Kerinduan untuk memeluk Tidore akan segera terlaksana. Bunyi mikrofon dari ruang tunggu Bandara Internasional Soekarno Hatta seakan memanggil agar penumpang pesawat JT 0897 segera masuk ke dalam bilik pesawat. Menit detik jam terus berjalan karena sebentar lagi pesawat akan tinggal landas menuju Ternate, Maluku Utara. Suara petugas bandara laksana gravitasi yang memanggil kami untuk segera menggerakkan badan sembari menahan kantuk menyeretkan kaki menuju pesawat. Pukul tiga subuh menjadi saksi saat berada di bandara tersibuk yang ada di Jakarta tersebut. Padahal, saya dan Yayan sendiri sudah terbang terlebih dahulu dari Palembang menuju Jakarta demi Tidore, pulau kecil yang ada di Timur Indonesia.
Dalam benakku menyesapi perjalanan kali ini seolah ada gravitasi besar yang membuatku ingin sekali menginjakkan kaki bukanlah ke Ternate, melainkan ke Tidore, pulau yang hanya dapat dijangkau melewati pulau saudaranya tersebut. Destinasi tujuan yang semuanya berawal dari obrolan malam di Raja Ampat. Namun, sebelum kita sampai di Tidore, kita harus masuk ke Ternate sebagai pintu gerbang kita sampai di Pelabuhan Rum, Tidore.
Sosok pramugari menghentikan sejenak lamunanku karena memang tugasnya menjelaskan keselamatan dan keberadaan pintu darurat. Sedangkan kita untuk mengharuskan diri untuk melihat setiap intruksi keselamatan yang dia berikan. “Cantik,” ungkapku dalam hati. Pramugari itu berhasil menarik tiap pasang mata yang berada di dalam pesawat segera memperhatikan gerakan tangannya dalam hal memperagakan keselamatan di atas pesawat.
“All crew, take boarding position. Roger.” Suara interfon dari sang kapten membuat perjalanan kali ini seakan tidak sabar segera berjumpa dengan aura laut dan udara sejuk. Tak berapa lama, pesawat pun mulai perlahan naik ke atas meninggalkan landasan terbang menuju penerbangan dini hari dari Bandara Soekarno Hatta membawa kami menuju Maluku Utara. Kantung mataku pun mulai menutup akibat perjalanan jauh dari Palembang demi membuktikan sendiri indahnya Tidore Kepulauan. Lalu, bercerita kembali kepada kalian dalam tulisan agar apa yang saya rasakan tidak terhenti sampai di sini saja.
Kalian sudah siap?
Tidore Dalam Balutan Sejarah di Mata Dunia dan Indonesia
Tanganku menarik majalah yang terselip di depan bangku penumpang. Halaman per halaman kubuka dan kuhabiskan untuk dibaca. Hingga sampai halaman akhir, halaman yang berisikan peta rute penerbangan. Mataku pun sempat memandang lama bahkan kuusap sejenak melihat dimana nama “Tidore” dalam peta tersebut. Sayangnya nama itu pun tidak berhasil saya temukan dalam peta. Barangkali bagi orang, Tidore hanyalah sebuah kepulauan kecil yang tidak memiliki makna bagi Indonesia.
Dengan berbekal pengetahuan saya di bangku sekolah mengenal Tidore adalah dimulai dari nama Sultan Nuku yang menjadi gravitasi terkuatku untuk mengenal Tidore. Kemasyuran namanya dalam proses pengusiran para elite Inggris dan Belanda yang sempat menjajah pulau tersebut demi tanaman rempah. Hingga akhirnya menimbulkan “bekas” mendalam bagi Ngofa Tidore. Tidakkah kamu berpikir bahwa pulau kecil ini bahkan sangat kecil hingga tidak tampak di dalam peta wilayah Indonesia ini memiliki pesona gravitasi pada masa lampau?
Orang-orang elite penjajah rela datang demi mendapatkan buah merah dari tanaman pala dan aroma kuat dari cengkeh. Pulau ini memiliki hasil kekayaan alam bumi yang tak bisa kita tutup dari sejarah. Sejarah mencatat masa lalu, sekarang dan masa depan. Saya membiarkan tubuh dan pikiran saya menghanyut dalam perjalanan lorong waktu sejarah.
