Waktu itu saya masih duduk di bangku kelas 4 SD, sekitar tahun 1999. Boleh dikatakan saya masih muda belia belum terkontaminasi dengan Awkarin atau Lambe Turah saat itu masih bocah ingusan saya pun senang sekali saat datangnya Sincia. Otak anak umur 8 tahun saat itu adalah Angpao untuk besoknya bisa jajan di sekolah atau masukkan dalam celengan plastik. Itulah yang saya nikmat sewaktu masih ingusan dan celana pendek warna merah.
Ternyata, bukan saja saat itu kita diwajibkan untuk menghafal nama-nama menteri yang silih berganti tiap tahunnya karena pertanyaan tersebut selalu muncul saat Ujian Sekolah. Pemimpin rezim Orde Baru yang mengeluarkan peraturan bahwa “Melarang segala hal yang berbau Tionghoa”, termasuk Sincia yang sudah menjadi tradisi tiap tahun. Bayangkan hancurnya perasaan anak kecil yang senang dengan datangnya Sincia tapi begitu orang tuanya bilang kita tidak merayakan sincia tahun ini lagi, kalau pun merayakan harus sembunyi-sembunyi. Tidak boleh ada kemeriahan. Tidak ada coklat ayam, kue pancong, atau membeli mainan. Lalu, si anak kecil yang polos tersebut menatap penuh makna di depan mamanya.
“Kenapa, Ma? Apa karena kita Cina?” tanya anak kecil itu yang perlahan-lahan dia mulai bertanya.
Kalau dulu dia menerima saja setiap situasi. Jika kalian sebagai orangtua keturunan etnis Tionghoa, apa yang akan kalian jelaskan terhadap anak kalian saat ini?
Ingatan saya masih kuat dan jelas hingga sekarang, di saat kami mau menyambut datangnya Sincia dan menantikan Angpao. Saya dan teman-teman sekolah pun seperti bermain petak umpet. Di sekolah, bersama teman-teman kelas kami sudah membuat rencana akan datang ke rumah siapa saja mulai dari Acong, Abo, Apek, Asak, Aheng dan A lainnya yang memiliki nama panggilan Tionghoa di rumah mereka. Kami memang tidak menggenakan baju merah supaya tidak mencolok. Kami mengakali dengan seragam sekolah kami yang sudah ada warna merahnya, celana sekolah SD , kecuali ada teman yang memang sengaja membawa baju ganti untuk diganti saat ke rumah teman. Saat itu kami sepakat untuk mencari Angpao! Walaupun kami seperti main petak umpet, tapi masa itu bahagia sekali bagi seorang anak usia 8 tahun untuk dapat menyambut Sincia.
Orang Tionghoa tentu berterima kasih dengan jasa Bapak Abdurrahman Wahid atau yang lebih dikenal sebagai Gusdur yang memberi oase ditengah gurun untuk dapat merayakan Sincia. Ada kegembiraan, ada kembali warna merah dan angpao.
Sincia merupakan hari perayaan Tahun Baru Penanggalan Kalender Tionghoa. Sama seperti penanggalan kita di Indonesia, bagi orang Tionghoa juga memiliki penanggalan sendiri yang mungkin belum orang ketahui karena sedikit informasi yang tersedia. Beruntunglah sekarang internet sudah sangat membantu kita untuk mencari tahu.
Nama “Sincia” memiliki makna Sin berarti baru. Lalu Cia berarti bulan pertama dalam bahasa Hokkian. Kemudian terjadi pergeseran penyebutan kata Sincia menjadi Imlek yang memiliki arti hampir sama dengan Sincia yaitu Im berarti bulan pertama dan Lek berarti kalender, tetap dalam bahasa Hokkien. Sehingga sekarang kita lebih mengenal sebagai Hari Perayaan Tahun Baru Imlek bagi orang Tionghoa.
