KokoTalks Series : Seek the perfect endorser
Kira-kira beberapa hari lalu, saya ditanya oleh Public Relation hotel mengenai rekomendasi endorser yang asyik berdasarkan angka follower. Bagi mereka, semakin tinggi angka follower maka semakin baik untuk bisnis mereka. Benarkah begitu?
Digital marketing saat ini tidak seperti 10 tahun lalu ketika saya mulai bekerja sebagai Content Strategist membangun konten web di sebuah lembaga kursus. Saat itu saya masih harus memberi edukasi mengenai digital bahwa sekarang marketing bisa dilakukan dengan cara baru, yaitu online. Tujuannya untuk dapat menyampaikan informasi lebih cepat sekaligus biaya lebih murah.
Kini, saya merasa edukasi tersebut tidak sulit lagi, sebab sudah didukung oleh teknologi. Semua orang sudah peduli. Hanya saja tetap ada tantangan baru yang saya rasakan yaitu memberi edukasi bahwa sebelum mengajak they so called influencer, sebagai pemilik bisnis atau brand tetap harus kroscek. Kira-kira hasil akhir apa yang ingin capai.
Perjalanan saya masih panjang, tapi mengasyikkan.
Mengenal Endorsement
Kita tidak asing dengan istilah endorsement. Endorser adalah pelaku yang memberikan layanan beriklan di digital. Di Indonesia, endorser lebih dikenal sebagai influencer/selebgram atau apapun lah yang orang sebut.
Sebagai pemilik bisnis atau brand ingin endorser yang asyik sehingga kerjasama saling menguntungkan. Hal yang paling sederhana adalah bertukar barang dengan eksposur. Eksposur menjadi “mata uang” ketika pemilik bisnis memberikan produk atau jasa ke endorser. Nantinya endorser akan memberikan review mengenai produk atau jasa yang ia gunakan. Tidak dilebih-lebihkan dan dibuat natural.
Biasanya nilai dari produk atau jasa akan disesuaikan dengan tawar menawar dari endorser. Misalnya, ketika saya menerima review walau itu bukan berbayar namun diberikan produk yang harganya cukup bisa dijual kembali atau saya suka produknya. Bisa juga produk tersebut adalah brand favorit kita maka ketika bisa mengulasnya adalah suatu kebanggaan tersendiri.
Endorser yang asyik tentunya bisa membantu membangun trust dan loyalty brand.
Harga Endorsement
Apakah sebagai brand dan pemilik bisnis wajib memberikan sejumlah uang untuk endorser kalau sudah memberikan produk? Bisa ya, bisa juga tidak. Ya kalau endorser merasa kalau nilai yang ditawarkan oleh brand tidak sesuai dengan apa yang dikerjakan. Tidak jika sebaliknya. Selain itu untuk menghargai hasil kerja yang telah dikerjakan. Uang di sini dinilai sebagai jasa endorse yang dikerjakan. Sebab dari sini cara endorser mencari perekonomian di rumahnya.
Contohnya ketika mendapat undangan mengulas menu makanan di restoran. Maka endorser sudah harus menyiapkan waktunya beberapa jam terbuang untuk datang, ongkos pergi dan pulang lalu membuat konten. Jasa yang sudah dikeluarkan ini layaknya dihargai bukan hanya dengan makanan yang sudah dingin disajikan dari yang difoto.
Intinya ada effort yang dikeluarkan seperti waktu, tenaga, membayar listrik laptop yang ia gunakan, kuota internet, skill foto yang ia pelajari dan duduk di kedai kopi dengan secangkir kopi untuk mengerjakan kampanye dan lainnya. Sedangkan produk atau jasa adalah mutlak karena itu cara endorser akan menceritakan pengalamannya.
Kenali Endorser
Setiap orang dapat yang menjadi endorser adalah yang memberikan pengaruh sesuai dengan gaya hidupnya. Namun, yang menonjol adalah keunikan dari endorser. Sebagai pemilik bisnis dapat mencari endorser sesuai dengan karakter produk/jasa yang kalian tawarkan.
Singkatnya, kalau dia adalah food enthusiast yang membahas kuliner maka selayaknya kamu tawarkan adalah produk kuliner. Bukan aji mumpung melihat angka follower lalu menawarkan untuk mempromosikan produk kecantikan atau online shop. Sebaliknya juga begitu. Walau ini sering terjadi tapi sah-sah saja namanya rejeki orang. Hanya menjadi kurang tepat sasaran.
