Saat itu suasana sedang teriknya matahari persis di atas ubun-ubun kepala kami. Saya diam sejenak melihat sebuah rumah yang telah berusia tua, kurang lebih sekitar tahun 1800-an. Dalam hati saya berkata, masih ada juga peninggalan rumah tua di kota Palembang? Dua kampung yang saya tahu yaitu Kampung Arab Al-Munawwar dan Kampung Pecinaan Kapitan. Tentu ini sangat langka, apalagi bagi saya yang menyukai heritage pastinya akan memanjakan mata untuk menelisik lebih lanjut.
Palembang letaknya strategis, berada di tepian Sungai Musi dan sempat menjadi sejarah sebagai kota industri dan perdagangan. Tentunya saat itu kota Palembang menjadi penguasa lautan sebagai lintas perdagangan segitiga emas. Sayangnya, pembangunan pada masa lalu kurang bisa memanfaatkan sumber sehingga masih berpola kota daratan.
Maka, sewaktu beberapa bulan lalu saat saya, Yayan dan kak Robby singgah ke rumah Ong Boen Tjit di kawasan 3-4 Ulu Palembang, kacamata pariwisata saya melihat kalau lokasi ini dapat dikembangkan menjadi objek wisata baru di kota Palembang.
Nyatanya, hari ini (26 November) saya mendapat kabar kalau dari teman-teman GenPI Sumsel mengadakan acara Pasar Baba Boentjit. Saya penasaran dan mulai mengajak teman-teman lainnya untuk bisa datang ke acara bersama.
Sensasi Naik Ketek
Rombongan kami bergerak menuju ikon baru kota Palembang, yaitu Tugu Ikan Belido. Tugu yang dibangun oleh pemerintah kota Palembang ini menjadi meeting point yang mencolok dan mudah ditemukan. Persis di dekatnya adalah Dermaga BKB tempat kumpulnya para pemilik kapal menawarkan jasa mereka untuk menyebrangkan kami.
Jika ingin menuju rumah Ong Boentjit bisa diakses lewat jalur darat dan sungai. Tapi, jalur darat tidak saya sarankan sebab memang cukup sulit diakses apabila menggunakan kendaraan mobil. Sebab tidak ada lahan parkir dan jalur lorong masuk sempit berliku. Sehingga, opsi terbaiknya menggunakan jalur sungai sehingga kita memiliki pengalaman menyeberangi Sungai Musi, sungai yang membelah Palembang dan terpanjang di Sumatera.
Akhirnya kami memutuskan untuk menyewa perahu ketek di luar yang disediakan oleh panitia. Sejauh penglihatan saya hanya melihat dua perahu ketek dari panitia yang selalu penuh oleh orang yang mengantri. Kami pun mencoba negosiasi dengan penyewa perahu lainnya agar bisa mengantarkan kami ke tujuan dengan harga Rp 10.000/orang yang diisi 12 orang.
Harga yang masih terjangkau untuk sekedar menikmati perjalanan diombang-ambing jilatan air Sungai Musi. Saya sengaja mengambil posisi duduk di ujung kapal agar dapat lebih menikmati suasana, walau kulit harus disengat sinar matahari.
Sekilas Ong Boen Tjit, Peranakan di Tepian Sungai Musi
Dari Tepian Sungai Musi, nama Baba Ong Boen Tjit tentunya sudah dikenal oleh masyarakat setempat. Siapa dia? Tentu semua orang mempertanyakan. Sepengetahuan saya Baba Ong Boen Tjie termasuk salah satu saudagar kaya di Palembang tempo dulu. Namun perihal apa yang dia lakukan saat dulu saya tidak mendapat informasi.
Palembang tempo dulu memang memiliki riwayat sejarah para saudagar yang kaya dan terkenal. Rumah-rumah mereka kebanyakan memang berada di tepian sungai untuk memudahkan akses mereka berniaga dan tentunya kapal-kapal yang persis menepi di depan rumah. Ciri khas dari rumah tempo dulu adalah rumah limas dengan kayu unglen yang kokoh. Serta jendela yang banyak agar sirkulasi udara lebih gampang masuk dan keluar.