Angpao menjadi tradisi saat Imlek karena pemberian angpao atau amplop merah sebagai lambang rejeki yang diberikan kepada kita. Angpao hanya boleh diberikan bagi orang yang sudah menikah ke orang yang belum menikah atau anak kecil, sebab ada pantangan bagi yang belum menikah apabila menerima angpao didoakan untuk cepat menyusul dan enteng jodoh. Sedangkan bagi anak kecil agar anak kecil tersebut selalu bahagia dan tumbuh menjadi anak baik.
Saat ini perayaan Tahun Baru Imlek memiliki ruang untuk merayakannya namun tetap dalam pengawasan agar kondisi tertib dan aman. Bahkan saya melihat ada campur tangan aparat polisi untuk mengamankan jalannya perayaan Tahun Baru Imlek di tempat-tempat ibadah umat Tionghoa di Indonesia. Imlek sendiri bukanlah perayaan agama, secara literatur Imlek merupakan perayaan musim semi di Tiongkok sehingga apabila kalian ada garis keturunan Tionghoa pun masih boleh ikut untuk merayakan Imlek di rumah.
Dalam keluarga besar saya yang dinamis, tidak sepenuhnya yang menganut kepercayaan Buddha dan Konghucu. Islam pun juga ada. Seperti akulturasi budaya Tionghoa dan Palembang yang sudah melekat dalam kehidupan masyarakat Palembang sehari-hari. Biasanya kerabat yang tidak merayakan Imlek akan datang membantu untuk memasak makan malam besar keluarga. Saat itu masih ada keluarga yang dituakan, namun setelah beberapa meninggal akhirnya tradisi ini mulai menghilang dan digantikan dengan saling berkunjung satu sama lain.
Di Tiongkok, Imlek merupakan perayaan menyambut musim semi yang menandakan hasil panen para petani berlimpah sehingga untuk mensyukuri berkat yang didapat mereka malamnya merayakan dengan makan besar bersama. Menu-menu hidangan makanan enak dan lezat pun dikeluarkan untuk disantap bersama.
Tiap keluarga Tionghoa pastinya memiliki menu-menu hidangan andalan. Keluarga saya memang tidak memiliki menu hidangan khusus sebab tiap tahunnya selalu memesan dari jauh hari di restoran untuk menyantap bersama. Menu hidangan utama yang sudah pasti ada ikan, mie, aneka sayuran hijau. Ikan menjadi simbol rejeki sehingga ada satu mitos yang mengatakan bahwa saat makan ikan diusahakan untuk tidak membalikkan badan ikan karena sama saja membuang rejeki yang sudah didapat. Sedangkan mie melambangkan umur panjang karena tekstur mie yang panjang dan tidak putus.
Ada hal yang unik dalam tradisi Imlek di rumah saya yaitu kami selalu menikmati “Cang Cai” atau sayur panjang umur karena bentuk sayurnya yang panjang dan tektur lembut gampang untuk dicerna. Paling gampang mencari sayur ini di Pasar Buah Temenggung karena di sanalah banyak jual ornamen Imlek termasuk kebutuhan lainnya.
Pasar Buah Temenggung yang berada di kawasan 17 ilir atau lebih dikenal sebagai Pasar Buah menjadi pasar paling sibuk di saat menjelang Imlek. Saya pun menyempatkan untuk menemani mama sewaktu ke pasar berbelanja kebutuhan Imlek. Pasar yang berada di pusat kota ini menjadi paling diminati oleh warga Tionghoa sebab gampang sekali ditemukan barang-barang kebutuhan mulai dari kebutuhan sembahyang sampai ornamen Imlek. Sebab, mayoritas pedagang di pasar ini adalah orang-orang Tionghoa.
