Langkah kaki saya masih enggan untuk balik ke hotel selepas menikmati makan malam di Loulan Islam Restaurant. Rasanya sayang sekali hanya untuk berdiam diri di kamar. Saya masih ingin menikmati malam di Macao, itu yang saya katakan pada Mas Christo saat kami berjalan berdua membelakangi Mas Zul dan Mbak Dewi.
“Ayo! aku temenin mas tapi nanti gantian temenin balik ke restoran tadi ya soalnya kelupaan ambil nota buat klaim kantor,” serunya dan kita sepakat berjalan sebentar sambil membakar kalori kembali. Tujuan kami ingin menikmati suasana malam di sekitaran Senado Square.
20.30 PM
Dinamika kehidupan kaum modern Macao tampak jelas setelah mereka pulang kerja. Gaya kantoran dengan tas kerja serta merokok seolah tampak biasa di Senado Square. Keramaian hanya terlihat di sudut-sudut pertokoan makanan yang saya yakin mereka pasti adalah turis dari Hong Kong maupun daerah Tiongkok lainnya.
Di mana penduduk lokalnya? Terkadang bisa kita jumpai mereka akan duduk memojok di sekitaran taman samping Gereja Kathedral menikmati bir sambil bercanda dengan teman-teman mereka.
Kaki saya masuk ke Giordano, melihat-lihat koleksi baju musim dingin. Sebenarnya saya tidak begitu tertarik pada baju dingin, sebab saya sendiri juga tidak tahu kapan bisa traveling ke negara 4 musim.
“Mei you tuan de yi fu ma?” tanya saya pada penjaga tokonya dan dia tampak heran karena saya mencari kaos disaat masih musim dingin. Tiba-tiba kita tertawa sambil mata saya melihat ke sekeliling display pakaian temanya musim dingin. Selesai bertanya, saya hanya melihat sekilas koleksi coat yang katanya akan turun harga setelah habis musim dingin.
Dari arah jauh, ketiga teman saya sedang sibuk dengan gadget mereka masing-masing. Saya memberi isyarat untuk berjalan menuju reruntuhan gereja St. Paul, bangunan ikonik yang wajib dikunjungi saat ke Macao.
Walau Macao bukan tergolong metropolitan, namun jalanan di Macao masih sangat aman bagi kita berjalan saat malam. Pukul 9 malam jalanan mulai terasa sepi, apalagi di lorong. Para penjual kaki lima sudah mulai membereskan dagangan mereka, kecuali toko-toko biasanya mereka pukul 10 malam.
Baca juga : Romantisme Reruntuhan Gereja St. Paul, Macao
Menikmati Malam di Reruntuhan Gereja St. Paul
Reruntuhan gereja St. Paul terlihat berdiri kokoh dari arah kaki saya berdiri. Bangunan yang menjadi salah satu tempat wajib dikunjungi di Macao ini memang berbeda suasananya saat malam hari. Justru di waktu malam suasana reruntuhan gereja St. Paul lebih romantis daripada saat pagi hari. Tidak ada grup tur yang membawa baliho besar atau lautan manusia yang berfoto dengan latar reruntuhan gereja. Hanya ada pasangan muda-mudi yang sedang dilanda asmara.
Saya? saya hanya menikmati pemandangan sejuta dolar di Macao dari atas reruntuhan gereja St. Paul kita bisa melihat kerlap-kerlip lampu Grand Lisboa, kasino besar di Macao Peninsula.
Telunjuk saya terus mencari setelan kamera yang pas untuk suasana malam. Foto saat malam hari memang tantangan, saya memang tidak bawa tripod dan mencari alas untuk meletakkan kamera pun tidak ada. Cara yang saya lakukan menahan nafas dan perut sekitar 3 hingga 5 detik agar tangan tidak tremor.