Kesultanan Tidore merupakan salah satu kerajaan Islam yang berada di kepulauan Maluku. Kesultanan ini berpusat di wilayah Kota Tidore Maluku Utara. Masa kejayaan kesultanan Tidore terjadi sekitar abad ke-16 sampai abad ke-18. Kesultanan Tidore merupakan satu dari empat kerajaan besar yang berada di Maluku, tiga lainnya adalah Ternate, Jailolo dan Bacan. Namun hanya Tidore dan Ternate-lah yang memiliki ketahanan politik, ekonomi dan militer. Keduanya pun bersifat ekspansionis, Ternate menguasai wilayah barat Maluku sedangkan Tidore mengarah ke timur dimana wilayahnya meliputi Halmahera Tengah, Halmahera Timur, Maba, Patani, Seram Timur, Rarakit, Werinamatu, Ulisiwa, Kepulauan Raja Empat, Papua daratan dan sekitarnya.
Sejarah pernah tertulis bagaimana Sultan Nuku yang mendapat julukan Jou Barakati ini memiliki arti Panglima Perang. Kemudian, merasakan kuatnya perjuangan Sultan Nuku dalam hal strategi peperangan dengan kapal Kora-Kora hingga membuat pada masa keemasannya Kesultanan Tidore mempunyai wilayah kerajaan yang luas yang meliputi Pulau Tidore, Halmahera Tengah, Weda, Seram Timur, Ambon, Papua dan banyak pulau-pulau di pesisir Papua barat.
Tunggu sebentar. Kalian sedang tidak salah baca dengan apa yang saya baru saja tuliskan, bahkan dua kali saya tuliskan ulang. Luas wilayah kekuasaan Tidore menjangkau hingga Papua! Maka kenapa saya dulu mengatakan semua berawal dari Raja Ampat itu ada alasannya. Alasan yang kuat kenapa saya ingin sekali berkunjung ke Tidore untuk merasakannya sendiri.
Mengenal Sosok Sultan Nuku
Masa kejayaan Kesultanan Tidore terletak pada masa pemerintahan Sultan Nuku (1780-1805 M). Sultan Nuku akhirnya menyatukan Ternate dan Tidore ketika kedua kesultanan tersebut “diadu domba”. Dengan “bersekutu” atas bantuan Inggris, Sultan Nuku bersama pasukan melawan kolonial Belanda sehingga Belanda kalah dan terusir dari Tidore. Sementara itu, Inggris tidak mendapat apa-apa kecuali hubungan dagang biasa. Sultan Nuku memang cerdik, berani, ulet, dan waspada. Sejak saat itu, Tidore menjadi kesultanan yang damai baik oleh Portugis, Spanyol, Belanda maupun Inggris sehingga kemakmuran rakyatnya terus meningkat.
Sejarah mencatat bahwa hampir 25 tahun, Nuku bergumul dengan peperangan untuk mempertahankan wilayah kekuasannya dan membela kebenaran. Sewaktu di dalam Kadato Kie yang merupakan saksi bisu bukti kekejaman yang dilakukan oleh penjajah dengan membakar seluruh isi keraton tanpa menyisakan apapun membuat saya seolah masuk dalam dimensi lain. Dimensi gravitasi yang mengiringku untuk menyusuri jejak kaki di tiap sudut keraton.
Kadato Kie memiliki bangunan kesultanan dengan posisi strategis di Tidore. Letaknya yang di tengah membuat kita dapat memandang seluruh wilayah Tidore dari Utara, Barat, Timur, dan Selatan. Berhadapan langsung dengan laut dan membelakangi Gunung Kie Matubu yang gagah dan membuat saya ingin mendaki ke atasnya. Keraton kesultanan Tidore yang saat ini sudah mengalami perbaikan sebanyak tiga kali hingga sekarang sejak terakhir mengalami kerusakan parah akibat dibakar pada zaman penjajah hingga tidak menyisakan bukti-bukti sejarah, selain mahkota yang berhasil di selamatkan di salah satu rumah warganya.
