersantap pagi. Berharap pagi berjalan pelan, namun saya sudah tak sabar bertemu dengan tetangga Jogja, Solo.
Yogyakarta, karena nuansa patriarki dari Keraton membuatnya terasa begitu maskulin. Sementara Solo, terkenal dengan ungkapan “Putri Solo” membuatnya terasa feminim.
Sepenggal Kisah di Solo

Stasiun Lempuyangan menjadi titik pertemuan kami berangkat menuju Stasiun Solo Balapan. Setelah membeli dua tiket kereta Prameks seharga 8 ribu, kami menunggu di dalam peron hingga kereta datang. “Ini pengalaman pertama saya ke Solo, sepertinya akan jadi seru,” ujar saya kepada Nana.
“Na, gek kito janjian samo Halim di Pasar Gede,” lanjutku lagi. Halim pun sedang dalam perjalanan menanti kami. Saya termasuk gemar mengunjungi pasar tradisonal. Bagi saya, sebuah pasar tradisional tak hanya tempat interaksi sosial antara pembeli dan penjual. Namun juga bermakna sebagai jejak sejarah perkembangan suatu daerah atau kota di mana pasar tersebut berada. Bangunan pasar tradisional merupakan peninggalan masa lampau dengan arsitektur yang khas.

Ada yang datang untuk mencari kebahagiaannya. Ada yang datang melepas kepergian. Begitulah kesan pertama saat melihat stasiun Solo Balapan. Trenyuh oleh pemandangan seorang anak dan orang tuanya berpelukan. Mereka melepas sang anak masuk ke dalam gerbong. Pemandangan yang membuat saya tertinggal dari gerak langkah kaki Nana yang cepat. Kami keluar stasiun menunggu jemputan transportasi online.
“Hei, itu Halim berbaju merah sedang menunggu kita!” seru Nana dari dalam mobil menunjuk ke satu arah. Saya langsung mengenali sosok pria berpostur sedang, dengan tas tergantung di bahunya. Kami menghampiri dia setelah turun dari mobil menuju depan pintu masuk utama Pasar Gede.
“Halo!” sapaku sembari mengulurkan tangan. Ini kali pertama saya dan Halim bertemu muka. Kami mengobrol ringan di antara keramaian pasar sebelum dia mengajak berkeliling sekitar area Pasar Gede Solo. Cara dia bercerita tentang Solo mengungkap betapa dalam Halim mengenal kotanya sendiri. Solo itu menarik dan berkarakter seperti saudaranya, Jogja.



Berjalan kaki di bawah terik mentari tak membuat kami mengeluh dalam walking tour singkat ini. Dari satu kampung masuk ke kampung lainnya. Menikmati kuliner Solo seperti Dawet Telasih dan Leker Gajahan. Dalam obrolan mengagumi sejarah kota Solo, Halim menangkap kode ajakan kami untuk blusukan ke kampung Laweyan. Akhirnya dikejar rasa penasaran, kami putuskan untuk mengunjungi Laweyan.
Lawang Laweyan Terbuka Menyambutku

Nama Laweyan baru pertama kali saya dengar. Suatu keberuntungan bisa berjodoh ke salah satu kawasan kampung yang kaya budaya dan sejarah. Di tembok putih tergantung tulisan “Kampung Batik Laweyan” seakan mengucapkan selamat datang bagi kami.
Menapak masuk ke dalam, terasa kuat atmosfer suasana perkampungan batik tempo dulu yang tenang. Semakin masuk ke dalam, kampung ini tampak istimewa bukan semata karena usianya, tapi juga menyimpan sejumlah kisah. Dinding-dinding tinggi menjulang ke atas, membuat Kampung Laweyan seperti sebuah labirin yang misterius. Seolah kita tak tahu ada kejutan apa dibaliknya menanti tuk dijumpai. Beberapa pintu rumah warga sengaja dibuka lebar.



Kami bertiga menyaksikan aktivitas warga sedang membatik. Menatap satu sama lain, ada keinginan tertahan untuk masuk. Namun, seruan suara dari dalam rumah justru mengundang kami masuk dan melihat apa yang sedang mereka kerjakan.