Dua orang mendekati saya ketika saya sedang melihat hasil foto di kamera. Saya melihat memberikan senyuman pada mereka. Si pria meminta bantuan saya untuk memfoto dia bersama pasangannya. Tentu saja dengan senang hati saya memotret mereka. Saya langsung menerima uluran ponselnya dan mulai mengarahkan keduanya mulai bergaya. Memang berbeda saat foto traveling hanya berupa selfie dengan difoto orang.
Tiba-tiba terlintas saya juga ingin memotret mereka menggunakan kamera saya. Mereka pun senang akhirnya saya kembali memotret mereka dan memindahkan foto mereka ke ponsel untuk mengirimkan lewat email. Yippie!
Selesai saya memotret mereka, tiba-tiba dari arah belakang ada suara seseorang yang saya kenal.
“Mas, aku juga mau dong difotoin!” mas Christo langsung menyodorkan iPhone-nya dan mengambil posisi siap foto.
Dalam perjalanan ke Macao, saya dan Mas Christo lebih banyak saling memotret. Sedangkan, Mas Zul dan Mbak Dewi jarang sekali tertangkap dalam bidikan kamera kecuali kalau mereka minta dipotret sendiri.
Saya mengecek whatsapp group, ternyata mbak Dewi dan mas Zul sudah pulang duluan ke hotel karena mereka kelelahan. Tinggal saya berdua yang melanjutkan menuju Grand Lisboa, kasino yang memiliki bangunan paling nyentrik di tengah kota.
Baca juga : Macao, Potret Lingkungan Ramah Pejalan Kaki
Grand Lisboa, Di Balik Gemerlap Kasino
Google maps berhasil menuntun kami menuju Grand Lisboa selepas dari reruntuhan gereja St. Paul. Sangat mudah menemukan Grand Lisboa di antara lorong, kami hanya mengikuti arah bangunan tinggi tersebut berdiri.
“Ah, Lisboa…” mendesih saya dalam hati lalu segera mencari posisi untuk mengambil gambar. Pantulan lampu LED yang menyelimuti bangunan memang menyilaukan tapi tahukah kalian kalau dibalik kilauan itu ada cerita tersembunyi dari orang-orang yang telah menaruhkan seluruh hartanya di kasino?
Seorang pria mendekati saya dengan bahasa Mandarin dia menawarkan kepada saya untuk membeli iPhone X miliknya. Saya dan Mas Christo saling melirik kemudian menolak halus menggunakan tangan.
Lalu saya ingat kalau dia adalah pria yang tadi siang juga menghampiri kami saat sedang makan di foodcourt Venetian. Saat itu setelah saya bilang “Xie-xie ni,” dia langsung pergi namun kali ini cara saya tidak berhasil. Tiba-tiba dia bilang kalau kami pasti dari Indonesia. Pasti! Pasti dari Indonesia! Serunya dalam bahasa Mandarin yang membuat saya bingung kenapa dia berteriak setelah bilang saya tidak tertarik untuk membeli dan bicara ke Mas Christo dengan bahasa Indonesia untuk segera pergi. Kami langsung pergi meninggalkan dia setelah demi alasan keselamatan.
Kami berjalan kaki menuju arah hotel. Jalanan di Macao memang tak seperti ibukota di Jakarta yang akan terus ramai. Macao seperti menjaga keseimbangan suatu tatanan kota dan hidup yang tentram.
Baca juga : Kembali ke Macao, Mengumpulkan Kenangan 5 Tahun Lalu
Trip perjalanan ini sponsor dari Macao Indonesia dan Kompasiana. Terima kasih atas kesempatan berharga ini bagi saya.
[…] Islam Restaurant berada di R. Do Teatro mengarah ke Sofitel Macao Hotel. Kalau kalian berjalan dari Senado Square sekitar 1 km. Lokasinya terbilang agak terpencil, karena kalian harus berbelok ke beberapa lorong. […]
[…] Mas Christo masih nyaman meringkuk bersama selimut. Akhirnya kami bertiga keluar hotel menuju Senado Square, meninggalkan mas Christo yang nanti akan menyusul […]
berfoto di depan reruntuhan gereja st. paul memang susah kalo gak mau banyak photobomb..
iya juga ya, pagi hari sih pasti lebih sepi. hmm..