Beberapa kelompok endorser yang dapat digunakan sesuai dengan persona mereka masing-masing. Persona ini bisa dilihat dari minat dan gaya hidup yang biasa ditampilkan di media sosial.
Selebriti. Kelompok selebriti memiliki audiens yang lebih banyak karena seorang selebriti memiliki pengikut yang banyak. Kelompok selebriti ini bisa termasuk publik figur yang sering tampil di layar kaca.
Profesional Top Tier. Kelompok orang profesional yang memang memiliki audiens banyak dan dipercaya kualitasnya. Biasanya kelompok top tier ini lebih dikenal komunitas. Persona yang mereka tawarkan bisa membawa lead untuk brand apabila tepat sasaran.
Profesional Middle Tier. Kelompok profesional yang jumlah audiensnya dibawah dari top tier namun masuk dalam kelompok tengah.
Micro Influencer. Kelompok ini masuk dengan audiens tidak begitu banyak biasanya dari follower 1000. Kenapa kadang brand memilih micro influencer oleh sebab mereka bisa menjaga engagement dengan audiens mereka. Sehingga micro influencer pun juga punya kontribusi.
Konsumen. Tanpa kalian sadari, kadang konsumen yang sudah menggunakan produk atau jasa kalian adalah orang-orang yang dapat menjadi endorser sejati tanpa pamrih ketika mereka sudah puas dengan hasilnya. Makanya, after sales adalah bagian yang paling penting agar jangan sampai komplain dari konsumen kalian anggap enteng.
Kriteria Endorser
Berkecimpung membantu sejumlah brand dan pemilik bisnis untuk brand activation. Selain itu juga membantu beberapa agensi, saya banyak menerima masukan dan kita saling bertukar informasi mengenai apa dan apa saja kehendak dari brand.
Tidak semua brand atau pemilik bisnis mengerti soal digital marketing, maka mereka meminta bantuan dari digital marketer atau kadang endorser sendiri yang memang berpengalaman. Tidak jarang juga sebaliknya saya menemukan endorser yang nakal ketika diberikan kepercayaan oleh brand dan pemilik bisnis.
a. Spesialisasi endorser sesuai produk/jasa
Ada banyak konten kreator yang bermunculan setiap harinya. Punya minat (enthusiast) di bidangnya masing-masing. Mulai dari traveling, kecantikan, kuliner, olahraga, dan lainnya.
Misal produk kalian adalah produk kecantikan tentu akan lebih percaya kalau yang merekomendasikannya adalah beauty enthusiast. Bukan seorang food enthusiast atau sport enthusiast, walau itu bisa-bisa saja dikaitkan nantinya. Saya kadang menolak produk atau jasa yang menurut saya tidak sesuai persona.
Kalau saya menerima, bisa saja. Hanya saya tidak ingin membohongi klien terhadap ekspektasi dan hasil. Termasuk membohongi pengikut saya di media sosial. Pernah kah kalian merasa tertipu ketika membaca ulasan seolah menarik dan enak. Ketika dicoba justru sebaliknya?
Bagi brand, harusnya juga memperhatikan gaya hidup dan karakter endorser. Dari sana bisa diketahui endorser yang akan dipakai apakah sudah sesuai. Balik lagi kalau dia food enthusiast yang gemar memasak maka bentuk kerjasamanya adalah memasukkan produk bumbu-bumbu masakan agar bisa dipakai ketika masak. Atau sebagai travel enthusiast bisa diberikan produk-produk atau jasa yang bisa digunakan saat traveling seperti apparel, gadget, hotel dan lainnya.
b. Demografi follower disesuaikan target
Saat brand mengajak kolaborasi, ada pesan bahwa brand ingin mendapatkan market baru sesuai demografi follower endorser. Pihak brand juga harus bisa memeriksa demografi produk/jasa yang ditawarkan. Maksudnya apakah brand tersebut untuk usia remaja, dewasa atau orangtua. Supaya menemukan titik temu.
Demografi ini mencakup usia, jenis kelamin, kemampuan membeli, kota asal dan hal kecil lainnya. Sehingga tidak asal melihat angka follower tinggi maka diyakini bisa membantu dalam promosi.
Saya jadi ingat ketika sedang memberi jasa konsultasi digital marketing dengan pemilik rumah makan. Dia bercerita pengalamannya saat memilih endorser yang ternyata kurang tepat. Lalu saya ulik kembali akun-akun endorser yang digunakan. Setelah saya cek ternyata demografi akun endorser kurang tepat sesuai target.
