Berjejer mobil-mobil mewah di depan halaman parkir bangunan bercorak arc deco. Sekilas tak ada yang menyangka kalau di dalam bangunan itu ternyata sebuah kedai kopi yang sudah lebih dari lima tahun dikelola. Tidak ada tanda-tanda sebuah kedai kopi, sampai nanti baru terlihat sebuah papan reklame yang dipasang tidak di atas bangunan melainkan di dekat pedestrian. Tertutupi mobil-mobil mewah, di sanalah letak Giyanti Coffee Roastery yang kini tengah dicari para penikmat kopi.
Lorong sempit berukuran satu meter dari samping gedung menjadi pintu masuk ke dalam kedai kopi. Bangunan kedai kopi Giyanti ini dibuat seperti open space room bagi penikmat kopi yang sekaligus ingin merokok. Ditengahnya terdapat eksos fan untuk membuat sirkulasi udara lebih terasa lega. Sedangkan bagi yang tidak merokok bisa memilih untuk duduk di bagian dalam yang sangat instagramable.


Sore itu saya, Mik, Lis dan suaminya ingin menghabiskan waktu malam minggu sehabis dari Pelabuhan Sunda Kelapa. Lis bilang kalau Giyanti Coffee ini tempatnya asyik untuk bersantai selain kita juga bisa menikmati secangkir kopi dan kue.
Saya masuk ke dalam tempat area non smoking. Suasana di dalamnya sama penuh seperti di luar. Sepertinya kami tidak mendapatkan meja untuk duduk. Namun, seorang menghampiri kami untuk mencarikan meja agar kami bisa bersantai sore.

“Itu yang botak pemiliknya,” tunjuk Lis memberitahu saya. Lis sibuk memilih kue-kue yang saya lihat lebih banyak croissant.
Saya berjalan mendekati si botak tersebut untuk memesan secangkir kopi.
“Kamu dari Perth? Pernah tinggal atau baru balik gitu?” tanya dia seolah kami sudah pernah bertemu sebelumnya.
“Gak, sudah lama itu. Kenapa?” tanya saya balik.
“Itu dari baju lu pakai baju ada tulisan Fremantle,” seru dia. Ternyata si botak ini pernah tinggal lama di Perth. Itulah awal pertemuan kami yang cukup konyol. Dia juga merekomendasikan Magic, sebagai signature coffee dari kedainya. Perpaduan espresso namun tidak terlalu kuat.
Aroma kopi Arabika pilihan tercium harum, secangkir kopi buatan dari tangan Botak yang bernama asli Hendrik Halianto ini menemani sore kami. Giyanti Coffee layaknya anak yang dibangun sejak pertama kali. Kesukaannya dengan kopi membuat nama Giyanti cukup dikenal oleh para penikmat kopi di Jakarta.
Jika mau ditelusuri mengenai rahasia kesuksesan Giyanti Coffee ini bukan karena kopi yang dijual saja. Cita rasa kopi yang di-roasting sendiri oleh Hendrik memang berbeda. Bahkan saya tidak mendapat izin untuk melihat isi dalam tempat penyimpanan kopi. Alasannya takut nanti bercampur dengan aroma keringat atau parfum sehingga membuat biji kopi tidak berubah rasa.


“Ah elu, bilang aja takut rahasianya kebongkar!” seruku dan kami tertawa. Hendrik tidak hanya menjual kopi untuk dinikmati oleh pengunjung melainkan juga memproduksi kopi siap saji dalam bentuk biji.
Kopi dan teman ngobrol memang pasangan yang pas. Namun tidak perlu sedih ketika kamu minum kopi sendirian. Sebab suasana di Giyanti Coffee membuat kita seperti berada di rumah. Kita punya area sendiri untuk menyendiri di balik kerumunan orang. Tampak anak-anak milenial yang sedang asyik berfoto di semua sudut. Area Giyanti Coffee memang cukup instagramable, kalau kalian jeli dalam membidik tentu saja hasil foto yang didapat juga maksimal.
“Gue gak rela kalau tadi beli croissant, untung kita beli brownies!” ujar Lis sambil memotong brownies.
“Iye, mahal amat lu jual croissant aja 40 ribuan. Apalagi makan Lamington!” kami pun kembali tertawa. Menu-menu makanan yang dijual di Giyanti tidak banyak sebab mereka memang spesialis menjual kopi. Kue-kue hanya pelengkap saja karena buatan dari istrinya. Sedangkan restoran Madame Ching merupakan usaha milik orangtua si botak.



