Malam natal saat itu saya tidur lebih awal, selesai pelayanan dan mengikuti misa di gereja saya langsung pulang ke rumah. Natal identik dengan suka cita dan damai, saya ingin besok bangun paling pagi menikmati kicauan burung dari depan jendela kamar. Topi santa sudah saya letakkan di samping tempat tidur. Ya, saya berharap Tuan Santa hadir malam itu untuk memberikan saya kado natal.
Janji menikmati udara pagi dari balik jendela kamar sudah ditepati. Kicauan burung telah menanti dari atas kabel listrik. Seperti biasa rutinitas pagi sebelum beberapa hari lagi semester kedua sekolah akan dimulai lagi. Untunglah masa ujian sekolah saat itu sudah selesai, saya bisa menikmati liburan semester panjang. Saya meraih remote televisi dan membuka siaran berita.
“Gelombang raksasa tsunami menghancurkan Aceh. Sebelumnya telah terjadi gempa hebat di dasar laut dekat Pulau Simeuleu.” Telinga saya menangkap pesan suara yang tak biasa di televisi. Saya membesarkan volume kembali melanjutkan tayangan berita yang dikabarkan hampir di seluruh stasiun televisi.
“Pukul 7.59 waktu setempat, gempa berkekuatan 9,1 sampai 9,3 skala richter mengguncang dasar laut di barat daya Sumatra, sekitar 20 sampai 25 kilometer lepas pantai. Hanya dalam beberapa jam saja, gelombang tsunami dari gempa itu mencapai menimbulkan getaran kuat,” seru pembawa berita. Semua stasiun televisi menyiarkan tayangan berita yang sama. Aceh sedang menangis. Bukan, ini bukan Aceh tapi Ibu sedang berduka!
Tiket, Jembatan Mimpi Bertemu Ibu
Indonesia tak sebesar peta di buku pelajaran sekolah. Indonesia bukan hanya ruang kamar hangat di rumah kita. Masih banyak ruang kamar yang ada di nusantara ini milik Ibu. Kalian tinggal memilih dari 34 ruang kamar yang tersebar di Indonesia untuk didatangi dan diresapi.
13 tahun lalu, saat saya masih mengenakan seragam putih abu-abu. Belum mengenal kata “tsunami”. Namun setelah Aceh dicatat sejarah pernah mengalami bencana alam parah maka dari situ saya mengenal kata “tsunami”. Ini sebuah peristiwa dengan dimensi tanpa surat pemberitahuan, bahkan kalau dilihat dari jumlah korban dan aspek geologisnya rasanya tidak masuk diakal.
Lantas, bagaimana tidak saya punya mimpi untuk mengunjungi Aceh? Menggantungkan mimpi yang telah lama saya idamkan untuk menjelajahi nusantara di ujung utara pulau Sumatera. Entah bagaimana caranya mimpi tersebut didengar oleh suara-suara orang yang ingin membawaku bisa melihat Aceh. Ini yang saya namakan semesta mendukung. Tidak mudah menjangkau Aceh dari Palembang, sebab biaya tiket pesawat cukup tinggi.
Terbang Nyaman Menuju Aceh
Saya baru saja tiba di Terminal 3 Soekarno Hatta dari Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II. Suasana bandara Jakarta ini tak pernah sepi oleh para traveler. Atap langit bernuansa modern kontemporer, terminal bandara adalah penghubung mimpi orang untuk menjelajahi nusantara. Masih harus menunggu beberapa jam lagi sebelum pesawat terbang ke Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda. Saya tidak berangkat sendirian, ada Rifky yang menemani saya untuk perjalanan kali ini. Kami baru kenal dan sama-sama punya keinginan menjelajahi Aceh.
Terdengar suara panggilan masuk untuk penumpang ke dalam pesawat. Saya segera menunjukkan tiket pesawat Garuda Indonesia ke petugas dan bergegas menuju kursi pesawat di dekat jendela. Dari balik jendela, saya dapat melihat pergerakan awan. Pemandangan yang hanya bisa saya nikmati saat sedang terbang dengan pesawat. Langit waktu siang ataupun malam tetaplah sama. Selalu mengagumkan sejauh mata memandang.
Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda baru saja diguyur hujan, sambil menunggu bagasi saya mengamati sekeliling bandara ini. Sebagai provinsi paling barat di Indonesia, karakter orang Aceh memang rupawan bak campuran India dan Arab. Bagi saya yang tidak memiliki bulu mata panjang, tentu cemburu melihat mereka yang memiliki bulu mata panjang dan lentik. Indonesia memang luar biasa, bukan saja kaya akan budaya dan tradisi namun juga kaya akan orang lokal nan ramah.
Lezatnya Mie Aceh
Bagai rindu sudah tak terbendung, begitu pun ada seteguk asa cinta penantian saya untuk berkeliling kota Banda Aceh walau hanya beberapa jam saja sebelum kami bergerak ke Sabang. Kami tiba di kota Banda Aceh sudah sore, rasanya kurang ajar kalau tidak mencari warung mie Aceh untuk disinggahi. Memang tidak sulit menemukan mie dengan bumbu rempah khas Tanah Rencong ini.
Kota Banda Aceh telah menarik perhatian saya sejak pertama kalinya. Tanpa meninggalkan syariat agama, kota ini tetap junjung keramahan warga lokal. Lebih dari satu jam, saya dan Rifky menunggu di warung mie Aceh. Kedatangan kami tepat waktu saat adzan berkumandang. Ruas jalanan sepi tidak terlihat aktivitas warga, termasuk orang-orang yang bekerja di warung makan.
Rifky telah kembali duduk setelah melakukan sholat, kami pun melanjutkan kembali cerita mengenai apa yang dirasakan tentang Aceh. Dua porsi mie Aceh sudah tersaji di meja untuk segera disantap. Kepulan uap dan aroma wangi masuk dalam hidung saya. Olahan bumbu mie Aceh ini banyak menggunakan bahan rempah, selanjutnya mie ditumis seperti biasa. Satu suapan mendarat di dalam mulut saya, begitu suapan pertama sampai di lidah ada rasa gurih dan nikmat yang memang tak diragukan enaknya.
Sambil menikmati sepiring mie Aceh untuk makan malam kami, saya berkata kepada Rifky kalau besok pagi kami bisa mengunjungi Masjid Baiturahman dan Museum Tsunami Aceh. Dua tempat ini menjadi saksi bisu sejarah tsunami Aceh.
Saksi Bisu Sejarah Aceh, Masjid Raya Baiturrahman
Tiba-tiba saja tayangan berita tahun 2004 silam muncul, saya ikut membayangkan bagaimana paniknya warga Aceh berlarian menyelamatkan diri dari gulungan gelombang air. Mereka melarikan diri ke tempat yang tinggi untuk selamat bersama keluarganya. Bagaimana isak tangis mereka saat harus merelakan berpisah dengan anggota keluarga yang ikut terbawa arus air.
Jujur saya merinding saat harus mengingat kembali, saya putuskan berdiri diam memandang bangunan megah bercat putih lengkap dengan kubah hitam di jantung kota Banda Aceh. Tak dapat saya sembunyikan rasa haru saat kaki saya berhasil menginjakkan kaki di Masjid Raya Baiturrahman Aceh.
Rumah ibadah kebanggaan masyarakat Tanah Rencong ini menyimpan segudang cerita. Di sisi utara dan selatan, terdapat payung besar bergaya Masjid Nabawi di Madinah Arab Saudi. Halaman yang luas dengan kolam pancuran air serta lantai beralaskan marmer yang terawat. Sungguh tak ada kalimat lain yang dapat saya ungkapkan selain menikmati keberadaan saya pagi hari itu.
Kala tsunami menerjang seluruh bangunan Aceh, hanya bangunan Masjid Baiturrahman tidak mengalami kerusakan. Berita mengabarkan kalau sebagian warga selamat memilih berdiam diri di dalam masjid sekaligus menjadi tempat evakuasi jenazah korban tsunami yang bergelimpangan.