Iya, tapi kayaknya kalau siang hari agak sepian, Vir.
Thank ya sudah mau mampir ke blogku.
Baca cerita Macao dan lihat foto-fotonya mengingatkan saya akan film “Now You See Me 2”.
Difotoin orang jelas beda banget buat saya dengan selfie. Kalo selfie, kan, hasilnya pasti kurang bagus, sebab gambar bisa miring. Apalagi pake kamera depan, kualitasnya lebih jelek. Ya, meskipun kadang kalo minta fotoin orang juga ada yang blur, sih. Motretnya kurang ahli atau pas megang kamera atau ponsel mahal gemeteran. Wqwq.
Eh, itu orang yang jual iPhone, kok, niat amat sampai ngikutin terus padahal sebelumnya udah nolak? Ketahuan banget yang dijualnya kagak beres. Haha.
dari dulu pengen banget ke macao belum kesampaian 🙁
Mau Imlek udah jalan jalan aja . .
Pemandangan malem nya menyihir mata
kalo sama pasangan cocok dah, rekomen banget
Gerejanya cantik! Aku jadi inget reruntuhan gereja di Managua, Nicaragua, yang aku datengin 2015 lalu
mantap ni koh jalan-jalannya
[…] Baca juga : Romantisme Reruntuhan Gereja St. Paul, Macao […]
Serba salah memang, kalau datang malam pas sepi..pemandangan cantik dan romantis begini, tapi ngeriii..hiii..
Keren Macao, Koh!
Itu yang jual IPhoneX itungannya scam kah, Koh?
Keren juga kotanya saat malam.
Kapan ya bisa ke sana?
Macau di malam hari keren juga.
Keren sekali tempatnya, dan yang pasti bersih
Macau ya, aku kalau dengar ini selalu ingat dengan meja casino. Iya mas, soalnya kalau ada film-film yang ada scane di macau pasti ngelihatin casino
Keren! Reruntuhan gereja saja bisa jadi ikon wisata yang menarik minat turis dari berbagai negara ke Makau. Indonesia punya lebih banyak “yang begituan” tapi kok nggak semuanya bisa dijadikan ikon ya? Okelah, itu hal lain. Yang paling bikin aku penasaran itu orang yang nawarin iPhone X semacam scammer atau gimana ya? Aku paling nggak siap kalau jalan ke tempat baru ketemu orang-orang seperti itu.
Reruntuhan Serena st. Paulo benar2 berbeda suasananya ketika malam hari ya..apakah ketika ada festival saya lihat di youtube kereeeen bgt
iya pas ada festival biasanya jadi lokasi acara.
Itu pasangan yang difotoin cute banget yaaa. Kapan ya aku bisa kesana sama pasangan. Uhuuuy 😀
semoga bisa mbak.. kemarin ke singapore kenapa gak sekalian.
Koh Ded pandai menjejakkan kata di setiap persinggahan, sehingga pembaca awam seperti saya bisa menghirup aroma macau melalui tulisan ini, makasih banyak koh ded
terima kasih pujiannya mbak Rani.. senang kalau menikmati tulisan saya.
Reruntuhan Gereja St. Paul keren banget jadi background foto
iya buat nangkringin sepeda juga bagus mas XD
Ada cerita cinlok nya ga diperjalanan ini mas?
sayangnya gak ada..
Macaoooo… Kapan ya bisa kesini…
bawa aku ke pontianak dulu bang dwi 😀
Kooooh…. Ituuu….
Di paragraf yg ada cerita baca pesan whatsappnya… Itu… “Saya berdua” maksudnya apa?
Maksudnya kami berdua, atau memang sengaja nulis saya berdua?
Hehehe
Haha.. kami berdua maksudnya. ??
Wah seru perjalanannya, semoga suatu saat saya juga bisa ke sana.
aamiin.