Waktu kunjungan saya yang pertama kali ke rumah Baba Ong Boen Tjit ini, kami berjumpa dengan menantunya almarhum Baba, sebutan untuk paman Boen Tjit. Mereka adalah keturunan kedelapan. Rumah Baba Ong Boen Tjit ini persisnya di Lorong Saudagar Yucing No. 55 RT 050 RW 002 Kelurahan 3-4 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu 1.
Layaknya rumah limas tua kota Palembang, rumah Ong Boen Tjit ini memiliki tiga ruangan. Ruangan paling depan ditujukan untuk ruangan tamu yang lebih lega dan luas. Interior di dalamnya memang bernuansa merah dan hitam serta kayu unglen yang masih kokoh. Saya masih dapat melihat pajangan gambar-gambar lama pemilik asli rumah tersebut.
Ada sebuah pintu kayu berwarna merah menjadi akses untuk masuk ke ruang tengah. Terdapat empat buah kamar tidur saling berhadapan satu sama lain. Di tengah terdapat altar patung-patung dewa untuk sembahyang. Pajangan guci-guci lama masih ada di sekitar ruangan. Dulunya, Ong Boen Tjit ini adalah seorang Kong Hu Cu, namun beberapa generasi penerusnya sekarang sudah menjadi seorang mualaf setelah menikah dengan orang asli Palembang.
Masuk ke dalam ruangan, kita akan menjumpai area yang lebih tepat digunakan sebagai ruang keluarga dan juga terdapat beberapa kamar. Area ruangan ini luas sehingga digunakan juga untuk dapur masak. Sekilas tempat ini memang tampak kurang terawat. Kayu-kayu penyanggah sudah mulai terlihat miring dan lantai injak yang kurang begitu kokoh.
Di bagian paling pojok belakang juga terdapat sebuah altar leluhur yang sepengetahuan saya itu merupakan leluhur nenek moyang.
Kalau kalian berjalan ke samping rumah Ong Boen Tjit ada sebuah rumah kosong yang lebih bernuansa melayu dari warna cat rumahnya. Dulunya rumah ini digunakan sebagai gudang.
Kriya Warga Lokal Pengrajin Nipah
Di dekat rumah Ong Boen Tjit, persisnya arah belakang ada kelompok rumah warga asli Palembang yang menjadi pengrajin lidi nipah dan kemplang tunu. Nipah adalah sejenis palem yang tumbuh di lingkungan hutan bakau. Dari tanaman ini, para pengrajin memanfaatkan lidi nipah yang dikeringkan untuk dijadikan keranjang anyaman seperti alas piring di rumah makan.
Sayangnya, kriya warga lokal dalam menjual hasil mereka kurang mendapat perhatian dari UMKM setempat. Harga jual satu keranjang alas makan ceper mereka jual berkisar harga Rp 1500 per anyaman. Lalu, dibeli oleh pengempul dan dijual kembali dengan harga yang bisa 5 hingga 10 kali lebih mahal dari yang mereka beli. Sungguh ironis bagi para pengrajin.
Biasanya kegiatan mengayam nipah ini dilakukan oleh para ibu-ibu rumah tangga yang melakukannya di depan teras rumah mereka sambil mengurus anak.
Selain itu, kulit dari nipah sendiri bisa digunakan kembali untuk rokok nipah yang pernah saya jumpai pada saat ke Tidore beberapa bulan lalu. Rokok nipah ini berbentuk seperti lintingan tembakau dan nipah kemudian tinggal kita bakar ujung nipah dan menikmati candu tembakau. Rasanya agak lebih sepat dengan cita rasa yang kuat. Di Palembang sendiri, rokok nipah belum pernah saya jumpai. Tapi, informasi yang saya dapat rokok nipah ini diminati oleh pasar luar seperti Malaysia.
Kemplang Tunu
Tiap kota tentunya memiliki kuliner khas, sejauh yang pernah saya jumpai mengenai kemplang. Seperti di Bandung memiliki nama kerupuk melarat sebab kerupuk digoreng hanya menggunakan pasir sehingga tidak menggunakan minyak. Sedangkan kemplang tunu, proses pembuatannya “digoreng” dengan cara “dibakar” di atas bara arang supaya mengembang dan renyah.