Saya menginjakkan kaki masuk ke dalam masjid, terpesona terhadap tiap detil arsitekturnya. Suasana dalam masjid sedang ramai sebab di waktu bersama sedang dilakukan akad nikah bagi warga setempat. Di bawah kubah masjid nan megah, saya ikut menyaksikan proses ijab kabul berjalan syahdu. Sang calon istri tampak sulit membendung air mata kemudian menyekatnya menggunakan tangan. Di sisi lain, seorang bapak tua dengan telaten duduk di samping tiang penyangga membersihkan sisi tembaga pada tiang agar berkilau kembali.
Menikmati keindahan arsitektur Masjid Raya Baiturrahman dapat dilakukan oleh siapa saja yang sedang berkunjung ke kota Banda Aceh. Masjid Baiturrahman bisa dibilang saksi bisu perjalanan sejarah Aceh. Dalam hati berkata, siapa yang berani menghancurkan rumah Allah? Tempat umat-Nya berlindung.
Merinding Berada di Museum Tsunami Aceh
Matahari makin terik, saya mengajak Rifky untuk bergerak ke arah Museum Tsunami Aceh, melengkapi jelajah nusantara kami. Duka Ibu juga menjadi duka dunia, bagaimana Ibu kuat melihat ratusan orang terluka hingga lebih dari ribuan orang dinyatakan hilang tanpa jejak. Banyak negara-negara lain bersimpati dan memberikan bantuan untuk Aceh.
Jarak museum tidaklah jauh dari masjid raya, sekitar 500 meter kami berjalan kaki dari belakang masjid ke arah selatan. Museum Tsunami Aceh dibangun untuk mengenang kembali peristiwa yang pernah melanda bumi Aceh.
Selesai membayar tiket masuk museum, dekat pelataran masuk sudah terpajang kerangka helikopter hancur, salah satu benda tersisa dari arus tsunami. Saya menjadi penasaran untuk masuk ke dalam museum. Menurut informasi, museum tsunami menyimpan semua foto dan video dokumentasi bencana tsunami. Bangunan museum terdiri dari empat lantai. Di lantai dasar, berfungsi untuk ruang terbuka dan digunakan untuk ruang publik.
Kami masuk ke sebuah lorong nuasa remang tanpa cahaya dengan suhu udara yang cukup dingin. Kiri dan kanan lorong dikelilingi oleh air mengalir ibarat gemuruh tsunami. Didukung dengan suara azan yang sekejap saya seperti ikut larut dalam suasana. Ini baru ruang pertama yang saya lewati yaitu ruang renungan.
Keluar dari ujung lorong air, kita akan melihat ruangan sangat luas berdinding cermin. Di tengahnya penuh dengan “nisan” yang menayangkan foto-foto peristiwa yang saya yakin akan membuat siapa saja melihat akan sulit melupakan trauma pada masa itu. Tidak hanya korban manusia, tapi rumah, gedung, masjid bahkan jalanan kota pun rusak dan hancur. Emosi saya mulai timbul melihat tiap gambar yang ada di gundukan “nisan” tersebut.
Ada sebuah ruangan agak gelap berbentuk silinder memanjang ke atas seperti sumur. Sepintas tidak ada apa-apa dalam ruangan gelap ini, namun cobalah memandang sekeliling dinding ruangan terdapat tulisan nama-nama korban tsunami. Di atap ruangan, terdapat kaligrafi arab berlambang “Allah” dengan sinar remang-remang. Benar saja ruangan ini menjadi klimaks bagi saya. Dalam keadaan kita berada di titik paling bawah rasa takut dan sedih, tidak ada lagi yang akan kita ingat namanya selain Dia. Saya hanya dapat melepaskan doa semoga keluarga yang ditinggalkan kuat dan ikhlas.
Tanpa diketahui orang lain, saya menyekat air mata yang turun tanpa saya hendakin. Kami berjalan keluar mengikuti arah cahaya. Di sana saya melihat banyak bendera negara total berjumlah 52 dari berbagai negara yang memiliki peran pernah memberikan bantuan untuk Aceh. Perasaan saya sudah bisa dikontrol, tidak seperti saat berada di ruang renungan dan sumur doa.
Museum Tsunami Aceh meletakkan barang-barang sisa tsunami pada lantai dua. Semua barang ditemukan dalam kondisi yang tidak utuh dan rusak, sebagian masih ada sisa lumpur seperti al-quran, sandal bahkan motor. Kondisi barang-barang ini seperti mengajak kita untuk berimajinasi liar. Bahwa harta yang selama ini kita kumpul dan jaga saat tergulung musibah tak lagi ada harganya.