Atmosfer selama di Pasar Buah Temenggung ini sangat ramai, bahkan tidak sedikit kita akan menjumpai para ibu-ibu yang mengajak kuli panggul untuk membawa barang belanjaan mereka. Sesekali boleh lah kalau kalian mau bermain ke pasar Buah Temenggung. Biasanya mama saya sudah memesan mulai dari kue kering dan basah, pempek bahkan membeli kue keranjang atau dodol Imlek menjadi makanan yang paling dicari saat Imlek. Kue keranjang memiliki makna agar tiap orang yang makan selalu menerima keberuntungan tiap tahunnya karena tekstur kue yang lengket dan manis.
Sehari sebelum Imlek memang biasanya orang Tionghoa mempersiapkan mulai dari membersihkan rumah juga sembahyang leluhur yang sudah meninggal. Banyak persiapan yang diperlukan untuk melakukan ritual sembahyang leluhur. Tradisi cara ibadah sembahyang leluhur mirip seperti tata cara ibadah di klenteng, hanya bedanya kalau di klenteng mengarah ke Dewa sedangkan sembahyang ke leluhur untuk menghormati dan mengenang saat mereka masih hidup.
Klenteng-klenteng yang ada di Palembang juga ramai dikunjungi oleh orang Tionghoa untuk memanjatkan doa dan membakar dupa. Sebagai tempat ibadah bagi orang Tionghoa, klenteng memiliki berbagai ciri khas mulai dari jenis bangunan sampai dewa yang diyakini. Namun, ada dua klenteng yang pasti dikunjungi oleh orang Tionghoa untuk bersembahyang yaitu Klenteng Dewi Kwam Im 10 Ulu dan Klenteng Kwan Tie Kong Talang Semut.
Sedangkan Imlek juga memiliki pantangan-pantangan seperti menyapu rumah tidak boleh dilakukan hal ini bertujuan supaya tidak membuang rejeki yang telah masuk. Apabila ada keluarga yang baru saja meninggal dunia tidak boleh ikut merayakan Imlek selama 1 tahun serta datang bersilaturahmi ke rumah orang. Selain itu harus melewati 49 hari setelah kerabat yang meninggal tersebut baru boleh silaturahmi ke rumah orang. Hal ini dipercayai akan membawa keburukan bagi rumah orang yang didatangi.
Banyak keunikan dalam cara merayakan Tahun Baru Imlek, sehingga bermula dari berbagai tradisi dan budaya yang ada dapat menambah kemeriahan momen tersebut. Salah satunya adalah mengunjungi keluarga, teman dan kerabat untuk silaturahmi. Nah, Palembang punya tradisi “Sanjo”. Apa kalian pernah dengar “Sanjo”?
Di Palembang dan beberapa daerah di wilayah Sumsel, tradisi “Sanjo” yang berarti bertamu untuk silaturahmi. Maka tidak heran kalau kalian yang memiliki teman orang Palembang akan mengajak : “Lebaran agek sanjo ke rumah yo!”
Tradisi yang terjadi dari tahun ke tahun tampaknya tidak afdol kalau tidak saling sanjo. Makna dari saling kunjung ke rumah kerabat dan teman ini dianggap sebagai mendatangkan rejeki baru. Hanya di momen seperti Imlek inilah mereka yang jarang berjumpa karena kesibukan masing-masing memiliki jatah libur dan dimanfaatkan untuk saling berkunjung ke rumah teman-teman. Sanjo Imlek juga termasuk kearifan lokal yang memang harus dipertahankan untuk kita dapat mengenal dan memahami satu sama lain.
Pastinya akan ada cerita-cerita seru saat sanjo ke rumah keluarga atau teman, mulai dari pertanyaan “Kapan kawin?” sampai “Kapan punya anak lagi?”. Kalian yang jomblo pasti selalu menghindari pertanyaan tersebut kan 😆
Sanjo atau silaturahmi ke rumah teman yang merayakan tidak harus kalian yang sesama Tionghoa, tapi bagi kalian yang Muslim pun juga boleh ikut sanjo ke rumah teman kalian yang merayakan. Momen ini pastinya akan menyenangkan teman kalian yang merayakannya sebab rumah mereka ramai didatangi oleh orang untuk berbagi kebahagiaan bersama.