Harga kemplang tunu lebih murah sebab bahan dasarnya memang tidak menggunakan ikan, kebanyakan tepung sagu dan aroma ikan. Sehingga tekstur yang dicari di kemplang tunu adalah bantet atau lebih keras. Disajikan dengan cuka merah yang dipadu terasi tentunya akan lebih nikmat.
Antusiasme Netizen Sambut Positif
Pasar yang dibuat dadakan di halaman depan rumah Baba Ong Boen Tjit ini menjadi gaung bagi netizen Palembang yang membutuhkan wisata baru. Para pengunjung dapat duduk bersantai di kursi kayu atau pinggiran rumah. Boleh saya katakan rumah Ong Boen Tjit ini memang instagramable di beberapa sisi, sehingga wajar sekali rasa penasaran serta ekspektasi yang dibawa saat menyebrangi dengan perahu ketek memiliki sensasi luar biasa.
Saya mengamati pengunjung yang datang lebih dari 300 orang dan makin bertambah hingga acara selesai sore hari. Teman-teman kreatif dibalik acara Pasar Baba Ong Boentjit ini ingin menampilkan beberapa hidangan tradisional dari Palembang seperti pempek, lakso, burgo, ragit, mie celor dan rujak mie. Ditambah lagi kue-kue tradisional disajikan sebagai pilihan bagi pengunjung yang ingin mengalami nikmatnya makanan khas Palembang seperti Lapan Jam, Maksuba, Gandus, Srikayo dan Dadar Jiwo. Kuliner lokal ini adalah milik warga sekitar yang berjualan agar membantu ekonomi setempat. Harga yang mereka jual lumayan terjangkau.
Animo pengunjung juga membludak saat ikut menyaksikan pertunjukan drama “Antu Banyu” yang menjadi mitos tempo dulu bagi masyarakat pinggiran Sungai Musi. Serta ada juga demo masak dari chef Kukuh yang memperagakan 5 jenis pindang Palembang yaitu Pindang Tulang, Pindang Telok Gabus, Pindang Baung, Pindang Udang Galah dan Pindang Patin. Serta ada Dinda Kirana, artis yang tidak saya kenal. Sebab dia juga tidak mengenal saya 😆
Acara yang hanya digelar satu hari ini memang bertujuan untuk mempopulerkan rumah peninggalan Baba Ong Boen Tjit sebagai destinasi wisata baru Kota Palembang selain memanfaatkan potensi lokal dengan mengangkat nilai budaya agar dapat menciptakan nilai ekonomi bagi masyarakat setempat.
Inilah atraksi menarik yang menggabungkan antara daya tarik wisata budaya dan kuliner khas Palembang. Didukung tempat yang menarik di pinggir Sungai Musi sehingga melengkapi suasana akhir pekan bersama keluarga memandang sunset di tepian Sungai Musi yang bakal menjadi momen tak terlupakan. Selain itu lokasi ini juga menarik untuk dijadikan tempat prewedding di Palembang.
Perjalanan saya selesai, rombongan kami yang terdiri dari teman-teman Kompakers Palembang dan Kompasiana Palembang (KOMPAL) kembali pulang menikmati sore di atas ketek menuju Dermaga BKB.
Dari jauh, saya melihat seorang “baba” bermain di ayunan tahun 90-an bersama anak-anaknya. Sedangkan tidak jauh dari dia, segerombolan ibu-ibu tengah berkumpul. Apakah dia “baba” yang sedang mencari mama untuk anak-anaknya?
***
Mewarnai kegiatan GenPI Sumsel. Feel free to share ya…
Akrab banget dengan nama Kampung Pecinan yang sering disebut Koh Deddy, namun belum pernah berkungjung :D.
Alhamdulillah di Palembang la mulai ado tempat wisata, setidaknyo bukan cuma mall-mall yang dibangun.
