Dua puluh tiga tahun lalu, seorang bocah usia 10 tahun sedang mengikuti perlombaan menggambar. Ditemani ibunya, si anak dibiarkan berkompetisi dengan puluhan anak lainnya di pelataran Monumen yang terletak di pusat kota Palembang. Sayangnya, si anak tidak menang. Hatinya saat itu sedih, namun si ibu tahu caranya membesarkan hati si anak bahwa kekalahan bukanlah akhir segalanya.
Si ibu lalu memanggil seorang bapak-bapak yang tak jauh berada di sekitar monumen. Dengan kamera yang dililitkan di lehernya, si bapak sudah siap memotret anak tersebut dengan meminjam piala milik pemenang pertama.
Lantas, diarahkannya si anak untuk berpose seolah dia adalah pemenang.
“Nanti fotonya diambil dua hari lagi ya di sini,” seru si bapak itu ke anak. Untuk mengambil hasil foto, kita harus datang kembali ke Monpera. Rasa percaya saja kalau mereka akan memberikan hasil foto kepada kita setelah membayar.
Bocah 10 tahun itu adalah saya yang pengen punya piala, pengen merasakan menjadi juara. Saya yang masih ingusan.
Tukang foto cetak keliling saat itu menjadi profesi yang diminati. “Kodak” menjadi kata yang lekat di ingatan karena tahun 90-an rol film sangat berharga.
***

Sore ini, saya harus berterima kasih kepada seorang bapak tua, usia 85 tahun. Sebut saja Apak. Apak mengingatkan saya pada memori masa kecil namun sekaligus mengajarkan saya untuk berbagi tak pernah rugi.
Jika bukan karena informasi dari seorang netizen di Twitter ditambah beberapa mention dari teman saya di Jakarta seperti Bulan dan mas Farchan, barangkali saya tidak tersentuh untuk datang ke Monpera, sebuah monumen untuk mengingat pertempuran melawan penjajah selama lima malam di Palembang.
Baca juga : Monpera, Potret Perjuangan Rakyat Sumatera Selatan Tempo Dulu


Jarak radius 100 meter dari pandangan saya tertuju ke satu orang bapak tua sedang mendekati orang-orang di pelataran Monpera Palembang. Langkah kaki dia agak sulit karena sudah tidak kuat. Satu per satu orang dia tawarkan jasa untuk memotret. Dia tidak menyerah untuk menawarkan jasa foto, entah itu orang lokal atau wisatawan yang sedang menikmati Wisata Palembang. Album foto usang menjadi alat untuk dia berjualan. Menunjukkan pose-pose andalan yang menarik.
Namun, orang-orang tersebut mengeluarkan bahasa tubuh bahwa mereka tidak memerlukan jasa si bapak untuk berfoto. Era digital sekarang, siapa yang masih butuh tukang foto keliling langsung jadi?


Si bapak akhirnya mendekati kami.
“Foto dek, bapak fotoin bagus di Monpera ini,” serunya dengan logat Palembang sambil menunjukkan album foto.
“Boleh pak, di sini bae,” jawab saya sambil menunjuk latar si monumen.
“Jangan, di merk itu bae, lebih bagus. Bapak udah lamo di sini jadi bapak tahu tempat-tempat yang bagus. Bapak itu dulu tukang syuting video. Sudah lamo bapak di sini,” jelasnya lagi bersemangat sambil tersenyum.
Kami sepakat lalu mengikuti si bapak dari belakang menuju plang papan tulisan “Monpera” berseberangan dengan Masjid Agung Palembang. Lalu, saya bertanya ke bapak kami harus pose seperti apa. Dengan komando si bapak, kami diminta duduk di lantai lalu dia mulai menyalakan kamera prosumer yang setia menemaninya. Kamera jenis Sony ini memang sudah usang, gelang karet melilit di antara pegangan kamera.