Pada lantai yang sama terdapat ruang audio. Kami menyempatkan untuk melihat pemutaran film dokumenter tsunami bersama pengunjung lain. Lolongan teriak minta tolong, isak tangis anak kecil, raut wajah cemas, dan beragam ekspresi dapat kita lihat selama durasi 15 menit. Tak selamanya yang kita lihat adalah duka, ada hikmah dan hal indah yang ada pada tayangan singkat tersebut. Ketika seluruh umat dunia ikut tergerak dan bertindak membantu Aceh. Saat itu pula saya ingat bahwa sejatinya manusia ialah makhluk sosial, naluri untuk menolong timbul dengan sendirinya.
Antara Kopi Sanger, Hujan dan Mimpi
Sesak di dada saya mulai mereda. Mungkin benar, tangisan bisa membuat kita lebih lega. Saya tak mampu membayangkan bagaimana saat itu Ibu menangis melihat rumahnya bersih hanya sekali sapuan gelombang air. Perjalanan saya ke Aceh memberikan pengalaman yang mengejutkan dalam menjelajahi nusantara.
“Ibu, aku senang akhirnya bisa mengunjungimu di Aceh. 13 tahun memang bukan waktu yang sebentar untuk engkau lupakan. Tapi aku yakin sekarang Ibu sudah bisa tersenyum melihat Aceh sudah lebih baik,” batinku berkata.
Teringat obrolan saya dengan Bang Yudi, sahabat blogger saya dari Aceh. Kami janji berjumpa di kedai kopi yang tak jauh dari Tugu Simpang Lima sehabis menikmati mie Aceh. Bagi warga setempat, kedai kopi adalah tempat menyenangkan untuk menghabiskan malam dengan secangkir kopi Sanger.
Ini kali pertama saya mencicipi kopi khas yang memiliki filosofi menarik bagi orang Aceh. Obrolan kami mengalir begitu saja, Bang Yudi bertanya pada saya tentang kesan saya terhadap Aceh.
“Bang, saya kira Aceh itu kota yang menyeramkan untuk dikunjungi. Ternyata pemikiran saya salah,” seru saya sambil menyeruput kopi.
Dia tertawa lepas, “Dari mana pula koh bisa simpulkan seperti itu?”
Sepanjang perjalanan melihat kota Banda Aceh, kota ini nyaman dengan warga lokal yang ramah. Walau kita berada di kota yang memegang kuat syariat Islam, tampaknya tak ada yang perlu dikhawatirkan selama kita memegang prinsip di mana bumi dipijak disitu langit dijunjung. Tsunami yang terjadi di Aceh tahun 2004 memang peristiwa yang memilukan. Berapa ribu orang kehilangan keluarga, termasuk kisah Bang Yudi.
“Koh, siapa bilang saya tidak sedih? Keluarga saya ada juga termasuk korban tsunami. Waktu itu saya juga ikut mencari keberadaan mereka. Masih mau bilang tsunami Aceh karena dosa orang Aceh?” satirnya sambil menarik nafas sejenak.
“Kami baru kenal istilah kata tsunami setelah peristiwa itu. Dan oleh karena tsunami justru orang-orang Aceh jadi lebih kompak. Ada hikmah bukan?” lanjutnya kembali. Saya menikmati obrolan singkat malam itu. Rintik hujan tak kunjung reda, entah mengapa kopi Sanger yang saya minum terasa pekat menempel di bibir.
“Lalu, next ada rencana trip mau ke mana bang?” tanya saya.
“Saya ke mana saja mau lah koh! Asal pakai Garuda!” serunya. Saya mendelik dan tertawa spontan. “Lho benar, koh! Dari dulu salah satu cita-cita yang belum tercapai itu bisa naik pesawat Garuda, lalu pamer tiket pesawat Garuda Indonesia. Tahu sendiri kan harga tiket pesawat dari Aceh harganya selangit,” lanjutnya kembali.