Keramahan dan kehangatan bisa saya rasakan sewaktu melihat sekeliling ruangan. Sejumlah rentangan kain batik berbagai motif dengan warna yang indah. Tiba-tiba si bapak menawarkan kami mencoba mewarnai batik. Tanpa pikir lagi, saya menyambut tawaran ini dan langsung mengambil posisi membatik.


“Coba kalian lihat pintu-pintu rumah di Laweyan ini! Apa yang berbeda?” seru Halim membuka obrolan.
Mata saya mulai mengamati sekeliling pintu. Ada pemandangan yang tampak berbeda untuk sebuah pintu. Dalam sebuah pintu besar terdapat pintu kecil dengan gagang pintu berada di bagian bawah.
“Itu bagaimana membuka pintu kalau gagang pintu di bawah?” tanyaku penasaran.
Itulah kekhasan dari Laweyan. Dulu, pintu kecil digunakan jika ada tamu maka mereka masuk lewat pintu kecil dengan cara menunduk. Pintu besar dibuka hanya untuk tuan rumah. Orang Laweyan dikenal santun maka saat tamu datang dengan cara menunduk itu semacam gestur “kulo nuwun”. Namun sekarang pintu-pintu kecil itu tak lagi digunakan jika ada tamu datang.
Sepanjang lorong-lorong kecil kami menjumpai kumpulan anak kecil sedang bermain atau duduk di depan rumah. Bermain sepeda sambil membonceng temannya. Pemandangan yang langka di kota besar.

Azhar telah berkumandang, Nana mengingatkan saya kalau kami harus segera kembali ke stasiun sebelum kehabisan tiket kereta. Berat hati saat harus meninggalkan Kampung Batik Laweyan. Halim menemani kami ke stasiun untuk kembali ke Jogja.
Dalam perjalanan pulang di kereta, saya lebih banyak berdiam. Mengingat kembali kesan mendalam petualangan singkat kami di Solo. Jogja dan Solo seperti sepasang pria dan wanita. Dua kota yang sekilas sama Jawani tapi punya kekhasan berbeda.
*Lawang: Pintu
[…] blogger Deddy Huang juga pernah nginep di Paku Mas. Boleh baca pengalaman dos-q tentang Paku Mas di artikel perjalanan Jogja-Solo ini […]
[…] pukul 2 siang. Bersama rombongan lebih dari 10 orang blogger bule, kami diajak untuk menikmati kota Yogyakarta dan […]
Jogja dan Solo selalu menarik untuk dikunjungin barengan. Apalagi karena kereta prameks itu mempercepat perjalanan. Seneng banget bayangin Koh Deddy ke Solo tanpa harus nginep.
Paku Mas menyenangkan ya, Koh? Kalo hotel mereka mempercepat jaringan wifinya, tentu jauh lebih sip lagi 🙂
Wah unik banget ya Jogja setiap sudut nya
Pantesan menang. Review lengkap, cerita detail, foto-foto ciamik daaaan bikin yang baca pengen buru buru buka traveloka beli tiket hotel ke Yogya! Two tumbs up, mas ded!
keren bangeeets
Duh jogja, selalu bikin kangen…
Kalau solo belum pernah…
Itu caption perutnya bikin galfok :p
[…] Akhirnya, saya memutuskan ingin kembali berkeliling Jogja kembali termasuk ke kota saudaranya, Solo. Perjalanan ini termasuk pencapaian “gila” saya dalam traveling, bagaimana bisa satu kota ini […]
duhhh…fotonya keren-keren
iya selama di sana bisa dapat foto-foto yang cakep mas arif.
Halo Mas, salam kenal ya. Saya setuju sekali dengan review tentang Paku Mas, Jogja dan Solo dalam setiap rangkaian kata di blog post ini. Kata-kata yang digunakan, gambar yang diambil, semua semakin menghidupkan daya tarik kedua kota yang bak saudara kembar dampit ini. Nice post 🙂
terima kasih mas Damar sudah berkenan membaca tulisan saya.
Terpesonaaaa lihat foto-fotonya. Rumah tuanya…..asik dilihat….eh tapi nggak serem, kan,dalemnya?
Gak kok, masih homy di dalamnya mbak Retno.