Hendrik sosok yang visioner. Sekolah barista milik Franky Angkawijaya merupakan alumni tempat Hendrik belajar kopi. Walau saya baru pertama kali berjumpa dengan dia, namun seperti sudah lama kenal. Passion akan membawamu, begitulah yang kami diskusikan mengenai milenial. Giyanti Coffee Roastery bukan hanya menjual kopi enak tapi juga pemilik kedai yang ramah sehingga membuat orang jadi betah untuk berlama-lama.

Canda dan obrolan kami sampai sore dan kedai Giyanti pun tutup. Giyanti Coffee hanya melayani tamu sampai pukul enam sore. Sedangkan mereka tutup di hari minggu dan senin. Alasan tidak buka sampai malam karena jalan Surabaya yang terkenal dengan pedagang-pedagang barang bekas tidak terlalu ramai dikala sore. Selain itu mereka juga mau melakukan roasting biji kopi agar tidak mengganggu konsumen.
Kopi mau dibuat apa tetap akan pahit. Sudahkah kamu minum kopi hari ini?

Giyanti Coffee Roastery
Jalan Surabaya No.20, Menteng, Jakarta Pusat
Opening Hours:
– Tuesday to Saturday: 09:30 – 17:30
– Monday & Sunday: ClosedPh: 021-31923698
INSTAGRAM: @GIYANTICOFFEE
artikel sangat membantu saya gan, thank’s gan ^^
Uda coba in rasanya mantul
enak ya buat nongki2..
Nama kedai kopinya mirip dengan Perjanjian Giyanti, ya 🙂 …
Tapi okelah, suatu saat nostalgia ke Jakarta akan kucoba mampir kesana buat icip-icip croissant dan ngerasain kopi roasting hasil tangan mas Hendrik …
Kebetulan lokasinya mudah dicari 🙂
oke fix harga star buck banget nih…
tapi kopi kopi kek gini memang asik buat nemenin nulis didepan laptop
maupun koding ya koh
(((si botak)))
Gitu amat nyebutnya, koh 😀
Iya, Giyanti ini memang lagi trending. Ternyata lokasinya tricky, ya. Dan ternyata harganya mahal, wkwkwk
Wahhh nambah lagi nih referensi tempat ngopi enak Kalo pas lagi di Jakarta. Kalo dilihat dari list harganya sih ya.. lumayan mehong lah ya.., boleh lah sebulan sekali hedon jajan kopi mehong…, Atau beli biji kopinya aja ya buat oleh2 sekalian, bisa dinikmati berkali-kali.
mantap nih ngopy ngopy…
Sebagai salah satu yang bukan coffee person tempat ini (tampaknya) masih menyajikan kenyamanan untuk nongkrong dan justru tertarik dengan makanannya ketimbang kopinya. Hehehe. Buatan sang istri sendiri lho.
Entah kenapa ngerasa geli aja tiap koko sebut kata si botak.. ?
Dari fotonya tempatnya simpel tapi ada rasa kekeluargaan sepertinya ya koh..
Btw alasan takut bercampur bau keringat atau parfum sepertinya kurang masuk akal samaku ku koh.. ??
Harganya cukup ulala ya Koh..Mungkin itu kenapa, Giyanti bisa libur dua kali dalam sepekan. Aku suka gaya om botak yang tidak terobsesi dengan mengejar uang..hahaha
kira kira berapa lama kita bisa betah nongkrong di sini? Setting mejanya mengingatkanku pada kedai Gelato di Jogja. Antar meja begitu berdempetan, mau berbisik saja kedengaran sebelah 🙂
Whoa.. tempat ngopi yang tersembunyi <3
asal kamu ngopi jangan sama selingkuhan aja mas.. jadi deh tersembunyi.
Rasanya tempat beginian gak menjual apa yang dikonsumsi, tetapi lebih menjual tempat tongkrongan. Mahal menurut kantong saya hahahaha.
Btw kayaknya ada yang nggak pas di kalimat ini “Alasannya takut nanti bercampur dengan aroma keringat atau parfum sehingga membuat biji kopi tidak berubah rasa.”
Hayo kira-kira apa lah yang bikin nggak pas? 😀
Yes tempat ini menjual tempat nongkrong, satu kali nongkrong 100 ribu lah :p