Kami berempat mulai memasang pose.
“Nah, bagus kan!” seru si bapak menunjukkan hasil jepretannya ke kami. Dia lalu menawarkan spot foto lain yaitu menghadap ke Masjid Agung, namun kami menolaknya. Sebaliknya saya penasaran dengan kemampuan si bapak untuk memotret kami dengan kamera ponsel. Saya berikan ponsel saya agar si bapak bisa memotret.
“Cekrek!”
Hasil foto dia bukan isapan jempol. Si bapak bisa memotret dengan komposisi yang bagus bahkan dia sabar menunggu apabila ada orang-orang berjalan di belakang kami sambil bersiul-siul untuk ke orang tersebut untuk bergeser.

Sebenarnya kami sudah puas, amat puas. Tiba-tiba dia meminta kami untuk menunggu sebentar karena dia akan mencetak foto ke studio foto yang jaraknya berseberangan dengan Masjid Agung. Artinya, si bapak harus menyebrang jalan yang padat kendaraan. Bagaimana kami tega dengan orang tua seperti itu menyebrang sendirian?
Kita tidak harus mengidolakan Captain America, Iron Man, atau Black Widow. Mungkin lebih perlu kita mengidolakan seseorang yang membantu bapak atau ibu tua menyeberang jalan.
Si bapak tetap berkeras ingin mencetak foto, dia meminta uang ke saya sebesar Rp 50.000 untuk mencetak empat lembar foto, masing-masing untuk kami.
Lima belas menit kemudian. Dia datang dengan hasil foto yang sudah dicetak. Saya diam sejenak sambil melihat tiga orang teman lain.

“Bapak cuma bisa kayak ini, foto sambil cerita soal monumen. Cari sekilo beras buat hidup,” lugasnya kembali.
Kami duduk bersama, mendengarkan kisah hidup dia yang sederhana tapi inspiratif untuk kita semua. Layaknya seorang kakek usia 85 tahun dengan delapan anak yang sudah punya cucu dan cicit. Kadang si Apak tertawa, deret giginya sudah tidak terlihat tapi sorot mata dia seolah berkata bahwa dia ingin tetap beraktivitas. Apak tidak ingin menjadi orang tidak berguna hanya meminta-minta. Kamera yang digunakan adalah pemberian cucunya yang sangat berkesan.
Jika kita merenung sejenak, kita pasti akan mendapat banyak tamparan.
Pada akhirnya, rahasia hidup kita adalah memberi. Kita bisa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari diri kita.
Tak peduli seberapa sibuk kali bahkan kondisi hidup kita yang terpuruk. Kita masih punya sesuatu untuk kita tawarkan ke orang lain. Masih banyak orang yang jauh lebih kurang beruntung atau tidak punya kesempatan bahwa sebenarnya semangat hidup mereka bisa membuat perubahan bagi orang lain.