Dua kota itu ngangenin banget, Koh. Makanya banyak yang suka balik lagi ke Jogja dan Solo walaupun sudah bolak-balik ke dua kota itu. 🙂
Iya aku pun juga jadi pengen balik ke dua kota ini 😀
gilee bener tulisannya mantep banget deh Koh… good luck
heh?? gila kang?? waduh.. hehe. makasih ya kang udah nyempetin berkunjung ke blogku.
Akuh mau diajakin ke Solo dong kokooooh.
Kapan?
Aiihhh perjalanan yang menyenangkan banget. Aku baru tau banget, apa fungsi pintu kecil di antara pintu besar begitu. Ternyata buat kulo nuwun ya. Suka banget sama image embun di pohon akar seribu. Tapi kalo malam malam, horor ga sih, pohonnya?
Iya embun di pohon akar seribunya bagus 😀 kalau suasana malam yaaaa emangnya kamu mau keluar malam-malam? :p
kirain, jatuh cinta ama mbak nana *eh 😛
dulu sempet nyoba membaik pake canting juga. susah ya ternyata, meleber teruus haha harus cepet dan pas 🙂
haha iya karena kita belum terbiasa kan makanya pas diajakin membatik aku seneng aja.
Wah dengan traveloka lebih memudahkan para traveler zaman now ternyata
banget mas… enak banget pake traveloka.
Dua kota yang sering saya kunjungi, malioboro dan Pasar Gede teman saya jalan-jalan kalau di hari minggu.
Wong Jawa memang sopan dan bahasanya kadang hanya dengan anggukkan kepala sebagai tanda setuju atau memperbolehkan.
Wih mas sendiri domisil di mana sih?
Tulisanmu membuat saya iri, Koh 🙁
Saya selalu kepingin walking tour di Jogja dan Solo. Saya ini sudah bolak-balik ke Jogja, tapi tak pernah tour dengan jalan kaki. Karena saya tak punya teman untuk berjalan bareng. Kalau saya jalan sendirian, saya nggak enjoy. Keluarga saya tak suka jalan kaki. Saya sendiri sekarang punya anak balita yang harus ikut saya ke mana-mana, jadi memang tak mungkin jalan kaki.
Sebetulnya tour jalan kaki masih memungkinkan kalau saja ada guidenya. Guide yang sudah tahu membimbingnya sehingga tak mungkin nyasar. Kalau capek ya berhenti. Tapi jarang ada guide yang mau keliling kampung-kampung begini. Di Jogja, guide itu paling banter ya cuma keliling kraton atau Taman Sari. Saya kok merasa guide di sana kurang komprehensif.
Saya berharap banget tour customized gini segera ada di Traveloka. Supaya saya yang nggak punya temen jalan kaki ini bisa kelayapan di gang-gang Jogja.
Nanti bisa saya bantu jika pas saya ada waktu, pengen keliling kemana saja gratis 🙂
Jadi kangen JOgja. Kalo Solo malah belum pernah jalan2 menyusuri tempat2 keren begitu, paling hanya transit bentar. Kapan2 ah…Btw penginapannya semacam damai sejahtera gitu ya Koh…
Iya kalo kamu ke jogja, coba aja pesan pakai traveloka.
Koh Ded ke Solo juga tho???
iya mbak witri sekalian mampir.
udah lama nggak kejogja, tanah leluhur. duh liaht ini jadi kangen
Baliklah… Tanah leluhur? Emang km dari jogja?
Kecuali hotelnya, semua tempat di sini udah pernah disambangi semua hehehe. Weekend kemarin malah baru balik habis Borobudur Marathon hehehe 🙂
Sukses untuk kontes traveloka nya koh…
kali ini aku mau fokus ke videonya. hehe
keren Mas. Sudah mulai merambah ke vlogger nih ya. hehe.
Aku belum pernah ke dawet Pasar Gede nih. Ko Halim g pernah ngajaki aku ke sana.
Pengen juga ke tempat pembuatan batiknya!
Btw, kok Mas dan Omnduut postingannya samaan? ada trapelokanya. wkwk
lagi belajar mas buat konten video sama editnya. jadi dobel ya nulis dan foto, syut video dan edit 😀
iya ini kontes lomba Traveloka mas Hannif.
Mbak Nana kok nggak pake baju pink itu? Ditanyakan keabsahannya sebagai pinktraveler.