Dimana letak mahkota tersebut saat ini yang konon selalu tumbuh rambut di atas kepalanya? Biarkanlah menjadi misteri karena kita sendiri tidak mendapatkan izin untuk melihat mahkota tersebut. Sebab, mahkota tersebut “memilih” orang yang bisa melihatnya secara langsung.
Tidak banyak foto-foto lama yang terpajang di dalam Kadato Kie, namun saya masih bisa melihat gambar keraton pada masa lampau sebelum dibakar dan saat mencocokkan dengan bangunan sekarang memang sudah tidak relevan karena ada beberapa bagian yang juga dibangun kembali.
Kakiku terhenti pada sebuah figura besar dengan debu yang menempel di tiap sisinya. Tanpa disadari mataku menatap lama membaca tiap nama yang ada di peta wilayah Kesultanan Tidore dengan spidol merah tebal membatasi tiap wilayah dari Halmahera hingga Papua.
Bagaikan petir menyambar hati, sungguh tersentuh mendengar cerita heroik perjuangan Sultan Nuku ini langsung dari para Garda Nuku. Garda Nuku merupakan Generasi Muda yang mengibarkan bendera (paji) semangat perjuangan Nuku dan kesolidan mereka tampak sekali dari sorot mata tajam mereka dan kecintaan dengan Tidore.
Melanjutkan kisah Sultan Nuku yang memproklamasikan sebagai Sultan Tidore, Nuku memperoleh kemenangan yang gemilang. Keberhasilannya dalam membebaskan Kesultanan Tidore dari kekuasaan Belanda dan mengembalikan pamornya. Penghujung abad ke-18 dan permulaan abad ke-19 adalah era keemasan Tidore di bawah Nuku. Pada titik ini, kebesaran Sultan Nuku dapat dibandingkan dengan keagungan Sultan Babullah yang telah mengusir Portugis dari Ternate.
Sejarah Mencatat Revolusi Tidore
Dalam strategi perperangannya, Sultan Nuku berdiplomasi dengan Belanda maupun dengan Inggris, mengatur strategi dan taktik serta terjun ke medan perang dengan kapal Kora-Kora. Semuanya dilakukan hanya dengan tekad dan tujuan yaitu membebaskan rakyat dari cengkeraman penjajah dan hidup damai dalam alam yang bebas merdeka. Aksi yang dilakukan oleh Sultan Nuku ini dikenal sebagai Revolusi Tidore.
Tepat pada tanggal 10 April pada waktu itu, Nuku beserta prajuritnya yang terdiri dari 150 kora-kora dengan 6000 orang prajurit sudah berada di Pulau Mare dan Akelamo. Dalam taktik strateginya Nuku memberikan ultimatum khusus kepada Sultan Kamaluddin di Tidore untuk menyerah tanpa syarat dan wajib menyerahkan mahkota dan upacara kerajaan kepada Nuku.
Lalu pada tanggal 11 April 1797, Nuku mengeluarkan perintah kepada seluruh panglima perangnya bahwa:
- Angkatan perang Kaicil Paparangan hanya memerangi kompeni Belanda dan sekutunya Ternate. Orang Tidore tidak diganggu begitu pula orang-orang Ternate yang bersekutu dengan Nuku.
- Masing-masing pasukan melaksanakan tugasnya sendiri dan melaporkan pada hari yang telah ditentukan, kecuali tugas selesai dalam waktu yang lebih singkat.
- Jangan membunuh orang yang tidak melawan atau yang sudah menyerah. Jangan membakar rumah-rumah dengan sia-sia.
- Barang rampasan berupa senjata api, amunisi dan mesiu harus dibawa kembali ke markas berkas.
- Orang-orang Belanda yang tertawan jangan dibunuh melainkan dihadapkan kepada Nuku.
