Bergeser dari kawasan Kampung Firma Hj. Akil yaitu dari arah 4 ulu menuju ke arah 2 ulu. Masih bersama om Robby dengan kaos merah dan potongan rambut barunya, kokoh seperti menemani om gaul dan kalau berada di dekat dia ibarat di Taman Tawa. Penuh canda dan tawa.
“Kita mau kemana lagi om?” tanya saya begitu masuk ke dalam mobil, duduk manis di samping om Robby.
“Mau diajak … kasih tahu gak yaa… mau tahu banget, apa mau tahu aja!”
“OM!!!” percakapan fiksi yang dibuat untuk mendramakan situasi padahal tidak terjadi seperti itu.
Mobil merah pun menepikan badan di samping pagar rumah. Om Robby tidak banyak memberikan saya clue mau kemana, hanya bilang ke rumah tantenya untuk lihat rumah-rumah tradisional lain. Berhubung saya masih dalam misi “penculikkan” saya ikutin saja masuk ke dalam lorong perkampungan 2 ulu.
Perkampungan yang terletak di jalan Faqih Usman atau lebih dikenal Lorong Tangga Raja ini kawasan perkampungan yang tenang dan berada persis di pinggir sungai. Kita tinggal jalan lurus mengikuti jalan maka sudah ketemu dengan anak sungai. Dari sana, kami bersantai sejenak sambil main tebak-tebakkan manja.
Terlihat beberapa penduduk sedang asik mandi di pinggir sungai. Kita dapat lihat aktifitas warga mandi di pinggir sungai, hal ini sudah jadi bagian keseharian warga. Kadang kalau dipikir apa tidak kotor air tersebut digunakan untuk gosok gigi? Selain juga untuk buang air besar? Mungkin rasanya plong karena tinggal nganyut dan timbul entah kemana.
Melihat ada yang lagi mandi, iseng mengajak dia ngobrol singkat bertanya berapa kedalaman pinggir sungai itu.
“Dalemnyo pendek kak, paling 1,5 meter. Ado papan lagi di bawah sungai,” balas si pria ini sambil mengeringkan badannya.
Asik bercerita, langit menandakan dia akan menurunkan rejeki yaitu hujan. Om Robby pun mengajak saya untuk berteduh di sebuah warung kecil. Dasar Om Robby memang suka bikin suasana jadi Taman Tawa, dia pun mengajak bapak pemilik warung bercerita. Saya duduk sambil menikmati beng-beng.
Ternyata cerita mereka berdua membuka petualangan tentang sejarah dunia yang dirahasiakan.
Presiden Pertama RI Soekarno Pernah Singgah ke 2 Ulu Palembang
Barangkali kisah ini tak banyak yang tahu atau diangkat di media tentang rumah yang pernah dijadikan tempat persembunyian Soekarno dari tentara Belanda dari Bengkulu. Tampilan rumah tua ini tidak begitu nampak mewah justru, saya dan om Robby pun berkelakar tentang arsitektur rumah di lorong Tangga Raja.
“Loh om, itu rumah hebat yo! Tiangnyo miring masih biso tegak,” tunjuk saya ke arah rumah bagian kiri.
“Nah iyo ye.. eh tapi yang sebelah kiri ini rumahnyo jugo miring!”
Pondasi rumah Limas tua ini memang sudah tidak begitu lurus lagi tertancap di kedalaman tanah 4 meter untuk kayu unglennya. Rumah tua yang diajak oleh Mangcek, panggilan akrab untuk pria Palembang, jaraknya tidak jauh dengan rumah tinggal mangcek tepatnya bersebelahan.
“Nah, masuklah dek,” ajak mangcek membuka pintu rumah tua tersebut dan kami pun melangkah kaki masuk ke dalam. Cukup tinggi jarak batas lantai dengan pintu masuk, sekitar 30-40 cm. Suasana dalam rumah ini tidak mewah dan sedikit perabotan. Hanya ada kursi tamu dan sisanya kita lesehan di lantai. Pencahayaan rumah yang kurang membuat suhu udara juga agak lembab dan pengap.
“Kiro-kiro berapo ukuran rumah ini, mang?” tanya om Robby antusias dan saya pun mencoba mengambil foto setiap sudut.
“Tempo dulu, pernah ado yang ngitung ukuran rumah ini. Pas nian dio itung, adolah 10 m kali 20 m. Malahan ado yang pernah ukur pake lebar badan wong duduk,” mangcek ini mulai bercerita tentang sejarah bangunan. Memang seharusnya rumah seperti ini dapat perawatan, tapi biaya untuk perawatan rumah Limas angkanya juga lumayan. Selain itu bahan baku misal menggantikan kayu unglen juga mahal. Kalau pun mau menggantikan sisi pondasi yang miring, setidaknya perlu kayu unglen lebih dari 4 meter.