Iya, prawirotaman lebih banyak ditempati bule daripada wisatawan lokal. Suasananya lebih asik dari di deket Malioboro kayaknya.
Laweyan cakep banget itu dipake foto foto.
Pake dong pas ke Solo dia serba pink semua haha…
Kawasan Jogja dan Solo ini memang unik. Tergantung cara kita bisa memaknainya ya.
Seneng klo ada tamu luar jogja betah di di Jogja..
Maturnuwun
Semoga bisa balik lagi ke Jogja aja..
Aku juga baru balik dari Jogja dan ngga ke prawirotaman, udah kaya jalan di kuta yak itu wekekeke
Betul, ruas jalannya mirip seperti di Kuta, Bali mbak. Eh kan kamu juga lagi di Bali sekarang hehehe…
Fotonya adem-adem, jadi kepengen ke sana, Kang. Ajak dooong….
Pesenlah tiket segera dengan Traveloka kang :p
aseek, bisa belajar Membatik di Laweyan, keren itu . Nah ini jalan-jalan terus pakai Traveloka ya Bang?
Iya.. buat urusan tiket pesawat sama kamar gitu enak Traveloka. Lebih praktis, fitur juga banyak mas.
Ane kalau kejogja pasti pesan tiketnya menggunakan traveloka.. memang jos banget kakak..
iya memudahkan kita buat traveling pakai traveloka.
Iya gan.. traveloka memang jos..
Mau ke Jogja lagi aahhh pengin explore gunung kidul.jugak
gunung kidul masih banyak tempat wisata, kemarin aku main cave tubing.
Hotel di Yogya-nya keren dan terlihat nyaman bener koh, kalau ke yogya boleh dicobain nih. Pengen ke Solo, tapi sepertinya harus bersabar dulu nunggu tahun depan hehehe
Kenapa harus nunggu tahun depan mbak Ivone?
Sudut-sudut Solo emang menyenangkan untuk disusuri.
Caranya kita mengajak teman kita untuk eksplore bareng mbak Relinda.
Pernah ke Solo sudah lama sekali dan rasanya ingin merasakan kembali suasana Solo
Semoga segera balik ke Solo ya mbak.
Tahun ini dua kalike Jogja taoi tidak merasakan kekhasan Jogja karena wisata bareng tur, malah lebih merasakan nuansa Jogja dari tulisan ini
Semoga tulisan ini mengobati rasa kangen dan bisa balik lagi ke Jogja.
Pengen ke Solooooo…
BTW kalau mau nuansa Jawanya kentel coba deh nginep di kampung org Koh 😀
Pernah waktu itu ke Yogya saat mahasiswa pernah nginep di rumah om-nya teman di salah satu daerah di Yogya. Nuansa jowone kentel banget 😀
Yah kan kalo nginep di kampung orang ada caranya mbak, buatku yang traveling langsung mana bisa :)) lebih nyaman booking kamar aja di Traveloka jadi bisa traveling.
Jogja dan Solo memang seperti sepaket, ya. Sama-sama nJawa-ni, nilai-nilai budaya Jawa-nya masih sangat kental semua. Ah, jadi rindu Solo, kampung halaman tercinta 🙂
Gak mudik balik mbak?
Jogja dan SOlo memang memiliki pesona sendiri. Dan yang paling seru adalah , selalu ada tempat dan hal baru yang bisa kita lihat, atau mungkin belum dikunjungi. Selalu ada alasan kembali ke Jogja dan Solo
Kemarin kamu ke Jogja, sempat main ke mana aja mas Arief?
Kemaren tour de pantai Selatan. Nglambor, Jogan, Baron, Sepanjang dll. Terus ke Umbul Ponggok. Sambil nyobain homestay kekinian di Trava
Pintunya unik dan ada pengartian khusus untuk pintu di kawasan Laweyan. Beberapa kali ke Solo, belum pernah ke sini. Jadi penasaran dan pengen ke sana…
Next kalau ke Solo mampir aja mas ke laweyan ini.
Siap Om
Duuh, makin pengen ke Solo
semoga jadi bisa traveling ya mbak.
Solo dan Jogja, dua buah daerah yang tidak bisa terpisahkan.. apalagi pasargede, kotagede dan lawean itu 😀
btw sempet nyoba es kapal?