Meski makanan yang disajikan tiap rumah berbeda sesuai dengan kemampuan keluarga tersebut, namun tidak menutup rasa senangnya saat sanjo di rumah orang. Hampir tiap rumah saat Imlek menyajikan makanan mulai dari kue kering, kue basah, pempek dan aneka turunannya. Pokoknya semua makanan terlezat khas Palembang bisa saja dikeluarkan di momen Imlek seperti saat ini. Kebetulan tahun ini saya pun open house karena baru pindah rumah baru sekaligus mengajak teman-teman untuk sanjo ke rumah walaupun hidangannya sederhana.
Perayaan Imlek untuk bertamu atau sanjo biasa lamanya tiga hari. Hari pertama untuk keluarga, hari kedua dan ketiga untuk teman dan kerabat yang akan berkunjung. Rata-rata memasuki hari keempat, stok makanan untuk tamu sudah hampir habis. Namun, seperti kue-kue kering masih tersedia. Bersamaan dengan Imlek, di hari ke-15 tanggalan Tionghoa merupakan puncak dari perayaan Tahun Baru Imlek berlangsung selama lima belas hari lamanya. Jadi aslinya perayaan Imlek memang selama lima belas hari.
Istilah yang sering didengar adalah Cap Go Meh yang berasal dari bahasa Hokkien yaitu Cap berarti sepuluh, Go berarti lima dan Meh berarti malam. Puncak perayaan Imlek di Palembang diwakilkan oleh perayaan Cap Go Meh yang diadakan secara rutin setiap setahun sekali. Pada hari perayaan Cap Go Meh kali ini jatuh pada tanggal 9 – 10 Februari 2017. Perayaan Cap Go Meh di Palembang diadakan di Pulau Kemaro. Lantas apa yang menjadi daya tarik Pulau Kemaro yang selalu meriah ditiap tahunnya saat Cap Go Meh?
Daya tarik Pulau Kemaro adalah ikon Pagoda 9 lantai yang hanya dibuka saat Cap Go Meh. Selain pagoda terdapat sebuah klenteng dan di dalamnya terdapat makam Tan Bun An dan Siti Fatimah yang berdampingan. Klenteng Hok Tjing Rio, klenteng ini tempat ibadah yang sering dikunjungi ribuan warga keturunan Tionghoa untuk merayakan puncak Imlek karena terdapat Tradisi dan Mitos Cap Go Meh Pulau Kemaro Palembang.
Ada banyak orang datang dari berbagai kota untuk ke Palembang guna ikut merayakan Cap Go Meh sekaligus silaturahmi ke keluarga dan kerabat jauh. Kisah pulau yang terbentuk di tengah Sungai Musi ini menyedot pengunjung dari berbagai kota maupun luar negeri.
Biasanya saat Cap Go Meh ada penyediaan kapal tongkang gratis yang dapat kita gunakan untuk menyeberang ke Pulau Kemaro dari Jembatan Ampera. Salah satu titik kumpul yang menyediakan kapal tongkang gratis ada di Klenteng Chandra Nadi, klenteng tertua di Palembang. Lokasinya yang pinggir Sungai Musi membuat akses kapal tongkang jadi lebih gampang menuju Pulau Kemaro karena kalau hari biasa menyewa jasa kapal mulai dari 150 – 300 ribu tergantung tawar menawar.
Ayo ke Palembang biar nanti bisa selfie dan jalan-jalan sama Koh Huang 😆
Kangen rumah rasanya
Seneng banget baca ini, Koh Ded. Saya baru paham lho bahwa orang yang baru ditinggal mati keluarganya tidak boleh main ke rumah orang lain selama 49 hari.
Walah, ternyata ada alasan kepercayaan ya untuk itu.