Kami tertawa dan saya yakin dia bakal lebih kesal kalau saya bilang sesuatu padanya. “Makanya Bang Yudi, pakai Skyscanner! Aku ke Aceh ini naik Garuda juga lho!” Tawa kami renyah menyisakan gelang kopi kosong. Menertawakan mimpi-mimpi kami agar dapat terwujud. Perjalanan kali ini menjamahku pada nusantara tercinta, bertemu dengan orang-orang dan peristiwa besar.
Aceh merupakan destinasi wisata yang sangat rekom untuk liburan, ada Sabang, Pulau Banyak, Banda Aceh yang wajib di kunjungi
[…] ke Aceh, maka tidak boleh melewatkan menyebrang ke ujung utara Provinsi Aceh yaitu Pulau Weh atau lebih […]
Aceh, memang selalu menarik ya koh 🙂
Makasih sudah berbagi cerita dan informasi.
Saya terakhir ke sana juga sempat bertemu dengan Bang Yudi. Orang yang ramah dan saya baru tau kalau Bang Yud itu kemana-mana maunya naik Garuda 😀
Btw ngopi di Kuta Alam ya Koh?
Kaya kenal sanger dan gelas kopinya 🙂
ending yang sweet banget hahahaha. Yudi, oh Yudi…. *salah fokus banget gue ya. Btw tulisannya bagus, Ded…
Beruntungnya…akhirnya bisa mewujudkan mimpi bertandang ke Aceh. Sayapun sangat mengidamkan bisa menjejak disana
aamiin. semoga bisa tercapai ya mbak.
Ikut merinding lihat koleksi museum tsunami.
Masih kebayang rekaman video amatir di televisi saat kejadian itu.
Ikut kusupport semoga menang ikut lomba penulisannya,ko.
Aamiin.. Makasih ya mas..
Good luck Koh Deddy, feeling eike Koh Deddy menang dech. Baguuuus banget foto-fotonya ?. Jadi kangen Banda Aceh hiiks.
Makasih ya mbak Dira, semoga saja rejeki tak lari ke mana hehe..
Aku pun masih penasaran dengan Aceh untuk dikelilingi.
Hah, baru tahu ketemuan sama Yudi, dia curhat blm bisa dan bercita2 mau naik Garuda ya?
Yud…yud!
Museum Tsunami nya ini kaya magnet bikin hati ketarik. Mau juga ah menyambangi Aceh. Kemarin saat ada acara RTIK saya ga bisa ikut. Semoga kapan2 masih ada acara dan kesempatan. Amin.
Salam
Okti Li
Lho teh okti kapan jumpa sama bang Yudi?
Pengin ke Aceh, tapi belum kesampaian. Semoga ada rejeki nanti.
Ada impian ada jalan.. aku pun gak nyangka bisa ke Aceh.
keceh, bisa menang lagi nih
Terima kasih mbak Rina.. aaamiin kalau rejeki gak akan lari kemana hehe..
Tahun kemarin aku pernah dapat project di Aceh. Tinggal di banda aceh selama seminggu. Suka sekali nongkrong di warkop yang tidak pernah sepi. Dan Aceh memang aman dan wajib buat dikunjungi 😀
Mie Aceh Kuahnya menggoda koh. pengen nyruput kuahnya yang warnanya eksotik itu… Oh my god! Lapeeeer….
Cobain mie kepitingnya juga enak mas :p
salah satu kota di Sumatra yang pengen banget saya kunjungi, sementara baru sempat kulineran masakan Aceh dulu yang ada di Jogja
Iya, padahal masih banyak kuliner lain di Aceh kayak Ayam Tangkap.
Koh Ded mah sudah menjelajah ke mana-mana… hehe
Aceh, jujur sih sampai saat ini aku masih ngeri sama Aceh, Koh. Padahal pas tsunami aku masih kelas 3 SMP…
Aku waktu itu masih SMA XD
SMA kelas berapa, Koh?
Paman angkatku di Jambi orang Aceh asli. Dia banyak cerita tentang Aceh, waktu itu aku masih SMA. Cuma dari sekian cerita, yang paling kuingat adalah kebencian orang asli Aceh pada suku Jawa terkait Soeharto dan kebijakan DOM. Pamanku itu menikah dengan wanita Jawa dan musti keluar Aceh. Agak ngeri-ngeri sedap juga bayanginnya, soalnya walau lahir dan gede di Sumatera aku tetap wajah Jawa banget hahahaha.