Restoran yang ia miliki adalah restoran spesifik jenis makanan tertentu. Lalu, harga makanannya berada di kelas menengah. Sedangkan, akun endorser memiliki demografi untuk anak-anak remaja. Sudah pasti kemampuan belinya tidak bertemu dengan demografi brand. Mungkin bagi brand yang dapat untuk brand awareness saja, bukan penjualan.
Menggunakan jasa endorser menurut hemat saya pertama kali adalah endorser jangan dianggap sebagai sales pendulang rupiah untuk bisnis kalian. Melainkan bagian pemasaran (marketing) dari cara tradisional menjadi digital. Supaya produk/jasa kita bisa terjangkau ke orang-orang. Ketika bisa menghasilkan sales artinya itu bonus dan endorser tersebut bisa kalian pakai kembali.
c. Interaksi dengan follower
Saat ini sudah semakin langkah mendapatkan review jujur atau opini yang murni sekalipun endorser dibayar. Ada kejenuhan yang dirasakan dan sedang terjadi.
Interaksi dengan follower adalah kunci dasar. Setiap postingan dari endorser bisa dilihat apakah ada interaksi yang alami, bukan hanya sekedar terlihat palsu. Walau di belakang sana, ada endorser yang membentuk grup untuk Instagram Walking. Tujuannya agar dalam postingan tersebut bisa menaikkan engagement namun masih sulit untuk terlihat natural.
Cara ini tidak salah, sebab sebagai endorser juga berusaha agar di mata klien terlihat angka yang baik. Sekali lagi jangan dikecam sebab algoritma Instagram makin diperketat.
d. Kualitas konten yang dihasilkan
Sebagai brand tentu menginginkan produk/jasa kalian ditampilan dengan visual yang baik. Bisa representatifkan produk atau jasa dengan kemasan menarik. Serta juga bisa memperhatikan caption yang digunakan. Ada beberapa endorser yang ingin terima beres dengan sudah mendapat caption yang seragam. Cara ini sudah kuno karena netizen kita sudah cerdas dan bisa membedakan mana konten yang dibuat-buat dengan konten yang jujur.
Saran saya, memilih endorser yang asyik maka carilah yang kreatif dan tidak asal bikin konten. Hal ini pernah saya alami ketika mengajak beberapa endorser terhadap campaign yang saya pegang. Ketika membuat konten dan caption tidak sesuai dengan brief yang saya kasih. Lalu, hari dimana konten akan dinaikkan, kita harus terus mengingatkan bahkan tak jarang ada endorser yang lupa untuk tayang dan memberikan berbagai macam alasan. Akhirnya akan menyulitkan kita.
Trust me, daripada nanti ke depan itu akan menyulitkan tipe endorser seperti itu biasanya saya tandai. Dulu sempat beredar daftar whitelist dan blacklist endorser berdasarkan pengalaman anak-anak agensi dan brand. Semoga masih ada biar saya bisa masukkan beberapa nama ke dalamnya. Hahahaha *julid mode on*
e. Reputasi endorser
Waktu saya memberikan seminar media sosial di sekolah. Saya menyebutkan beberapa nama anak muda endorser yang cukup terkenal. Ada sebagian yang mereka kenal, ada pula yang tidak.
Tidak semua endorser punya citra diri yang positif. Ada endorser yang dikenal karena berita miring yang membuat dia dikenal. Sehingga memang perlu hati-hati ketika kalian sudah memilih endorser yang akan dipakai. Hal ini sempat terjadi dengan salah satu brand besar yang salah memilih endorser, sudah demografi market yang dipilih tidak sesuai produk. Lalu, ketika produk launching si endorser justru bersikap masa bodoh dengan produk yang dipromosikan.
f. Budget yang ditawarkan
Negosiasi antara endorser (atau manajernya endorser) dan brand mengenai angka susah gampang. Bisa nih jadi artikel terpisah malahan mengenai negosiasi. Angka rupiah bisa dilihat dari hasil kerja yang sudah pernah dia lakukan sebelumnya. Sehingga mungkin boleh dibilang, tidak ada angka yang mahal juga murah untuk memilih endorser yang asyik. Semua tergantung sudut pandang kita melihat.
Promosi yang akan kalian tawarkan, sebaiknya disesuaikan dulu dengan hasil yang ingin dicapai. Misalnya, kalian hanya ingin meningkatkan brand awareness maka carilah endorser yang punya cita diri natural agar tidak terkesan seperti beriklan. Biasanya netizen akan tertarik dengan produk atau jasa yang direkomendasikan karena satu frekuensi. Namun, biaya yang ditawarkan endorser selaras dengan hasil. Cara ini sudah saya terapkan dan berhasil.