Bagi orang yang kurang paham alasannya, bisa-bisa disangkanya keluarganya susah move on dan tidak ikhlas.
Untung banget ada artikel Koh Ded yang bisa kasih penjelasan kulturistik kayak begini 🙂
Koh, mau angpao dong. Hehe…
Gak boleh…
Hhmmm…
Gong Xi Fat Chai Ded, wah seru banget Imleknya di Palembang ya.. suka ngeliat suasana pasar buah temenggungnya. jadi inget glodok.. jadi kangen juga ama suasana imlek di kalimantan
Kalimantan aku penasaran dengan Pontianak dan Singkawang pas Cap Go Meh nya nih
Baru tau kalo Sincia itu Imlek, Koh. Senangnya sekarang mah sudah bisa ber-imlek secara terbuka ya. Gak ngerti kenapa pake dilarang-larang segala dulu itu. Saya sering beli amplop merah itu, koh. Abisnya lucu-lucu. Kalo kondangan saya nyecep pake amplop merah juga hahaha abis yg putih mah garing. Pas lebaran doang baru amplop putih, takut diprotes org lain 😀
Haha.. Amplop buat kondangan ada juga kok warna merah dan ada warna putihnya. Bedanya itu dari huruf mandarinnya.
Aku amplop mau putih dan merah mah bebas. Yang penting isinya hahaha
Dulu jaman kecil aku suka diajak sanjo ke rumah koleganya Papa yang merayakan Imlek, seneng karena dapet angpao ?
Btw menarik banget festival Imlek, sayang tanggal segitu lagi ga di Palembang huhu.
Salam kenal ya Koh, bloger Palembang juga tapi lagi tugas di Bengkulu hehe.
Wah.. bengkulu aku belum nulis hehe masih ke pending nih sama tulisan lainnya. Udah lama di Bengkulunya?
Hampir 2 tahun 😐 hihi
Artikel yang sangat bagus, salam kenal, saya lahir dan besar di Palembang. Banyak tempat “baru” di sana yang saya baru tahu dari blog ini.
Cubo maen ke rumah aku di sekanak, masih rumah jaman lamo. Thanks
Hai mas Martin.. Makasih yaa udah berkunjung ke blog saya. Semoga tulisan saya bermanfaat yaa..
Daerah Sekanak udah cuma mungkin perlu di explore lagi.
Koh …
Yang saya tau ada banyak perlambang-perlambang (entah tradisi atau pun jenis makanan) yang mengisyaratkan harapan, penuh doa-doa agar di tahun mendatang bisa lebih baik dan lebih sukses.
Jeruk itu artinya apa, Bandeng, Mie yang tidak putus dan sebagainya. semua penuh berisi harapan yang baik
sukses selalu Koh Huang
Salam saya
Betul, simbol-simbol yang dianggap untuk berkah yang baik Om Her.
Kita boleh saja berharap, tapi Tuhan juga yang menentukan bukan.
Mau dong angpaunya 🙂
Warna2 imlek bener2 bikin semangat ya 🙂
Di tempatku tiap imlek pasti hujan deras, katana itu rejeki, amin 🙂
Salam kenal ya Mas 🙂
Iya betul kalau hujan deras tandanya rejeki akan selalu lancar.
Ramai juga ya koh perayaan di Palembang. Semoga kesampaian nih bisa main-main kesana 😀
Pasti ada jalan, ke Palembang murah kok dan pilihan transportasinya juga gampang.
Palembang jempolan banget soal akulturasi budaya dan keragaman antaretnis. Ya meski sempat ikut terprovokasi pas kerusuhan Mei 1998, tapi secara umum toleransi antaretnis dan antarumat beragama di Palembang masuk kategori terbaik. Ikut bangga sebagai orang yang lahir dan pernah tinggal di sana semasa kecil.