Momen penyerbuan pada tanggal 12 April 1797, saat fajar menyingsing dan satu pasukan induk dengna kekuatan 70 buah kora-kora dibawah komando Nuku dan Panglima Muda Abdul Gafar, sepasukan sayap kiri dengan 20 buah kora-kora di bawah komando Zainal Abidin, sepasukan sayap kanan dengan 20 buah kora-kora di bawah komando Raja Maba dan pengawal belakang dengan 40 buah kora-kora di bawah komando Raja Salawati mulai bergerak.
Ternyata aksi heroik Nuku beserta rombongan membuat Sultan Kamaludin dan ultimatum yang diberikan Nuku membuatnya lari tunggang langgang melarikan diri ke Ternate dengan lima buah kora-kora dan dikawal oleh sepasukan serdadu Belanda.
Tepat pada saat itu juga, Nuku dan prajurit tiba di Soasio, Tidore tanpa perlawanan apa-apa. Bahkan tidak ada setitik darahpun yang tumpah. Tidak ada sosok orang yang kehilangan keluarga mereka. Semua pasukan disambut dengan sorak dan suka cita oleh Bobato-Bobato, pengurus semua urusan di kedaton dan Kimalaha yang merupakan pemimpin untuk marga-marga yang ada di Tidore. Secara langsung Nuku dinobatkan menjadi Sultan atas seluruh Kerajaan Tidore dengan gelar Sri Paduka Tuan Sultan Said’ul Jehad Muhammad el Mabus Amiruddin Syah Kaicil Paparangan, Sultan Tidore, Papua, Seram dan daerah-daerah taklukannya.
Tidakkah cerita “Revolusi Tidore” ini membuat air mataku menetes mengenai baju koko putih dengan dilapisin jubah dan besu yang menjadi simbol baju adat Tidore. Sungguh kehormatan serta kebanggaan saya diberikan izin untuk menggenakannya layaknya menjadi orang Tidore.
Kepergian Sosok Baik Nuku Bagi Masyarakat Maluku
Ada perjumpaan, ada pula perpisahan. Sosok yang diagungkan oleh masyarakat Tidore itupun pergi untuk selamanya saat tanggal 14 November 1805. Tidore seperti kehilangan seorang sultan yang di kalangan orang Inggris dikenal dengan “Lord of Fortune”. Kepergian Sultan Nuku dalam usia 67 tahun tidak hanya membawa kesedihan mendalam bagi rakyat Maluku, tetapi juga memberikan kedukaan bagi rakyat Tobelo, Galela dan Lolada yang telah bergabung ke dalam barisan Nuku sejak awal perjuangannya.
Tidak jauh dari Seroja, penginapan tempat kami bermalam selama di Tidore berlokasi di Soa Sio. Tepatnya berjalan kaki sekitar 500 kilometer kita bisa menemukan sebuah gapura bertuliskan “Makam Sultan Nuku” yang apabila kita masuk ke dalamnya terdapat sebuah makam dipagar dengan bentuk makam bertatakan batu-batu dan terawat. Makam ini menjadi tempat bagi tiap pengunjung datang untuk nyekar dan memanjatkan lafal doa di depan pusaran Sultan Nuku.
Di dalam area makam yang tidak terlalu besar ini juga terdapat makam-makam dari sultan lainnya. Namun, ada larangan baik perempuan untuk tidak melakukan ziarah ke Makam Sultan Nuku. Termasuk memasuki wilayah Masjid Sigi Kolano atau Masjid Sultan. Masjid yang tidak jauh dari makam ini memiliki aturan-aturan yang berlaku di dalamnya. Khusus untuk pria yang sholat hanya diperbolehkan menggunakan celana kain panjang, baju koko putih dan peci. Sehingga tidak diperbolehkan menggunakan kain sarung atau baju berwarna. Dan sekali lagi, perempuan juga tidak diizinkan untuk sholat di masjid tersebut.
Selain memiliki kecerdasan dan karisma yang kuat, Sultan Nuku terkenal akan keberanian dan kekuatan batinnya. Ia berhasil mentransformasi masa lalu Maluku yang kelam ke dalam era baru yang mampu memberikan kepadanya kemungkinan menyeluruh untuk bangkit dan melepaskan diri dari segala bentuk keterikatan, ketidakbebasan dan penindasan. Bagaikan napak tilas dalam sejarah mendengarkan kisah yang begitu indah bahkan membuatku yang notabenenya orang luar ikut merasakan semangat dan perjuangan Sultan Nuku.