Jadi kangen Palembang gara-gara Koh Deddy, hahahaha.
wah keren ya .. masih ada rumah tua yang terawat dan beberapa peninggalannya masih ada, mengingatkan pada rumah Tjong A Fie di Medan
Belum pernah ke Palembang, tapi pengen ke Palembang,,,, Culik aku dong Kohhhhh
Palembang ini jadi tempat yang pengen banget aku kunjungi. Mau ketemu sama temen di sini. Selain mengunjungi tempat wisatanya 😀
Itu ada Om Ndut mejeng aja di 2 foto. Tapi memang sejarah masa lalu itu kalau ditelisik, sangat menarik. Harus dilestarikan apalagi bangunannya itu historical. Eh, salam ya ke Kang Robby….
Ah keren Palembang punya acara Pasar Bab Boentjit.
Ramai ya, trus banyak khas tradisonal nya jg
Pas bangeeet liburan semester depan ada rencana mau ke Palembang 😀
kabarin ya kalo ke Palembang, siapa tahu bisa ketemu.
Siaaap Koh!
Arsitektur rumah tempo dulu unik-unik ya koh, berseni dan punya ciri khas yang beda. 😀
Mudah-mudahan sih tetap terawat sampai kapanpun ya. 🙂
Ya mudah-mudahan diperhatikan sama pemerintah kota saja.
Ketika aku berwisata di Palembang bulan Juli lepas, gak pula Yayan bawaku ke sini. Mungkin disimpan Yayan seharus aku datang ke Palembang lagi!
Saya penasaran benar dengan kaum Peranakan yang juga ada di Palembang seperti di Penang, Melaka dan Singapura. Ia menunjukkan kota-kota dagang terdahulu kota kosmopolitan.
Haha, coz ini rumah pribadi orang Dan, tak sembarang orang boleh datang. Tapi dengan adanya festival ini, menandakan tourism department berencana untuk buka peluang rumah ni agar boleh didatangi pelancong. Next bolehlah datang lagi ke Palembang 😀
That’s good to know! Iya aku pun belum sempat coba lakso, burgo dan celimpungan 😀
Belum pernah ke Palembang. Semoga tahun depan bisa kesana dan menyaksikan asia game 2018.
aamiin.
Mungkin kalau ga ada pasar baba,kalo pas main ke rumah nya Baba bisa sekalian main di kampung belakangnya kali ya 😀
kampung belakangnya biasa aja sih, kadang agak tertutup warganya.
Kirain kayak al munawar gitu sekalian dipercantik kampungnya
Ngiri pengen ke sini jugo, potensi pasar ini tinggi untuk jadi tempat wisata, semoga rutin dilaksanakan ded biar kayak pasar Papringan yang pernah kudatangi
pasar papringan lebih seru na, serius.
acara kayak gini, rutin gak kak? ntar kalo mudik, mau mampir juga ah.
Gak ini cuma satu hari aja. Tapi katanya mau dibikin kayak 2 mingguan. Cuma jangan terlalu ekspektasi 🙂
Mauuukkk k Palembangggg
ditunggu ya mbak..
Wohooo. Dapet foto rumah saat sepi, Koh. Hahhaa. Semakin keliatan ya bagusnya. :”D As always… keren koh. 😀
Ciyeee menang.. selamat yaa
Sayang gak bisa ikutan kemarin, tante ku koma, jadi hectic di rumah sakit
semoga kondisi tantenya membaik ya mbak.
Pasar Baba Boentjit cukup meriah diawal pembukaannya. Semoga teurs bertahan lama, dan teman-teman panitia bisa berinovasi lebih bagus lagi.
Iya.. mirip seperti pasar karetan gjtu mas.
Aku itu pingin main ayunan, tapi sadar dirilah yoooo
wah om sadar diri ga mau bersaing sama anak-anak 🙂
Bukan gitu, tapi takut disuruh ganti kalo patah hahaha
masih terlihat bagus yah… keren…
Gak juga kang.. masih perlu banyak diperbaikin.
wah bisa jadi pilihan ketika ke Palembang nih. Ingat palembang jadi ingat mantan…
heh mantan orang palembang toh..