Terdapat beberapa bingkai foto Soekarno dan Megawati Soekarno Putri yang pernah bertandang ke rumah tua ini berkat almarhum Hj. Muhammad Azharie. Tokoh saudagar Palembang inilah yang menjadi saksi hidup membantu “menyembunyikan” Soekarno dari Bengkulu ke Jakarta. Menurut cerita, HM. Azharie memiliki usaha di Kepahiang, Bengkulu. Keunggulan menjadi saudagar biasanya punya relasi dengan para pejabat dalam dunia bisnis. Benar kan? Hingga diceritakan bagaimana HM Azharie berhasil membuat Soekarno dapat “lolos” ke Jakarta lewat Palembang dengan kapal.
Dulunya, di rumah ini ada ranjang besi yang pernah menjadi tempat istirahat Bung Karno yang tersimpan di kamar tamu. Tapi sewaktu kami menanyakan, mereka tidak tahu kemana tempat tidur besi itu diberikan, karena mereka sendiri juga turun-menurun tinggal di rumah tua tersebut. Sekarang rumah ini dihuni oleh keturunan Uding Usman yaitu Ismail Uding bersama istrinya.
“Emang mamang berapo sodara sih?” tanya saya dan tidak beberapa lama kakaknya yang memang tinggal di rumah tersebut datang.
“Dikit dek, cuma 9.”
Heeeee “Ah mamang biso nian ngunjungin, bilang depan dikit eh pas belakang angkonyo besak.” Pecah suara tawa kami di tengah ruangan.
Tepatnya tahun 1942 setelah meninggalkan pengasingan di Bengkulu, Bung Karno memang mengalami pengalaman hidup yang boleh dikatakan tidak mengenakan dari perlakukan kolonial. Sayangnya sewaktu saya berkunjung ke Bengkulu, saya tidak menyempatkan untuk mampir ke rumah pengasingan Bung Karno yang terdapat di jalan Soekarno.
Dalam sebuah foto yang saya temukan dari internet, saya melihat foto ibu Megawati Soekarno Putri juga berkunjung ke rumah tua tersebut bersama Sekjen PDI-P Pramono Anung. Di foto tersebut tidak ada yang berubah dari yang saya lihat saat itu. Ukiran khas Palembang dan pajangan dinding buah anggur masih melekat di rumah tersebut.
“Nah, karena cerito itulah makonyo namo jalan ini dikasih jalan Tanggo Rajo,” lanjut mangcek menunju arah sisi kanan mengambil sesuatu.
Tanggo Rajo atau Tangga Raja memiliki arti bahwa rumah tua ini berbentuk seperti tangga atau tingkatan atau kijing. Sedangkan Rajo (Raja) adalah Soekarno di anggap sebagai sosok penting yang layak dikagumi dan dihormati.
Statifikasi Sosial Warga Asli Palembang dari Tingkatan/Kijing Rumah Limas.
“Rob, ini nah ado daci peninggalan lamo,” kami pun lihat daci atau timbangan barang yang terbuat dari kayu dan dilapisin tembaga. Cukup berat. Dari daci tersebut terdapat ukuran berat dan angka yang menggunakan huruf Cina.
Saya jadi tertarik untuk menanyakan tentang tingkatan atau kijing di rumah tradisional ini. Berbeda dengan ciri rumah tradisional di Kampung Firma, karena tidak nampak ada tingkatan atau kijing. Dari mangcek tersebut saya dapat pemahaman tentang kekijing. Seperti yang kita ketahui kalau rumah Limas merupakan rumah tradisional Sumatera Selatan dengan tiang-tiang dipancang ke dalam tanah. Uniknya rumah Limas bisa kita cabut pasang atau dipindahkan. Tapi jangan salah biaya pindah rumah Limas juga tidaklah murah.
Kijing di tiap lantai rumah ini diibaratkan khusus tamu-tamu undangan si empunya rumah. Dari tingkatan bawah sampai pucak. Orang-orang yang dipersilahkan mengisi kijing atas adalah yang memiliki kekerabatan dekat dan dihormati. Selain itu ada yang menandakan sebagai stratafikasi sosial dari garis kedudukan asli Palembang. Dalam kebudayaannya, Kesultanan Palembang memiliki tiga jenis garis kedudukan atau gelar kebangsawan yaitu Kiagus, Kemas dan atau Masagus, terakhir Raden yang menduduki posisi tertinggi.