Tapi kurasa sekarang nggak gitu lagilah ya. Aku paling penasaran nyicipin kopi itu, sama ngelihat bangkai kapal di tengah kota yang katanya dulu keseret ombak pas tsunami. Cuma Aceh jaraknya lumayan nih kalau dari Pemalang/Semarang sini, apalagi kalau naiknya Garuda. Hihihi. Semoga ada rejekinya nanti bisa bertandang ke Aceh. Amin.
Anyway. good luck ya, Koh.
Enak dong punya wajah Jawa, soalnya tersebar di banyak pulau kalo orang Jawa. Kalau aku mukanya susah disembunyiin 😀
Aamiin. Good luck juga ya mas Eko untuk tulisanmu.
Ya banyak yang berubah prespektifnya tentang Aceh setelah tiba di sini. 😀
Apalagi sudah kena me sama kopinya
Sayang kemarin kita ga sempat jumpa ya mas Ibnu.
Ikut terjatuh, sedih dan merasakan apa yang orang orang Aceh rasakan. Koh Dedy berhasil mengaduknya. Semoga menang ya koh
Aamiin. Semoga tulisan ini rejeki dan berjodoh hehe.. makasih banyak ya mbak doa baiknya.
Sampai sekarang masing terngiang-ngiang sama Kopi Sanger saya Koh. Beda banget rasanya sama yang di Bandung
Iya lebih enak minum langsung di Aceh.
Pejabat itu lebih narsis daripada pelancong. *melirik baliho Welcome To Aceh di Bandara hwhwhw. Zaman dinosaurus dah ngeiklan gaya gitu. Opps.
Hahaha… mereka tuan rumah yan.
Satu hal yang paling aku nyesel seumur hidup itu gak sempat ke Aceh waktu kakakku tugas di sana dua tahun pasca tsunami, padahal udah ditawarin.. Cuma mama aja yang berangkat ke Aceh jenguk kakak.. Hiks.. Sekarang aku pingin banget bisa ke Aceh, termasuk ke Museum Tsunami.. Pasti aku merinding kalo masuk sana.. Eh, jadi 2004 masih putih abu-abu Koh? Tuaan aku doong kalo gituuu.. wkwkwk 😀
hahaha.. iya dong aku kan masih muda :p
sekarang kakak mu udah gak di Aceh mbak?
Iya.kalo inget peristiwa tsunami luar biasa rasanya ya. Dulu air mata ga berhenti nonton tv… haru sedih dan memetik hikmah yg banyak. Jadi pingin ke aceh…kata orang pantai aceh itu bagusss buat bulan madu kedua krn tenang dan sekarang banyak bakaunya
Iya pantai di Sabang cukup bagus mbak.
Larut dan mata mendadak berkaca-kaca saat baca tulisan ini. Aku ingat persis saat kejadian tsunami ini. Menonton Najwa Shihab yang saat itu jadi reporter Metro, ia menangis senggukan saat memberitakan tsunami langsung dari lokasi kejadian. Di belakang dia mayat masih bergelimpangan.
Kita yang nggak alami aja masih membekas ya memori itu mbak.
aku suka banget foto masjid raya Aceh ini koh. Jadi ini masjid beneran jadi bangunan yang tidak hancur disapu gelombang tsunami?
Iya, masjid ini masih utuh pas tsunami dan jadi tempat perlindungan warga.
Jadiiiiii, kamu sebenarnya orang Aceh atau Palembang Koh Ded?!! 😀
Heh? Aku orang Palembang dong ha ha.. emang kamu kira aku orang mana.
Kukira kamu orang Aceh yang migrasi ke Palembang 😀
Aceh ini juga jadi salah satu wishlist di Indonesia yang belum terlaksana.
Sebagai orang yang tinggal di Bandung, cukup bangga hasil karya Ridwan Kamil berdiri di Bumi Rencong dalam rupa Museum Tsunami 🙂
Desain karya Ridwan Kamil emang bagus.. semoga saja dia bisa bangun Bandung lebih baik dengan karya-karya spektakulernya ya.