Kagakkkkk ga sempet icip es kapal ?
Dalam perjalanan pulang di kereta, saya lebih banyak berdiam. Mengingat kembali kesan mendalam petualangan singkat kami di Solo. Jogja dan Solo seperti sepasang pria dan wanita. Dua kota yang sekilas sama Jawani tapi punya kekhasan berbeda.
Ah, diakhiri dengan manis ?
Terima kasih sudah berbagi kisah, bung Deddy
Hai mbak… iya walau trip saya kemarin singkat banget tapi jadi bisa ngerasain suasana yang jawa banget. Untunglah ada teman-teman yang baik mau nemenin saya pas jalan kemarin.
Membaca tulisan Ko Huang jadi mengingatkan saya untuk ke Solo lagi. Kota yang ramah para penduduknya dan kental dengan suasana Jawa. Suka dengan tulisan ini 🙂
Makasih mbak Alida…
Filosofi gagang pintu dibawah itu menarik
Aku bolak balik ke Jogja tapi gak nemu rumah dengan gagang pintu dibawah itu, apa akunya yang kurang perhatian ya.
Errr… sepertinya sih kurang jauh jalannya aku ini hahaha
Caramu bertutur selalu menarik Koh
Foto2nya juga ciamik
Ini ada di Solo mbak, kampung laweyan. Nanti coba deh pas ke solo ke tempat ini.
Makasih buat pujiannya mbak Arni.
Jogja selalu Ngangenin…. aku belum pernah ke Laweyan lhooo…. jadi pingin juga nanti – aku selalu suka tandang ke Jogja dan juga solo…. kepikiran buat kabur bentar ke sana barang 3 atau 4 hari hahhahahahah tapi kudu Fix sama jadwal yaaa
Pergilah ke Laweyan, dijamin kamu pasti suka sama suasana di kampung itu bang. Kemarin aku lagi hoki, juragannya mau bukain pintu buat kita masuk keliling lihat koleksi batiknya.
Nggak sakit Mas jatuh cintanya? Maunya bangun cinta di tempat2 semenarik dan seindah itu, biar nanti dipanggil untuk kembali lagi ke Yogja. 😀
Hahaha… semoga nanti pas ke Aceh aku pun bisa menemukan atmosfir yang menarik di kota mu ya mbak Yell.
Membaca laman ini membuat saya belajar banyak, bagaimana membuat travel writing yang baik. Trims koh infonya.
Berbung belum pernah ajak anak ke Jogja & Solo, dua tempat ini jadi masuk daftar destinasi liburan deh.
Makasih mbak pujiannya..
Suka baca cerita perjalananmu, Koh! Porsi gambar dan ceritanya seimbang. Asyik~ 😀
Jogja emang bikin rindu, ya~
Tahun kemarin, saya juga ke Solo, tapi turunnya di Solojebres karena itu yang deket sama indekos temen. Nggak sempet main jauh ke mana-mana, selain Keraton Solo dan Pasar Triwindu. Nggak sempet menyusuri rumah-rumah khas Jawa-nya.
Loh, pintu yang kecil ternyata gunanya buat tamu toh? Baru tahu saya. Kirain buat hewan. Ya, ampun. :))
Makasih mas pujiannya.. semoga menikmati tulisan perjalananku ya.
Tulisan ini ngingetin jaman kuliah dulu koh, dulu sering ke jogja, tapi bukan buat berwisata, tapi suka aja sama suasananya. Sampai di jogja paling nginep semalam di buper babarsari, esok siang atau sore pulang semarang. Kurang kerjaan ya? tapi suasana jogja memang ngangenin 🙂
Gak juga mas, tiap orang kan punya alasan sendiri suka sama aktivitas tersebut. Orang kangen kok ditahan-tahan.
Kebayangsih susahnya saya untuk masuk ke dalam lawang kecil itu kalau masih digunakan. Saya ini gk kuat jongkok. Ahahahaha
Kapan-kapan mesri ke Laweyan juga nih, aku belum pernah.