Btw, mungkin belum banyak yang tahu kalau Gus Dur itu keturunan Tionghoa. Masih keturunanya Syekh Abdul Qadir Tan Kiem Han. Begitu juga istrinya, Ibu Sinta Nuriyah, juga keturunan Tionghoa. Makanya anak-anaknya wajahnya kaya chinese gitu kan, terutama Yenny Wahid sama adiknya yang perempuan itu. Tapi tentu bukan karena keturunan Tionghoa terus Gus Dur membolehkan perayaan-perayaan Tionghoa. Ini masalah keragaman dan kebesaran Indonesia sebagai sebuah bangsa. Keren kalo kita semua bisa mengikuti semangatnya Gus Dur.
Btw, nice article, Koh. 🙂
Begitulah, mungkin masih banyak sejarah yang belum terungkap. Dan aku menulis dari sudut pandang apa yang aku rasakan dan alami saat itu dan saat sekarang.
Dulu, ada semacam ketakutan untuk menyebut bahwa kita merayakan Imlek di rumah.
Ikut festival imlek indonesia pasti bisa nambah dan membuka wawasan ya kalo budaya indonesia itu beragaaaaaaaaam banget 🙂
Kak Heydeee dirimu masih di Jepang kah???
Aku ikut senang lho Koh dengan perayaan Imlek ini karena makin memperkaya budaya dan Aiman sukaa liat barongsai he3
Met Tahun Baru Koh, moga makin cetarrr di Tahun Ayam Api ini.
Aiman ga takut ama Barongsai ya soalnya ada anak yg takut katanya seram.
Aaamiin. Makasih ya mas Ihwan buat doa baiknya.
Saya SUKA Postingan Koh Huang!
Hai mbak Lisa…!
Mbak punya pengalaman Imlek apa nih hehe… Makasih ya mbak buat apresiasinya, semoga bermanfaat dan inspirasi.
Selalu suka sama kemeriahan Imlek
Gong Xi Fat Cai ya Koh Deddy
Semoga di tahun baru, rejeki mengalir makin lancar
Makasih mbak Arni..
Aamiin. Makasih ya buat doa baiknya, semoga rejeki di Tahun Ayam Api ini makin terbuka dan bisa didapat.
Tahun Ayam Api itu katanya bagus ya, Koh?
Meriah banget ya Sincia di Palembang. Langsung catet waktu Cap Go Meh, siapa tau di Jkt bisa liat salah satu perayaannya 😀
Kalau di Jakarta, Cap Go Meh nya di mana sih? Petak 9 ya?
om bagi angpao om 😀
Hiks.. Aku belum boleh kasih angpao..
Jadi kohded dapet angpao berapa nih?
Gak dapet :'( hiks… Aiden ama Ubii dapet dong..
Hiks.. si kokoh ikut lomba.. jadi parno sayah.. huhhuhuu
Parno kenapa mas. Hehe.. Ikut memeriahkan kan ga mungkin hadiahnya dapet ke Palembang juga hihi
lah dikau kan di palembang KOKOH. huhuhuhu
Suasana lebarannya gak jauh beda dengan lebaran Idul Fitri ya mas? Sedia kue2 dan saling kunjung mengunjungi jg? TFS 😀
Iya udah kayak tradisi untuk icip-icip hidangan lebaran hehe
Artikelnya sangat membantu bang.. untuk pengetahuan asal usul hari raya imlek atau jaman dahulu namanya sincia..
Btw sedih juga ya bang… Waktu di larang kita merayakan sin cia dikala waktu itu.
Makanya sekarang untungnya udah jadi hari libur nasional untuk Imlek. Kalo deket sanjolah ke rumah
Wah tulisannya keren sangat Ko. Dapat banget feel-nya sebagai anak Tionghoa yg hidup di tengah suku-suku Indonesia lain. Wah jadi pengen banget ke Palembang…??
