Kedua lengan tangannya hampir penuh dengan tato bermakna. Ini bukan perjumpaan saya yang pertama dengan sosok barista dari bendera Common Grounds, Mikael Jasin. Peraih juara utama Indonesia Barista Championship (IBC) 2 tahun berturut-turut ini nampak friendly dengan senyum yang mengambang. Di sela makan siang menikmati menu-menu baru Common Grounds, saya melontarkan pertanyaan mengenai tren kopi saat ini.

Kini tren kopi bukan hanya menjadi minuman atau salah satu pelengkap gaya hidup. Beberapa penikmat kopi juga ingin menikmati satu cangkir kopi berkualitas yang mana tidak bisa didapatkan oleh sembarang tangan. Butuh proses pencarian yang lama.
Obrolan Tren Kopi Kekinian
Sore itu di Common Grounds Social Marketplace Palembang, saya terseret buat ikut mendengarkan sesi intim bersama Miki, panggilan akrab barista ganteng kalau kata teman-teman saya. Di waktu yang singkat lebih banyak diisi dengan tanya jawab.

Obrolan pertama dibuka dengan tren kopi kekinian saat ini. Kopi yang lazimnya dinikmati mungkin dengan atau tanpa gula menjadi pencampuran bahan-bahan lain. Misalnya es kopi susu kecap bango atau es kopi susu tolak angin. Pencampuran bahan ini ke dalam kopi boleh dibilang sebagai co branding ingredients seperti yang pernah saya ulas beberapa waktu lalu.
Namun, apakah akan sustainable dalam kelangsungan bisnis kopi saat ini di Indonesia?
Miki pun memberikan jawaban di luar dari dugaan awal saya. Dia menolak untuk mencoba meminum kopi jenis ini. Selain rasa yang agak diragukan juga seperti kurang mengena. Namun, dia ragu untuk es kopi susu gula aren yang hampir di setiap kedai kopi yang saya kunjungi di Palembang ada, bahkan 6 kedai kopi di Demang juga serupa.
Proyeksi Bisnis Tren Kopi
Kopi kekinian saat ini bubble yang diprediksi tahun ke depan akan berguguran sendiri. Bentuk kedai kopi yang latah pun juga termasuk di dalamnya. Memang benar, mempertahankan suatu brand akan sulit daripada membangun. Kedai kopi yang sejak awal sudah mendapat posisi di hati penikmatnya akhirnya menjadi tempat untuk kembali pulang.


Katakan, hari ini kita datang ke kedai kopi A, besok ke B dan C. Lusa akan kembali lagi ke A. Faktor ini juga dipengaruhi oleh sejumlah hal. Bisa dari suasana tempat kedai kopi, memiliki kedekatan dengan barista, harga dan rasa kopi.
Banyak faktor yang mana tidak semua orang akan sama. Saya pun ketika ke kedai kopi yang dilihat adalah suasana yang pas dan harga. Beberapa kedai kopi ada yang tidak saya kunjungi kembali karena pelayanan dan suasana tidak nyaman. Sehingga jika kedai kopi tidak memperbaiki dari sisi internal dan pelayanan, lambat dan pasti akan juga gugur.
Sekilas Es Kopi Susu Gula Aren
Miki bercerita singkat bagaimana terbentuknya es kopi susu gula aren. Awal mula kopi menjadi agen perubahan. Kita tahu mengenalkan kopi mungkin akan sulit pada saat awal, apalagi mengedukasi ke petani agar bisa petik merah untuk menunjang perekonomian. Bagi penikmat kopi agar dapat tahu bahwa kopi yang tepat dari pengaturan yang pas antara suhu air, perbandingan kopi dan air, lama seduh dan tingkat kehalusan.

Kopi memang pahit. Tidak semua orang bisa minum rasa pahit kopi, selain pahitnya kenangan. Berhubung orang Indonesia juga menyukai rasa manis, maka mulailah mencampurkan gula aren pada minuman. Selain itu juga mengukur harga yang tanggung yaitu Rp18.000. Sekalipun harga es kopi susu gula aren di angka 18 ribu, tenang para pelaku bisnis tetap bisa cuan banyak.
Es kopi gula aren dirasakan muncul ketika momentum yang tepat di pasaran. Sekaligus juga bisa mengedukasi orang mengenai kopi. Walau ada orang ngopi demi insta story.
Kompetisi untuk Tahu Batas Diri
Miki lalu bercerita mengenai ajang kompetisi barista yang ia ikuti. Dalam ajang kelas nasional dan internasional tentunya memiliki tingkatan yang berbeda. Dalam bendera Common Grounds, stakeholder melihat kalau kompetisi barista menjadi peluang dan cikal bakal terbentuknya barista yang berkompetitif. Barista akan terbagi menjadi dua, yaitu barista yang bekerja karena uang dan barista yang bekerja karena passion.

Melihat peluang yang positif, Common Grounds sendiri akhirnya menyediakan dana untuk setiap barista Common Grounds yang memiliki potensi untuk dikirim dalam ajang kompetisi barista. Fair enough dalam pengembangan sumber daya manusia sebagai aset. Akhirnya, pola ini membuat Common Grounds sendiri mendapatkan predikat sebagai “House of Championship”.
Sebagai penutup sore, akhirnya saya kebagian untuk mencicipi espresso dari biji kopi Flores yang dia bawa. Pahit dan strong. Itu yang saya rasakan, cuma kapanlagi saya bisa dapat seduhan kopi dari barista ganteng pemegang juara barista championship kalau bukan di Common Grounds.
***
Follow @deddyhuang for latest update.
Disclosure: This is just my personal experience. Thanks as always for your support!
Betul sih, sekarang muncul banyak banget kedai kopi. Tapi setiap kedai harus punya ciri khas dan cara menarik pelanggan. Menurutku, adanya komunitas yang dekat dengan owner juga berpengaruh ke kedai kopi atau tempat makan apapun. Jadi ada kesan selalu ramai gitu.
Btw, koh, itu ada tulisan yang dibold kayak 6 kedai kopi demang, gak ada hyperlinknya?
iya komunitas jadi salah satu yang ramein kedai kopi.
ah itu emang aku gak kasih hyperlink, cuma kasih bold aja.
tapi akan ada masanya lagi nih, akan redup es susu kopi gini hehe. saya mah lebih suka yang ori, kopi pahit tanpa gula 😀
Barangkali benar, Mas. Bakal susah bertahan kalau cuma ikut tren. Dan di Indonesia sudah banyak banget tren yang datang dan pergi. Pas pamor minuman tertentu lagi naik, berjamuranlah kios-kios kecil atau booth di pinggir jalan, lalu 3 bulan kemudian hilang.