Menilik pergeseran zaman, saya melihat sudah jarang yang menggunakan gelar pada awalan namanya. Itu dikarenakan pada saat ini, gelar tidak terlalu berpengaruh pada kehidupan sehari-hari. Selain itu ada juga yang tidak menambahkan nama gelar karena alasan kepraktisan. Tapi terserah pribadi masing-masing menurut saya.
Kawasan Kampung yang Cocok Mendukung Program Dinas Budaya dan Pariwisata Sumatera Selatan
Memang tidak begitu luas untuk ditapaki di jalan tangga raja ini tapi lokasi kampung ini boleh dikatakan strategis karena berada di pinggir sungai. Artinya apabila ada wisatawan yang mau berkunjung ke kampung ini juga bisa menggunakan jalur sungai karena sudah ada dermaganya. Dan wacana daerah ini juga akan dekat dengan rencana pembangunan Jembatan Musi 6.
Selain itu, kampung ini masih memiliki penduduk asli Palembang, tepatnya warga penduduk dulunya datangan dan mendiami kawasan tersebut. Kalau dari cerita mangcek bahwa penduduk asli masih menetap di wilayah pinggiran sungai baik ulu maupun ilir. Kalau pun mereka “pergi” biasanya dikarenakan pendidikan atau mencari rejeki. Akibatnya rumah besar paling hanya dihuni 1 atau 3 orang.
Berandai saya punya nama gelar Raden, atau Masagus, atau Kiagus Deddy, ah lupakan kokoh kan memang nggak punya garis keturunan bangsawan Palembang. Saya hanya lahir dan besar di Palembang, terakhir tidak sombong dan rajin berbagi. Semoga tulisan ini berguna dan tidak ada salah kaprah, toh ini bukan zaman kerajaan lagi. Tetap hargai lingkungan sekitar dan melestarikan budaya Palembang.
“Jadi awak nih dari ruguk mano?” tanya mangcek sama om Robby. Ruguk dalam istilah Palembang memiliki arti semacam lingkungan yang isinya keluarga si penginjak kaki pertama, kemudian beranak cucu, membangun rumah di sekitaran daerah tersebut dan hidup berkumpul bersama.
“Aku ruguk Perigi, mang!”
“Masih bedulur lah kito nih.” Telisik sejarah kami sore itu ditutup dengan canda tawa dan saya masih terpukau dengan sejarah kota Palembang dan kehidupan sosial saat itu. Bukankah wong kito galo itu berdulur semua?
selama saya tinggal di palembang baru tau ada rumah tempat persembunyian bung karno, tapi the best untuk kk udah cinta dan menghargai situs2 bersejarah seperti ini, sehat selalu kak saya tunggu tempat bersejarah di kota Palembang lainnya dan pilih tempat bersejarah lainnya yg belum banyak orang tau jadi tau??
[…] Telisik Kampung Tangga Raja, Rumah Persembunyian Soekarno Tempo Dulu di 2 Ulu Palembang […]
[…] tulisan saya beberapa waktu lalu mengenai Bung Karno. Kalian juga bisa membaca tulisan saya tentang rumah persembunyian Bung Karno saat kabur dari Bengkulu ke Palembang di Kampung 2 Ulu […]
Mantab…
Jd kangen rmh ini..tmptku nonton bidar sewaktu kecik dulu
Aku suka sekali cerita ini. Kalau ke Palembang, ajak aku ke tempat ini ya Koh 🙂
Semoga yaa Satya.. Bisa jumpa lagi kita. Hehe.. Amin.
Saya suka nih kalau traveling model begini. Anti mainstream, xixixi. Ih, saya pengen lho nyobain nginjak kaki di rumah asli orang Palembang yang buka pintu langsung air sungai. Ada ngga sih model begitu? Oya, saat saya lihat rumah limas yang ada di museum Balaputradewa, katanya itu juga dipindahkan ya? aslinya bukan berada disitu. Jadi kepikiran, mindahinnya gimana? apa kayak bongkar pasang begitu? dibongkar trus disusun lagi?
Next kalo ke sini, jangan lupa mampir ya ke lokasi ini. Coba deh mba cek blog post saya yang 10 lokasi instagramable di Palembang.
Iya rumah Limas itu dipindahkan dari tempat aslinya. Itulah uniknya rumah limas. Karena bisa dibongkar pasang tapi jangan tanya biayanya berapa ya.. Hehe.. Mahal. Karena rumah itu gak pake paku, hanya susunan seperti puzzle.
artikel yang sarat akan informasi dan inspiratif. mudah-mudahan artikel ini bermanfaat untuk orang banyak.
terima kasih informasinya gan.
salam kenal ya gan.
by deni sugilar
Terima kasih mas ?