Karena itu yang aku rasain mbak. Gak rayain Imlek dulu beberapa tahun karena kebijakan pemerintah.
Coba ikutan aja lomba blogn ini mbak Evi sapa tahu dapat kesempatan ke Palembang
wah asyik banget koh, kuenya bisa dipaketin ke depok tak? 😀
Kejauhan.. Ntar rusak di jalan. Dateng aja ke Palembang :p
Ternyata menarik ya ada tradisi Sanjo yang gak berbeda denga silaturrahmi saat lebaran, saling berkunjung ke rumah keluarga, kerabat dan teman-teman terutama keluarga yang dituakan.
Ayok kamu Sanjo ke rumah ku ya..
Pas liat toples toples yang ada di meja jadi keinget lebaranya orang muslim, mirip banget. Tapi saya juga gagal fokus dengan jajanan pasar seperti kue kue itu, kalau berkesempatan ke Palembang harus ngeborong buat oleh oleh di rumah, dan kayaknya empek empeknya juga beda dengan yang ada di daerah saya, disana aslinya. Btw sukses ya artikelnya Koh Deddy Wijaya 🙂
Widih mas amir lengkap sekaleee nyebut namaku hehe..
Ke Palembang enaknya emang icip kuliner.
harusnya nih, kalau kok Deddy postingan kayak gini harus berbagi angpao dengan saya wkwkw..
btw acara dimana mana sama ya, kalau di solo ada namanya Grebeg Sudiro
Haha.. Aku belum boleh kasih angpao dong.. Menantikan kamu yang kasih aja :p
Menarik nih di Solo acara imleknya mas
menarik, bentar masih nyeleksi foto, ntar ane post om heheeh
Asek! Wah menarik kali ini kompetisinya mas
bukan kompetisi kak, saya nyepret cuma saya pilih2 yg mau di post hehe..maklum fotografer amatiran om 🙂
Ah kamu gitu deh nanti pasti hasilnya mengezutkan hehe
gitu piye tho koh…asal nyepret koh 🙂
Tahun 1999, masih kelas 4 SD.. Aku tahun 1999 baru masuk kuliah.. 😀
Btw, aku kangen ang pao.. Dulu waktu bos di kantor orang Chinese, tiap imlek kami selalu dapet ang pao. Sekarang bosnya udah ganti, orang India. Jadi kangen ang pao, hehehe..
Tante Dian ? orang India gak kasih angpao dolar ya mbak? Hehe
Koh.. saya mau ke Palembang tanggal 15 besok nih.
Masih ada kue-kue tak?
Wkwkw
Hahaha.. Asekkk… Kuenya diganti ama pempek aja
Sanjo yaaaa…
Iyo.. yuk mbak Maria
kontesnya masih ada ini ya koh?
Masih mbak Nurul. Ikutan yuk.. siapa tahu nanti kamu beruntung ke Palembang.
cap go meh pas di kemaro seru kayaknya yah koh
Waktunya buat cari jodoh kalau ke sana, Winny hahahaha
eh tp katanya disana ada pohon gk boleh sama pasangan
Ada Winny.. kamu harus cek tulisanku tentang Pulau Kemaro udah aku tulis hehe
Pasti menyenangkan kalau kumpul keluarga.
Oya aku dulu tahun 2005 pernah apat angpao waktu di Pasar Welahan Jepara. Di ana ada Klenteng Tertua di Indonesia 🙂
Pasti senang banget kalau udah dapat angpao, aku sekarang udah gak dapat lagi.. hiks :((
Wah mau dong lihat klenteng tertua di Indonesia.
Nah baru denger tentang pasar buah Temenggung Ded. Belom pernah ke situ. Hiks sayang batal sanjo yo padahal udah lamo dak ngerasoin sanjo pas imlek.
Masih biso yan sampai Cap Go Meh haha.. Tapi kayak yang aku tulis biasonyo hari ke empat dan ke limo stok makanan mulai menipis :p