Tidore Untuk Indonesia, Belajar Menyerahkan Segalanya Untuk Kebaikan Bersama
Disaat itu juga, saya mengucap rasa syukur dapat menginjakkan kaki ke Tidore mengikuti gravitasinya yang besar. Namun, ternyata gravitasi Tidore bukan hanya dapat dinikmati dari sejarah saja. Di mata dunia bahkan jauh sebelum kemerdekaan, tersimpan sebuah rahasia yang mungkin belum begitu banyak orang mengetahuinya. Bahkan di saat saya menuliskan dan mengingat kembali dengan apa yang diceritakan diiringi lagu “Ngofa Sedano” membuat saya kembali menitikkan air mata di depan layar laptop.
Di masa lalu Tidore merupakan sebuah kesultanan yang memiliki pengaruh begitu besar di wilayah timur kepulauan Nusantara. Berdiri di abad ke-11, Kesultanan Tidore berpengaruh hingga ke Papua negeri-negeri lain di Samudera Pasifik.
Tidore bergabung dengan Republik Indonesia pada tahun 1950, bersamaan dengan hancurnya Republik Indonesia Serikat (RIS) yang diciptakan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag pada Desember 1949. Di tahun 1956, Tidore berperan dalam pembentukan Provinsi Perjuangan Irian Barat. Di tahun itu pula Sultan Zainal Abidin diangkat sebagai Gubernur Irian Barat dan Tidore sebagai ibukotanya. Dan masa sekarang, Tidore berstatus sebagai kota di Provinsi Maluku Utara.
Figura yang saya lihat di dalam Kadato Kie menimbulkan efek pertanyaan yang sulit untuk saya pahami kecuali bertanya langsung dengan mereka, Ngofa Tidore ataupun Garda Nuku yang lebih mengetahui alasan tepatnya. Pertanyaan yang sederhana tentang bagaimana proses pembentukkan NKRI jikalau bukan karena Tidore?
Tidore adalah kerajaan besar pada masanya, dan berkuasa hingga seluruh Pulau Papua. Rahasia yang saya katakan mungkin belum banyak orang ketahui bahwa pada saat Presiden Soekarno sampai dua kali untuk “merayu” Sultan Zainal Abidin Syah agar semua wilayah Tidore, khususnya Papua bisa bergabung ke NKRI secara suka rela. Sungguh saya tidak dapat membendung gejola dalam hati bagaimana bisa Tidore secara suka rela menyatakan bergabung dengan NKRI?
Apakah yang ditawarkan oleh Presiden Soekarno saat itu? Dan apa yang diberikan Indonesia saat ini untuk Tidore? #TidoreUntukIndonesia
Memang benar, gejola dalam hati saya seakan belum ingin keluar dari lorong waktu mendengarkan kisah-kisah sejarah yang sangat luar biasa. Dari sini saya belajar sifat legowo teramat kiamat, meminjam kosakata baru yang saya dapatkan saat di Tidore menggambarkan kata “kiamat” sebagai frase sangat. Jika tidak ada Tidore, maka tidak ada Sabang sampai Merauke.
Selama berada di Tidore dan bersama “keluarga baru” saya, saya merasakan mereka Ngofa Tidore tidak meminta imbalan apa-apa. Keikhlasan mereka menyerahkan semua wilayah untuk bergabung ke NKRI sudah terjadi. Namun, saya masih merasakan “duka miris” yang tampak untuk masa sekarang bahwa keikhlasan mereka belumlah mendapatkan kelayakan atas jasa-jasa yang ditorehkan oleh para leluhur. Sama dengan perhatian pemerintah terhadap negeri-negeri yang lain.