Kalau ingat tsunami saat itu memang sangat menyayat hati ya, Aceh yang mempunyai sebutan Serambi Mekkah itu hancur.
Sekarang Aceh udah bangkit, mbak.
waah aceehh.. keren yaa koh
iya, aku masih harus explore Aceh lagi mas
Tsunami korbannya tak cuma masyarakat Aceh. Orang Minang yang tinggal di sana juga banyak tak bertemu lagi. Salah satu diantaranya kerabatku. Bencana ini emang luar biasa bikin patah hati
Ikut berduka ya mbak Evi. Semoga nggak ada bencana serupa terjadi di Indonesia.
Molly suka mie aceh sih. Pedes2 nikmat 🙂
kalau di Aceh kadang dak pedes, jadi harus request sama yang masak buat dibikin pedes.
Hu…hu…belum pernah ke Aceh. satu-satunya propinsi di pulau Sumatera yang belum dikunjungi. Moga ada rezeki bisa sampai ke Aceh
Dadaku sesak melihat sumur doa itu. Membayangkan ribuan nama yang tertulis disana, seperti apa keadaan mereka saat tersapu tsunami. Sungguh, menjadi pengingat diri, bahwa kita tak ada apa-apanya. Ah… jadi pengen ke Aceh
Berada di sumur doa bikin momentum saat berkunjung ke sini kita ikut merasakan suasana tsunami. Aku pun juga pingin balik ke Aceh.
wkkkkkkk jadi gitu ya! main kasih ngiri sambil pamerin tiket ya?????
dari atas aku udah curiga, ini kenapa pake lambang garuda?? ternyata!
haha… semoga kita bisa naik Garuda lagi ya bang 😀
Membaca Aceh dari pandangan luar terkadang lebih menyenangkan. Melihat cara mereka menghargai sejarah. Sedang kami seperti ingin melupakan.
Karena Sejarah itu masa lalu, sekarang dan masa depan. Kalo gak dihargai dan dijaga kelak akan jadi mitos.
Setuju (y)
ingin sekali rasanya melihat masjid Baiturahman secara langsung dan solat di dalamnya, btw itu mie acehnya mantab kayaknya hehehe
semoga nanti bisa langsung ke Aceh ya mas Joe.
Yang paling merinding itu pas ngelewati lorong gelap yang di museum itu om.. ngeriiii
aku pun juga ngerasain yang sama bang 😀
Baca tulisan ini saya berasa dibawa ke aceh sama koh deddy… huhu semoga kapan hari punya kesempatan kesana juga.
Aku juga pengen balik lagi ke Aceh.. masih banyak yang belum didatengi.
Aceh, salah satu daerah yang terkenang banget di hati. Selalu pengen berkunjung ulang ke sana. Belajar tentang keikhlasan dan ketegaran lalu berusaha bangkit kembali.
Selain itu, jelas makananannya bikin kangen juga yaampun, kalau ke warung nasi deket Pasar Sabang sama tempat ayam tangkap, itu beneran kalap nambah terus. ?
Kayaknya udah banyak kota yang udah kamu kunjungi ya 😀
Just hope i will getting a chance to visit Aceh..
Aamiin.
Tsunami menyisakan luka, bukan hanya bagi Aceh namun bagi seluruh Indonesia. Aku tuh masih inget pagi hari liat berita ini terus nangis sesunggukan di depan tv. Harapannya sekarang, semoga Aceh dan masyarakatnya terus kuat dan terus berkembang ya 🙂
Sama denganku, aku pun waktu itu sedih mendengar berita itu. Tapi pas aku datang ke Aceh, kota ini menarik untuk ditelusuri. Aku masih belum puas jalan-jalan di Aceh.
Ahh jadi kangen kan pengen main ke Aceh lagi koh..
Kopi sanger dan mie kepitingnya gak ada yg seenak di Banda Aceh euy..
iya sama halnya kayak pempek, lebih enak makan di kota aslinya.
Wah gagal fokus sama Mie Acehnya, pasti pedas dan menggugah selera 🙂
haa.. haa kamu buka pas jam makan malam ya mas.