Kalau badannya agak gede emang susah sih mas, kebayang emang kalau kamu masuk :))
Aku belom pernah ke Jogja bulan depan baru mau ke Jogja liat postingan Ko Deddy jadi gak sabar mau cepet-cepet ke Jogja hahaha. Hotelnya homey banget ya Ko berasa banget atmosfer Jawanya.
Hahaha… hotel ini aku gak sengaja nemu di Traveloka, pas lagi search hotel terdekat. Ternyat setelah cek-cek foto hotelnya emang sesuai dengan yang lagi aku pengen. Pengen ngerasain suasana hotel yang homy dan jawa banget. Ternyata pas.
Kurang lama muteri Kota Solo-nya hahaha. Waktu itu sepertinya Laweyan beneran menyambut kalian berdua. Pintu rumah juragan batik ada yang terbuka dan mempersilakan kita masuk. Lalu perjalanan dimudahkan nggak pakai acara hujan apalagi lemas jalan kaki hehehe. Kutunggu kedatangannya ke Solo lagi, koh Ded. 😉
Iya kan tripku emang singkat banget… mencuri waktu sedikit hehe.. makasih loh kamu mau luangin waktu buat kita jalan bareng Halim. Tenang trip kita gak pake manjah capek :p
Abis baca tulisan Koh Deddy jadi pengen ke Jogja dan Solo juga nih saya. Terakhir ke Jogja trus pulangnya mampir Solo empat tahun lalu. Dua kota yang eksotik dan magis menurut saya karena kebudayaannya masih begitu kental. Cus ah buka app traveloka buat cari tiket pesawat murah dan langsung booking hotelnya. Btw, makasi ya, Koh untuk beberapa destinasi yang saya belum pernah kunjungi ternyata diulas di sini. Itu jadi tujuan jalan-jalan saya berikutnya nih.
Lumayan lama juga ya kunjunganmu ke Jogja sama Solo. Aku sih emang pake Traveloka untuk urusan tiket sama hotel.
Terus kita kapan ya ngetrip bareng… Ketemu cuma say helo, mana bentaran doang… Ajak akuuu doong 🙂
haha.. kapan yaa pas ada tripnya mak.. :p
Namaku gak disebut di artikel ini ya, hmmmm ?
Maaf om yahya, kemarin kita gak sempat berjumpa jadi gimana ada namamu 🙁
Ah baru tau cerita tentang pintu itu. Memang Solo dan Jogja itu ngangeni, suasana Jawanya beda, meskipun sama-sama tinggal di Jawa. Disana lebih nJawani…
Iya, aku senang mas explore ke kampung lihat bangunan lama dan bersejarah. Soalnya di sana kita bisa tahu kearifan lokal setempat.
buat batik itu susahnya minta ampuuuun
tapi batik solo itu emang asyik koh lembut banget
Bahan batik yang dijual emang asli, harga jualnya sekitar 700 ribu.
udah ke Solo aja nih, Koh…
Benar memang, meskipun berbeda nama…namun Jogja – Solo seolah menjadi 2 kota saudara yang dipersatukan lewat tradisi dan budayanya yang (hampir) sama 🙂
Sudah dong, walau cuma sebentar ya hehe.. pengennya nanti bisa explore lagi dua kota ini.
duhh sudah lama tidak menjelajah di dua kota ini.. angkringan memang selalu yang paling saya cari karena memang favorit banget euy..
Wah, ternyata yang dialami sama kokoh jadi ngingetin alasanku balik dan tinggal di Jogja..
.
Solo dan Jogja sama-sama menarik, karena budaya jawa dan tradisi yang kental. Itu yang bikin cinta dan ngangenin.. ??
Dua kota bersahaja yang selalu ngangenin nih ya 🙂
Paling suka nongkrong agak lama di bandara atau stasiun, banyak peristiwa yg selalu ngingetin, di kehidupan selalu ada yang datang dan pergi hehehe seperti anak dan orangtua yg kamu lihat di stasiun solo 🙂
Jogja dan Solo ini emang selalu ngangenin. Terlebih Jogja. Kota dengan berjuta kenangan.. ??
nah itulah jogja ya, kenangan waktu kecil jalan2 bersama nenek, [aling suka lihat rumah2 kuno milik teman nenek
Waktu ke Solo saya juga betah main di gang2 nya, suasannya beda dan arsitekturnya keren… Setiap sudut pasti ada nuansa batiknya. Duh, jadi pengen balik ke Solo….