Mohon berikan saya jeda untuk menarik nafas sejenak kemudian kembali mengetikkan kata-kata yang barangkali sangat sulit bagiku untuk ceritakan. Saya sudah menyadarinya saat berada di Tidore bahwa ini akan menjadi bagian yang tersulit saat bercerita kembali. Kita, tidak boleh membiarkan Tidore terlalu jauh ditinggalkan bahkan tidak diperhatikan. Pulau kecil ini banyak menyimpan “rahasia” yang belum banyak diketahui oleh kita. Cerita sejarah yang saya dapatkan barangkali ini bukanlah yang mendalam, tapi tidak membuat saya bodoh dan menutup pemikiran saya. Ternyata, di dalam rumah kita di Indonesia ada satu kamar yang ditempati yaitu Tidore. Kearifan lokal yang sangat erat dalam mempertahankan tradisi dan saat ini sedang berjuang mempertegas jatidiri bahwa mereka pernah menjadi bangsa Maritim.
Jari jemari saya ingin terus mengetik dan berbagi cerita perjalanan saya di Tidore. Memang ini bukanlah kisah yang dapat dituntaskan dalam waktu satu tulisan ataupun satu malam. Bahkan saya iri dengan kalian yang mana saya dapat mengenal langsung dengan kesultanan kalian daripada kesultanan yang ada di kota kelahiranku yang jujur ada rasa ingin mengenalnya juga. Ketika saya ikut menikmati perjalanan selama 6 hari 5 malam masih merasakan belum cukup untuk mengenal lebih dekat dengan Tidore. Jika ada jodoh, saya ingin mengulang kembali.
Syukur Dofu-Dofu!
To Ado Re, Tidore…
Aku telah sampai, Tidore…
[…] syair Kabata – nyanyian yang memiliki pesan perjuangan dan kehidupan bagi masyarakat Tidore ini memecahkan keheningan malam Gurabunga. Pijar api dari obor yang dipegang oleh peserta ritual […]
selain terdapat sejarah, terdapat pula destinasi yang begitu mempesona…..terima tlah berbagi…..
[…] kelelahan mendukung ransel seolah terbayar begitu “To Ado Re”, aku telah sampai di bumi Marijang. Pulau kecil yang bahkan di peta pun hampir tidak terlihat […]
[…] dari nipah sendiri bisa digunakan kembali untuk rokok nipah yang pernah saya jumpai pada saat ke Tidore beberapa bulan lalu. Rokok nipah ini berbentuk seperti lintingan tembakau dan nipah kemudian […]
Salam,
Saya pernah dengar lagu Tidore yang kalau tidak salah judulnya “To Lulu Lulu”. Saya suka sekali lagu itu, namun file yang saya punya hilang. Dan saya sudah mencari-cari di internet untuk mendownload lagu tsb, tapi sayangnya hingga saat ini masih belum ketemu. Kalau boleh minta tolong, mungkin ada yang mau kasih tau saya link untuk mendownload lagu tsb, boleh kirim ke email saya 0n3n0n3@gmail.com . Terima kasih.
[…] Tidore Tempo Dulu, Sekarang dan Masa Depan […]
kalo ternate tidore bahkan sampa papua, gak bisa bayangin luasnya wilayah majapahit yang katanya punya wilayah terbesar.
Karena mereka dulu pernah berkuasa makanya pasti luas wilayahnya dicari buat memperkuat.
Secara ibu saya orang maluku, saya selalu punya kesan dan ikatan khusus dengan provinsi ini.
sayangnya saya baru pernah menginjakkan kaki di Ambon dan Banda Neira, mudah2an Tidore juga bisa dijelajahi suatu saat nanti.
Banda Neira juga menarik diexplore soalnya ada rumah Bung Hatta. Tidore banyak sekali yang harus digali.
tulisannya panjang sekali! tapi sangat informatif, koh!
aku baru tau bentuk buah pala kayak gitu hahaha.
seru banget ya acara kemaren? ahh jadi pengen.
Semoga makin mengenal Tidore ya Gallant. Aku pun pengen balik lagi ke Tidore.