Sebaliknya, kalau brand hanya ingin menyampaikan informasi seperti billboard berjalan maka kriteria di atas bisa dilupakan sejenak karena yang dibidik adalah bagaimana promosi produk atau jasa kalian bisa tersebar dan viral. Relevansi pesan sama-sama tidak merugikan.
Bagi brand atau pemilik bisnis seharusnya juga menyiapkan budget digital marketing apabila ingin memakai jasa endorser. Kerjasama ini harapannya tidak ada cacat.
Tidak ada makan siang gratis, Bambang. Kadang endorser menerima karena mereka memikirkan kerjasama jangka panjang seperti suatu hari nanti bisa bekerjasama kembali atau menjadi teman. Semata-mata untuk menjaga hubungan baik dan positif.
g. Attitude
Kriteria endorser yang asyik sudah disebutkan di atas. Bagian akhirnya adalah attitude. Kita sepakat dulu kalau attitude itu nggak bisa dibeli. Banyak endorser sukses, besar dan dikenal oleh banyak orang tapi sayang tersandung di attitude.
Attitude datang dari kerendahan hati kita sendiri. Beberapa teman saya di agensi dan bekerja di brand bercerita tentang bagaimana mereka disulitkan oleh endorser karena attitude. Katakan kriteria memilih endorser yang asyik sudah didapat namun attitudenya menjadi minus. Seperti sudah dibayar dimuka namun menghilang. Kontrak yang dibatalkan sepihak.
Ada pula ketika dikumpulkan pada satu acara gathering bersama endorser lain, kesan star syndrome sulit ditutupi. Bahkan merasa dia lebih tahu dari endorser lain sehingga lebih mendominasi.
Maka dari itu, bungkus semua hasil kerja kalian dengan attitude yang baik. Tidak bisa menilai orang yang diluar seperti sinis tapi ternyata di belakang itu dia adalah orang yang lebih peduli kepada brand. Dan tidak bisa menilai ketika endorsernya baik-baik tapi ternyata di belakang dia menusuk.
Bagi brand dapat menjadi teman kerja yang enak berdiskusi. Hasil campaign yang berhasil bermula dari komunikasi dan kerjasama kedua belah pihak.
Jika kalian kesulitan dalam digital marketing, maka bayarlah jasa orang yang memang berpengalaman. Di dunia digital, saya sering berjumpa dengan orang-orang hebat dan sukses di atas saya. Pengalaman ini saya bagikan mungkin hanya kecil untuk membantu pemilik bisnis dan brand. Semoga bermanfaat!
Baca juga: Privilege Seorang Blogger
***
Follow @deddyhuang for latest update:
INSTAGRAM | TWITTER | FACEBOOK | YOUTUBE
Do not forget to subscribe/follow my blog to get updates on your email about new post.
Disclosure: This is just my personal experience. Thanks as always for your support!
[…] endorser untuk produk yang punya kesamaan target audiens. Tujuannya agar aktivitas Word of Mouth informasi […]
[…] Bagi brand tentu perlu ketahui bagaimana mencari endroser yang asik. […]
[…] yang baru merintis bisnis, tentu akan bertanya apakah perlu memanfaatkan influencer atau tetap promosi […]
[…] saat ini sudah banyak bermunculan orang-orang yang sering disebut sebagai endorser, blogger, influencer, selebgram atau youtuber mereka sering mempromosikan produk di media […]
Aku kadang takut nerima endorsan dari orang lain karna takut ga sesuai ekspektasi.
Apalagi produk yang mau di pasarin ga sesuai sama niche aku.
Jadi kalau engagamentnya kurang bagus aku ga bisa disalahin sepenuhnya dong fufufu.
Ya sesuai hati nurani aja.. hihi…
Tulisan yang keren. Terima kasih sudah membuka wawasan. salam
Para owner brands sebaiknya baca ini kalau memang mau serius dalam divisi digital marketing mereka. Tidak melulu perhatikan jumlah followers secara membabi buta.
Sebagai yang berkecimpung di digital marketing, banyak sekali perubahan. Kamu pun juga asyik jadi teman ngobrol soal ini mbak 🙂
Memang beda jika yang nulis adalah seorang endorser, banyak dapat pengetahuan baru dari tulisan ini. Thanks Koh…
makasih ya bang Dwi 😀