Tionghoa, sebutan ini kini menjadi familiar sebagai panggilan akrab bagi orang keturunan etnis Chinese. Merujuk dengan budaya Tionghoa tentunya banyak studi kasus mengenai adat budaya tersebut. Beruntungnya Palembang, kota kelahiran saya memiliki histori sejarah penting yaitu pernah ada Kerajaan Sriwijaya yang termasyhur zaman itu dan memberi pengaruh ke Nusantara.
Akibat pengaruh budaya Sriwijaya, bahwa pernah menjadi pusat pengajaran Buddha, maka Palembang juga menarik banyak peziarah untuk datang dan mendalami studi. Salah satu yang identik adalah tempat ibadah umat Tri Dharma yaitu klenteng.
Sebagai informasi, di Palembang terdapat banyak klenteng yang jumlahnya puluhan dari yang dekat kota sampai ke pelosok kota. Tempat ibadah ini menjadi rumah ibadah bagi orang Tionghoa. Masing-masing klenteng memiliki ciri khas sendiri, seperti jenis bangunan sampai dewa yang diyakini. Selain itu, nama klenteng juga diambil dari nama dewa tersebut.
Ada beberapa yang terkenal di Palembang yaitu klenteng tertua di Palembang, Klenteng Chandra Nadi atau Klenteng Soe Goeat Kiat atau lebih dikenal sebagai Klenteng Dewi Kwam Im. Klenteng ini menjadi klenteng tertua di Palembang dan masih tetap ada sampai sekarang di daerah Seberang Ulu. Selain itu tidak jauh dari klenteng Chandra Nadi, tepatnya seberangnya terdapat klenteng Hok Hie Te Sien atau Dewa Sien Kong yang dikenal sebagai ahli feng shui dan juga obat-obatan.
Tri Dharma berarti terdiri dari umat Buddha, Taoisme dan Konghucu. Dari ketiga aliran Buddha tersebut memiliki kesamaan dalam tata cara beribadah di klenteng bagi umat Buddha Tri Dharma. Umumnya bangunan klenteng didominasi dengan warna merah terang, ukiran patung naga, ukiran huruf cina dan lampion merah. Dalam tata cara beribadah pun masing-masing disesuaikan dengan urutan dewa mana yang terendah sampai yang tertinggi. Tapi pasti yang pertama adalah sembayang ke langit sebagai Dewa Langit (Thien Kong).
Selama beribadah tentunya tubuh kita akan beraroma dupa yang dibakar. Dupa-dupa ini digunakan sebagai media berdoa ke dewa dalam wujud patung yang dipercayai ada “nyawa-nya”. Sehingga dupa menjadi media agar doa mereka terkabul. Dupa sendiri memiliki jenis yang banyak mulai dari yang gampang terbakar atau mengeluarkan aroma cendana yang wangi.
Pihak klenteng pun juga menyediakan peralatan ibadah mulai dari jumlah dupa yang disesuaikan dengan jumlah dewa. Masing-masing dewa diberikan 3 dupa. Selain itu akan dilengkapi dengan “uang kertas” atau kim chua. Uang kertas ini sebagai simbol bahwa kita memberikan persembahan uang kepada dewa. Kalau kamu pernah menonton film zombie China zaman dulu, saat benda yang dibakar di dunia maka pada saat di alam baka benda tersebut akan berwujud seperti asli.
Selanjutnya kita memasang sepasang lilin berwarna merah, gula-gula, serta minyak sayur yang digunakan apabila ingin menambah minyak di lampu lentera. Penambahan minyak sayur ini diyakinin sebagai penambahan rejeki/keberuntungan bagi si pemberi. Apabila ada yang mau memberikan persembahan berupa makanan juga diperbolehkan untuk diletakkan di depan altar. Bentuk makanan mulai dari kue dan buah.
Selesai melakukan pembakaran dupa ke masing-masing patung dewa, ada satu lagi ritual bagi orang yang ingin bertanya langsung ke ‘dewa’. Cara ini dinamakan “Tiam Si” yaitu mengocok sumpit bambu yang telah diberi nomor. Nantinya, nomer yang ada di kayu bambu tersebut akan dicocokkan dengan kertas semacam fortune teller. Apa saja yang mau ditanyakan? Bermacam-macam, mulai dari jodoh, keuangan, atau keputusan akan sesuatu hal.
Proses terakhir, seandainya semuanya sudah dilakukan dengan membakar dupa, menambah minyak lampu. Maka yang dilakukan adalah pembakaran uang kertas di tempat yang telah disediakan, biasanya tempat ini berbentuk seperti pagoda dan punya tungku api bakar. Ada kepercayaan saat membakar uang kertas ini logo yang ada di uang kertas jangan dalam posisi terbalik saat dibakar. Kemudian, kertas tersebut dibiarkan terbakar secara alami, tidak boleh ditusuk abunya karena diyakini uang kertas tersebut akan rusak saat di alam baka. Menarik bukan.
Bagi umat Buddha yang ingin mengadakan pesta pernikahan pun juga dapat dilakukan di klenteng. Biasanya penggunaan klenteng sebagai tempat pesta karena luasnya klenteng tersebut. Selain itu pesta makan yang diadakan berupa ciak tok atau tamu undangan mendapat meja sendiri yang terdiri dari 4 orang dalam 1 meja. Menu makanan yang disajikan di klenteng biasanya dominan dengan babi.
Tata cara ibadah umat Tri Dharma ini hampir sama dengan umat Buddha di kota lainnya. Biasanya klenteng akan ramai pada hari-hari raya khusus, seperti perayaan Imlek dan Cap Go Meh yang baru saja dilewati warga Tionghoa. Namun, kalau kamu sedang berkunjung ke Palembang tak ada salahnya berkunjung ke klenteng selain untuk berdoa juga bisa untuk berfoto kenangan.
[…] dan membungkuk di depan tugu peringatan. Kalian bisa intip tata cara orang Tionghoa bersembahyang [klik]. Tradisi sembahyang cheng beng atau leluhur ini sedari kecil sudah […]
[…] untuk melakukan ritual sembahyang leluhur. Tradisi cara ibadah sembahyang leluhur mirip seperti tata cara ibadah di klenteng, hanya bedanya kalau di klenteng mengarah ke Dewa sedangkan sembahyang ke leluhur untuk menghormati […]
Jejak Laksamana Chen Ho ada di Bumi Sriwijaya
Terimakasih sudah berpartisipasi, Good luck
Makasih kembali mbak Donna.