Tulisan yang panjang. Membacanya bikin merenung dalam2. Mendadak kangen Tidore lagi…
Mau di renungin cakmno yuk rien wkwkkw.. peh ke Tidore..
wah mantap pokoknya kang deddy huang pemandaanganya sangat bagus sekali…
terima kasih …
Wah, kalian nyampe agak siangan ya jadinya bisa ngeliat Tidore dan Maitara dari pesawat. Aku, Rifqy dan Mbak Zulfa sampe sana masih pagi banget, berkabut di bawah, dan silau di kaca pesawar. Cuma bisa menerka-nerka pulau-pulau yang ada di bawah itu apa aja
Btw, masih kentang nih. Masih banyak banget yang belum dieksplor: Kadato Biji Negara, Seli (salah satu tempat bersejarah di Tidore), juga bekas-bekas kadato lama di Mareku dan Rum. Mudah-mudahan ada kesempatan lagi ke sana, plus dengan kamera lebih bagus. Hahaha.
Semoga lah bisa kembali lagi ke sana untuk rekam jejak lagi.
amin ya Allah 🙂
Wah pengetahuan baru tentang keindahan Indonesia
Semoga menginspirasi ya mbak 🙂
dari atas pesawat udah keliatan keindahan tidore ya mas…
tidore emang tempat penus sejarah dengan kesultanannya. sampe sekarangpun budaya itu masih kental terlihat…
btw, sekalikali tulis tentang tulehu dong mas. hehehe
Tulehu? Ini tentang apa ya mbak? Saya baru dengar hehe..
Baru tau ternyata wilayah kekuasaanya luasss banget
Aku punya impian buat kelilingi wilayah Tidore tempo dulu hehe
Senangnya ke Tidore.
Pas nulis Tidore jg jd tau ya ttg sejarahnya. Pdhl kalau mau Tidore bisa jd nergara sendiri waktu itu 😀
Btw itu knp cuma mbatin “cantik” ttg mbak pramugarinya? gak diajak kenalan? hahahaha
Dia punya efek yang berbeda mbak si pramugarinya haha…
Aku pengen balik lagi ke Tidore mbak april
Lengkap sekali artikelnya, jadi banyak tahu tentang tidore, salam sukses kunbal ya hhe
Semoga inspirasi dan lebih mengenal Tidore.
Tidore dulu juga merupakan bagian dari Maluku kan Om.
Tapi sekarang udah pada Mekar. Biarpun begitu ada istilah “dari unjung Halmahera sampai Tenggara Jauh, Katong Samua Basudara” Maluku dan Maluku Utara, memiliki hubungan yang sangat erat.
Btw Aku Orang Ambon Om Koh.. wkakaka.
Ciee ambon.. ada semacam rasa gimanaa gitu yaa.. ambon manise
Hahaha iaiaiaiia om Koh.. Ambon Manise. Kapan” main ke Ambon ya om Koh 🙂
keindahan laut dan alam timur agak telat kita tau pesonanya ya. padahal semakin ke sini artikel lumayan mulai mengupas keindahan maluku sekitarnya ini. pengen deh ke sini. suamiku pasti megap megap liat laut di sana ???
Ini belum masuk ke tahap lautnya banget… masih kulitnya aja.. nanti akan ada hihi… masih sulit move on buat cerita kearifan lokal masyarakat Tidore nih.
ditunggu koh. tar aku kasih liat suami
Muahahaha ngakak liat foto muka gosong. Kita nampak ganteng sekali (cantik, buat yang tengah, kalo gak disebut ntar aku dikutuk jadi kuah kari).
Tidoreeee tunggu aku ya! mau ke sana lagi.
Aamiin semoga bisa ke Tidore lagi..
Baguuusss.. Sultan Nuku keren abiiis, aku jd ngefans.. 😀 Luas banget ternyata wilayah kekuasaan Tidore waktu itu ya Ko Deddy, gak nyangka sampai Papua juga.. Btw, perempuan kenapa gak boleh ziarah sama solat di masjid itu ya Ko?
Aku tanya tapi belum nemu jawaban. Udah jadi turun temurun.
Tidore oh tidore, jadi tertarik jugaa nih aku bang sama keindahan dan ragam budaya serta sejarah Tidore 😀
Kamu pasti tertarik sama cowoknya,
Kayaknya koh Deddy ini lagi “ketagihan” pakai kata “gravitasi”, banyak banget katanya wkwkwk.