Btw, sukak bgt sama kalimat ini koh…. “Ada yang datang untuk mencari kebahagiaannya. Ada yang datang melepas kepergian”
Duh, udah hampir 2 tahun gak ke Jogja, baca artikel ini jadi pengen kesana lagi, apalagi hujan-hujan gini, paling enak kuliner lesehan sekitar Jogja.
Anyway, trip Jogja-Solo berapa hari nih koh? I guess it’s about 4 days on trip or so.
Hujan gitu enaknya makan pempek sih :p
Kemarin 4D3N, masih berasa kurang sih haha…
waw.. hotelnya sesuatu banget. malioboro dan menyempatkan makan di angkringan di jogja itu juga sesuatu banget..
iya, mencoba suasana yang beda aja.. hotelnya lumayan buat family juga oke.
macetnya yang nggak nahan sih di Malioboro, walau sudah dibangun tempat parkir susun sehingga sudah lumayan berkurang macetnya tapi tetap super padat. trotoar pejalan kaki juga padat merayap
Iya haha.. rame banget tumpah ruah.
Cantik hotel Paku Mas, bener-bener kerasa di Jogja. Menu sarapan pun menggoda.
Finally ke Malioboro :D, hotel Paku Mas ini bintang 2 tapi lumayan adem.
Ternyata Solo seseru itu ya. Keren banget.
Kalau ada waktu lebih, masih pengen balik lagi ke Jogja sama Solo.
Ternyata Solo seseru itu ya. Keren banget.
Perjalanan bernuansa budaya terbantu sama brand itu yaaa… traveloka dulu…. ?
Betul banget mbak Etha.. enak kemana-mana pakai Traveloka.
Jadi kangen jogja deh. Emang yah kota itu ngangenin banget….
Duh, ya Allah, kapan yah bisa balik jalan-jalan ke sana. Udah eneg ama jakarrta 😐
Pesen tiket segera pasti jadi bisa berangkat :p
Kalau Solo punya Laweyan, Jogja punya Kotagede. Keduanya punya nilai sejarah yg sama kuatnya n penuh dengan bangunan lawas juga. Saya juga suka walking tour di Laweyan, seru.
Betul, kemarin aku juga ke Kotagede, lebih kompleks lagi lorong-lorong di sana.
Unik amat pintu laweyan itu,, kok kaya di film tom and jerry yaa haha..
Traveloka juga andalanque pesan tiket pesawat dan hotel..
-Traveler Paruh Waktu
Iya, aku pun baru pertama kali lihat pintu kayak gini 🙂
Pas waktu masi tinggal di Surabaya, kalo liburan singkat aku selalu memilih pergi ke Solo atau Jogja bukan ke Malang. Entah mengapa dua kota ini selalu bikin kangen.
Wah akhirnya ke Solo juga ya koh, memilih walking tour di Solo emg ide baik, drpd naik becak ?, krn aku pernah nyoba naik becak dan dapet harga zonk bgt.
Iya kan malam pas kita kopdar itu aku sana Nana baru balik dair Solo 😀 dan kemaren kita mau coba naik becak tapi akhirnya batal juga.
Akhirnya kita bisa kopdar juga Koh. Jangan kapok main Jogja & Solo lagi.
Kopdar larut malam :)) entahlah hari itu perjalanan yang panjang buatku. Habis dari Solo langsung kopdar sama kalian :p
Dah dapat feel jawanya blm koh. 🙂
Udah mas Adi ??
Mas Deddy itu tehel rumahnya unik amirr yaa, barusan liat yang kayak gitu deh.. jadi pingin ke jogjes lagii 🙁
Nah.. bayangin kalau satu aja yang pecah. Mau cari di mana lagi tehel kayak gitu hehehe…
saya pernah tahu paku mas itu, tapi nggak pernah nginap. Kalau laweyan udah kayak langganan, setiap ke solo ya mampir ke kampung batik itu, keliling2 menikmati suasana.
Next cobalah nginap di sana mbak.. cek pake Traveloka aja harganya lebih hemat.
Aduh jadi kangen Jogja ?, makanan nya lengkap banget, jadi laper.
Suasananya yang masih enak.