Kalau punya kesempatan untuk berbagi, maka lakukan. Tidak perlu menahan kesempatan itu datang kedua kali. Inilah rahasia kehidupan yang dilimpahkan oleh Sang Pencipta. Kita bisa gunakan keuangan kita atau pengetahuan kita. Take delight in the joys of others and in making them happy.
Saat kita berbagi ke orang lain atau komunitas kita, energi positif itu membuat belajar bersyukur siapa diri kita. When we contribute to our community, we become part of something that is bigger than ourselves.
Saya bukan orang kaya, saya juga tidak terlahir sebagai orang kaya. Tapi saya berterima kasih karena rezeki dan kesehatan saya dicukupkan. Semoga kalian pun juga demikian.
Nice to read koh
Aduuhhhh..
Saya sampai tercekat bacanya. Begitu kerasnya hidup beliau tapi dia pun begitu sabar dan pantang menyerah. Sementara kita yang sudah sangat pede dengan kamera digital hanya demi mendapat gambar bagus buat IG, tapi Si Bapak dengan kamera tua berjuang untuk hidupnya.
Ya ampun ku sedih.
Semoga dengan tulisan ini, kita semua jadi terbuka hatinya setiap ketemu Apak-apak lainnya.
menginsirasi banget
Sangat inspiratif banget Mas,
Semoga Apak selalu sehat,, aamiin..
-Traveler Paruh Waktu
aamiin.
Terima kasih udah mengenalkan Apak (dan semangatnya) Ko 🙂
terima kasih kembali..
jd terharu sih bacanya, ternyata di jaman sekarang masih ada ya tukang foto pake tustel. Semoga apak selalu di lancarkan rejekinya setiap hari dan di beri kesehatan terus. Aminn
aamiin.
Nice writing, Mas 🙂
thank you Rifky..
Kok aku sedih bacanya, ples semalem baru aja bahas masalah tustel punyaku yang udah gak kepake, mikir apa bisa diturunin ke anakku atau engga, semoga setelah di tulis ini bisa lebih viral dan banyak yang foto pakai jasa Apak.
iya semoga. cuma si Apak ini baik-baik aja kok mbak.
serius, lgs mberebes mili aku bacanya mas.. Semoga apak selalu sehat, dimurahkan rezekinya selalu… seandainya bisa balik ke palembang, semoga aku juga bisa ketemu apak :).
semoga ntar balik ke Palembang lagi ya mbak Fanny. Bisa kopdar 🙂
Koooh…
Aku nangis nianan.
Keep sharing this kind of story to remind us about the core of life, ya Koh.
I thank you very much.
sama-sama, terima kasih ya.
Kadang di era teknologi dengan hp atau kamera canggih, kita hanya merasa seperti membutuhkan bantuan orang untuk memfotokan saja. Orang-orang seperti Apak banyak ditemui di tempat wisata malah mengingatkan bahwa foto cetak juga bisa jadi memori indah ketika mengunjungi tempat tertentu.
Aku jadi ingat waktu ke Istana Pagaruyung juga ada tukang foto seperti Apak ini, dia bantu fotoin dan ngarahin ke spot yang oke. Nunggu bentar di lokasi cetak yang ada di kios tempat wisata itu.
di Pulau Kemaro juga masih ada rekan si Apak ini.
Bener di Pulau Kemaro juga ada
Bener pas ke pulau kemaro liat juga
Selalu suka dengan cerita2 kayak gini. Makasih sudah berbagi cerita, Koh 🙂
Sama-sama, terima kasih kembali.
Kami juga pernah difotoin sm pak apak wktu lg males kuliah kami jalan jalan ke monpera ?
Baca tulisan koh ded, tersentuh. Terharu, btapa semngatnya bpak tua itu nikmatin masa tuanya ?
wekekeke bolos yeee…
Baca ini kok jadi ingat yang kalian sebar di lini masa media sosial ya. Salut untuk orang-orang yang semangat seberi beliau.
Iya, berawal dari situ mas Sitam.
Saluutt … di saat banyak orang masih muda dan sehat lebih pilih jadi pengemis…
Jadi pengen main ke monpera
Mampirlah Ara… banyak kucing.
Aku pengen nangis baca ini. Terharu. Nanti kapan-kapan mau ke sana juga
Mampirlah ke Monpera, Grant.
Aih jadi pengen ketemu apak jugo ah
Mainlah ke Monpera, mbak Don.
Itu fotonyo 3R koh? bagus sih hasilnyo, tp kecik nian kalo 3R
iyo jadi 3R. Mayanlah. Karena abis itu kan foto-foto pake kamera hape dewek.
pertama kali liat di story yayan kemaren, eh Kokoh lah kesini bae…
fotonyo bagus, dak tau aku masih idup dak smp umur 85 tahun
sehat selalu yo Pak 🙁
Aku selipan dengan Yayan waktu datang haha..
Oh gitu…..
Terima kasih energi positifnya, sedih rasanya kalau inget masih sering mengeluh dan komplain terhadap banyak hal sedangkan apak yang begitu antusias dan semangat dalam menjalani hidup. Terus berbagi kebaikan, insya Allah kebaikan lainnya pun akan selalu mengikuti. Mewek tengah malem, makasih mas deddy :”)
sama-sama.. terima kasih kembali Lucky.
Kisah yang sangat luar biasa, Kak. Sangat menginspirasi.
Terima kasih sudah berbagi.
Sama-sama 🙂