Ikut seneng bisa mewujudkan impiannya ke Tidore, koh. Saat ini aku hanya bisa menikmatinya dari lembaran uang Rp 1.000,00 yang lama 😀
Sangat menarik bahwa pulau mungil ini memiliki dampak besar bagi sejarah dunia dan nusantara.
Kamu jeli sekali bacanya… hihi…
Aku ketagihan balik lagi. Kayak ada gravitasi yang narik haha
(((gravitasi)))
Wahhh…sedap betul baca tulisanmu, Ded.
Jadi kangen ngumpul seru-seruan lagi.
Berarti untuk infrastruktur dan tata kota, masih lengkap Ternate ya ko? Oya, kamu coba manisan pala tidak pas ke Tidore kemarin?
Boleh dikatakan iya, tapi kamu pasti akan jatuh cinta sama Tidore begitu merasakan tidak ada kemacetan, kondisi yang kondusif, warga yang nyaman.
Coba dong manisan palanya… sedap 😀
Romantis sekali tulisan ini. Kentara bahwa sang penulis seakan ingin berlama-lama di Tidore bahkan mungkin hingga berbulan-bulan demi menyelami lebih jauh. Semoga kembali ke sana, Mas! 🙂
Tentu dong Rifky, ada hasrat ingin lebih lama lagi di Tidore dan mengelilingi wilayahnya dulu hingga ke Raja Ampat.
Bermalam di Gurabunga, mengunjungi Gurabati juga tidak boleh terlewatkan.
Semoga bisa ke sini, memeluk pujaan hati.
Aamiin…
Kiranya keinginan Mbak Ros segera terwujud dan bisa memeluk…. aku *eh :p memeluk Tidore hehe…
sebenarnya garang yang di sebelah, tapi kalau urusan cakep apa nggak itu tergantung selera orang masing2, lah…malah komen beginian wkwkw
hahaha.. kamu menangkap pesan tersembunyi dariku eaaa cakep..
?????
Terbaiiikk….!!
Syukur Dofu-Dofu ko Yudi…
Ah akhirnya Om Deddy singgah ke Tidore.. Aku lihat di Medsos yg berangkat ksana keren Om Ded. Jadi Mupeng aku..
Eh ia Om, disana ada larangan nya ya kalau perempuan tidak boleh ziarah.
Syahdu sekali om Fajrin… bagaikan masuk ke dunia lain..
iya ada larangan yang memang udah turun menurun.
Ah asik banget kalau syaduh begitu Om.. Oh sudah turun menurun ya Om Ded..
Disana Om Deddy dapat edek” emesh gak :p
Gak jumpa dedek emesh -.- gak tahu pada kemana nih
Pengalaman kalian selama di Tidore sukses bikin aku envy beraaaat. Doakan semoga aku bisa kesana juga ya, Koh. Mupeng banget 😀
Semoga semesta mendukung ya mbak Ika dan kamu juga bisa ikut merasakan seperti yang aku rasakan dengan sudut pandangmu sendiri tentunya.
Aku baru tahu klo ada larang bagi perempuan berziarah ke Makam Sultan Nuku. Maaf, kemarin saya berziarah walau sejenak. Klo Masjid Sultan, Saya foto fot dari luar.
Tulisan ini bikin aku baper pingin ke Tidore lagi 🙂
Kalau di depannya saja gak apa-apa mbak, asal jangan masuk sampai ke Makam Nukunya saja, itu info yang saya dapat dari Ko Yudi.
Baper balik lagi ke Tidore ya, semoga kita bisa ikut ke Festival Nuku, mbak.. bisa gosip lagi di depan mobil :))
Pengen komentar tapi bingung mau komentar apa #speechless
Sudah membacanya saja saya sudah senang. Apalagi bang Dwi juga ikut share.. Makasih banyak ya bang..
Semoga kita bisa kembali mengucap To A Dore
Aamiin. Aku masih penasaran bermalam dan bercerita Desa Gurabunga…
Kalau mbak Tati kangen sama pak polisi yang di depan Seroja ya :p